Korban kebakaran di Jalan Manggarai Utara II telah menghuni area di bantaran Kali Ciliwung itu secara turun-temurun. Kini, mereka menunggu bantuan dan kepastian hunian pasca-amuk api.
JAKARTA, KOMPAS — Nasib hunian warga korban kebakaran di Jalan Manggarai Utara II, Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, akan dibahas setelah bantuan kemanusiaan dan rampungnya pendataan. Permukiman di bantaran Kali Ciliwung itu digarap dan dihuni warga sejak tahun 1940 atau kini memasuki generasi ketiga.
Setidaknya 14 rumah dengan 59 bilik kontrakan semipermanen yang berdempet di kawasan RT 011 RW 001 tersebut tinggal puing-puing akibat kebakaran pada Sabtu (17/12/2022) sore. Akibatnya, 53 keluarga atau sekitar 230 warga kehilangan tempat bernaung dan mereka mengungsi ke gedung karang taruna, masjid, dan sekolah di sekitar lokasi kebakaran. Meski sementara ini tidak ada korban jiwa, nilai kerugian atas kejadian tersebut ditaksir mencapai Rp 1,5 miliar.
Minggu (18/12/2022), bantuan kepada warga antara lain datang dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, Kementerian Sosial, Palang Merah Indonesia Jakarta Selatan, dan Badan Amil Zakat Nasional atau Baznas (Bazis) DKI. Selain mendapat alas tidur, makanan siap saji, dapur umur, dan perlengkapan mandi, warga diminta segera mendata kebutuhan bagi anak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.
”Saat ini masih fokus ke bantuan kemanusiaan. Kebijakan selanjutnya, pembangunan kembali kawasan akan dibicarakan lebih lanjut,” kata Camat Tebet Dyan Airlangga.
Kebakaran itu diperkirakan karena sambaran petir ke salah satu rumah warga. Sambaran petir menimbulkan percikan api yang dengan cepat membakar permukiman padat itu.
Sebagian besar warga tidak sempat menyelamatkan harta benda, termasuk identitas kependudukan. Mereka mengungsi dengan hanya membawa pakaian yang melekat di badan.
Salah satunya Suwendi (30). Pengojek daring ini kehilangan rumah warisan orangtuanya yang ditinggalinya bersama saudara kandung dan iparnya yang semuanya berjumlah delapan orang.
”Semua surat terbakar. Tidak tersisa. Mau coba selamatkan, tetapi apinya terlalu besar,” ujarnya ketika dijumpai tengah mengais puing-puing rumahnya.
Meski telah menerima berbagai macam bantuan, mereka masih membutuhkan bantuan berupa perlengkapan memasak, perlengkapan sekolah, seragam sekolah, pakaian baru, kasur busa, serta obat-obatan.
Kalau dinas bilang itu tanah kami, (badan) pertanahan tidak berani proses. Kami khawatir (warga) diminta pindah walau belum ada informasi normalisasi. (Prihatin Budi Santoso)
Ketua RW 001 Kelurahan Manggarai Prihatin Budi Santoso menyebutkan, bantuan berasal dari TNI, BPBD DKI, Baznas, serta dinas sosial. Bantuan yang telah dibagikan, kata Prihatin, yakni makanan siap saji tiga kali sehari sebanyak 250 kotak, perlengkapan tidur, handuk, sabun, selimut, dan sebagainya.
”Kalau baju dan celana yang layak pakai, rata-rata dari warga sekitar saja. Tanggap darurat biasanya, kan, tujuh hari. Nanti kita lihat tujuh hari ke depan bagaimana,” ujarnya.
Prihatin menambahkan, pihaknya masih mendata jumlah anak dan warga lansia penyintas kebakaran. Bantuan kepada anak, kata Prihatin, berupa baju sekolah dan sepatu sekolah. Sementara bantuan pamper untuk warga lansia, ujarnya, telah tercukupi.
Rumah-rumah semipermanen di kawasan RT 011 RW 001 Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, itu tidak menyisakan jarak. Minggu, sejumlah warga tengah membersihkan bangunan yang hangus terbakar dari puing- puing sisa kebakaran. Mereka turut mengumpulkan sisa-sisa barang yang masih laku dijual, antara lain seng, besi, dan perabotan rumah tangga lainnya.
Dewi (30), warga RT 011 RW 001 Kelurahan Manggarai, mengatakan, selama delapan tahun mengontrak di bilik berukuran 3 meter x 2,5 meter, kebakaran belum pernah terjadi sebelumnya. ”Bantuan sudah ada dari kemarin malam, seperti selimut, handuk, sabun, makanan, dan obat-obatan. Ada yang dapat, ada yang belum dapat, terutama pakaian dalam,” ujarnya.
Wakil Ketua II Bidang Distribusi dan Pendayagunaan Baznas (Bazis) DKI Jakarta Saat Suharto Amjad menuturkan, pihaknya masih berkoordinasi dengan Pemerintah Kota Jakarta Selatan untuk memberi santunan kepada korban kebakaran. Sementara untuk bedah kawasan, akan diawali dengan asesmen untuk memastikan legalitas tanah.
”Insya Allah akan diupayakan masuk di program tahun 2023. Selain legalitas, biasanya juga kesiapan para penyintas dan partisipasi. Mereka mau untuk menghidupkan kembali kampung dalam bentuk desain yang partisipatif,” tuturnya.
Pola ini sama seperti pembangunan Kampung Gembira Gembrong di Jakarta Timur setelah terbakar. Partisipasi warga bertujuan agar desain sesuai dengan kebutuhan keseharian mereka. Adapun pembangunan kawasan biasanya 3-4 bulan setelah penilaian.
Tanah garapan
Warga secara turun-temurun menghuni kawasan yang terletak di bantaran Kali Ciliwung tersebut. Perlahan, tanah kosong beralih fungsi menjadi rumah semipermanen dengan bilik kontrakan padat penduduk.
Ketua RT 011 Warsono mengatakan, warga belum mempunyai sertifikat tanah atau hak guna bangunan selama tiga generasi berdiam di situ. Namun, sejak tahun 2018, warga berproses melalui Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Badan Pertanahan Nasional Jakarta Selatan.
”Rata-rata punya surat Pajak Bumi dan Bangunan. Kalau lahannya, masih diurus, tetapi mentok karena harus konfirmasi ke dinas supaya (badan) pertanahan bisa keluarkan surat,” katanya.
Warga telah mengantongi nomor identifikasi bidang tanah sejak mendaftar PTSL. Kawasan mereka masuk kategori kluster 1, yakni bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya memenuhi syarat untuk diterbitkan sertifikat hak atas tanah.
Prihatin menyebutkan, setiap keluarga sudah mempunyai ukuran bidang tanahnya masing-masing. Namun, Badan Pertanahan Nasional Jakarta Selatan meminta untuk terlebih dahulu bertemu Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI guna memastikan status tanah di bantaran itu.
”Sudah ada gambar. Batas-batasnya, ukuran 3 meter x 2 meter, 3 meter x 3 meter itu sudah ada. Kalau dinas sudah konfirmasi, baru pertanahan bisa cetak sertifikat atau hak guna bangunan,” ujarnya.
Hingga kini, warga belum siap bertemu dengan Dinas SDA DKI. Mereka khawatir direlokasi jika area bantaran itu masuk program normalisasi sungai. ”Kalau dinas bilang itu tanah kami, (badan) pertanahan tidak berani proses. Kami khawatir (warga) diminta pindah walau belum ada informasi normalisasi,” kata Prihatin.