Ahli hukum pidana menilai, kini aparat penegak hukum di kepolisian bisa menolak arahan atasan yang menyalahi hukum untuk menghindari pidana.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkara peredaran narkoba terkait adanya perintah bekas Kepala Polda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Teddy Minahasa kepada bawahannya, dinilai bisa dicegah. Ahli hukum pidana menilai, kini aparat penegak hukum di kepolisian bisa menolak arahan atasan yang menyalahi hukum untuk menghindari pidana.
Dua ahli hukum pidana, Elwi Danil dan Jamin Ginting, dihadirkan sebagai saksi ahli dalam sidang terdakwa Teddy Minahasa di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin (13/3/2023). Mereka menyampaikan kesaksian di hadapan majelis hakim yang dipimpin hakim Jon Sarman Saragih.
Hakim Jon Sarman Saragih pertama-tama menanyakan kepada Elwi Danil mengenai bukti percakapan di aplikasi pesan antara Teddy dan eks bawahannya, bekas Kepala Polres Bukittinggi Ajun Komisaris Besar Dody Prawiranegara. Percakapan itu berisi arahan kepada Dody untuk menukar sabu dengan tawas pada pertengahan 2022.
Arahan itu berlanjut pada penyisihan 5 kilogram sabu barang bukti dari kasus narkoba yang ditangani Polres Bukittinggi. Barang haram itu lalu diedarkan ke Jakarta. Akibatnya, Teddy didakwa dengan Pasal 114 Ayat 3 sub Pasal 112 Ayat 2 juncto Pasal 132 Ayat 1 juncto Pasal 55 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
”Ada perintah dari atasan ke bawahan, semisal kapolda ke kapolres. Pembicaraannya, ganti sebagian dengan tawas, terus juga bonus bagi anggota. Itu perintahnya dalam rangka mengganti barang bukti. Untuk hal seperti itu, apakah sudah memenuhi unsur di Pasal 55 dan kalau dia memenuhi unsur di mana?” kata hakim Jon.
Baca juga: Kuasa Hukum Teddy Minahasa Menilai Bukti Percakapan Cacat Hukum”Yang pertama, kemungkinannya adalah atasan yang menyuruh melakukan. Namun, itu dilaksanakan atas perintah jabatan sah. Namun, tidak semua perintah atasan bisa dilakukan bawahan,” jawab Elwi.
Menurut dia, bawahan di institusi kepolisian bisa menolak perintah atasan sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022. Aturan itu menggantikan Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2011 tentang Kode Etik Polri dan Perkap Nomor 19 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Polri.
Perpol Nomor 7 Tahun 2022 mengatur penolakan atas arahan yang melanggar norma-norma baru yang belum diatur sebelumnya, yakni terkait norma masalah penyalahgunaan narkoba, kemudian perilaku seks menyimpang, dan beberapa norma lain yang mengikuti perkembangan dinamika di masyarakat.
”Seorang bawahan wajib menolak perintah atasannya apabila perintah melanggar norma hukum, norma kesusilaan, melanggar norma agama. Ketika bawahan menolak perintah atasan, bawahan harus membuat laporan ke atasan dari atasan yang membuat perintah agar bisa mendapat perlindungan hukum,” ujarnya.
Pidana narkotika
Atasan yang memberi arahan di luar norma, dijelaskannya, bisa dikenai Pasal 55 Ayat 1 ke-2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pasal itu secara garis besar mengatur pidana bagi mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan, bisa diberikan kepada atasan yang terbukti memerintahkan anak buahnya melakukan sesuatu seperti yang dikehendaki atasan tersebut.
Menjawab pertanyaan hakim Jon berikutnya, Guru Besar Universitas Andalas itu juga menjelaskan bahwa pasal itu bisa digabungkan dengan Pasal 114 atau Pasal 112 dalam UU Narkotika. Namun, jika perintah yang menyalahi aturan narkotika itu terbukti tetap dilakukan, baik atasan yang menggerakkan maupun bawahan yang digerakkan bisa dipidana.
”Kalau dengan konstruksi dari Pasal 55 Ayat 1 ke-2, baik yang menggerakkan untuk melakukan maupun yang digerakkan untuk melakukan, keduanya dianggap sebagai pelaku,” kata Elwi.
Ahli pidana Jamin Ginting kemudian juga ditanyai hakim Jon. Jamin antara lain dimintai pendapatnya mengenai kapan sebuah perbuatan dikategorikan tindak pidana narkotika. ”Suatu perbuatan pidana ada dua perbuatan, mens rea dan actus reus. Jadi, orang bisa dipidana karena dua unsur, ada suatu kesalahan dan perbuatan. Kalau perbuatan tanpa kesalahan tidak bisa dipidana,” tuturnya.
”Sejauh mana penyertaan tindak pidana itu bisa dimasukkan ke dalam Pasal 114 maupun 112 di UU tentang Narkotika yang dimaksud?” kata hakim Jon.
”Dalam konteks unsur-unsur pasal yang menjadi dasar pemidanaan, tadi ada barang siapa tanpa hak atau melawan hukum menguasai barang, setiap unsur-unsur tersebut sudah terpenuhi. Jika salah satu unsur tidak terpenuhi, maka unsur-unsur tersebut tidak bisa dinyatakan perbuatan yang bisa dihukum. Lalu, ada konteks perbuatan-perbuatan yang sifatnya alternatif, yaitu menawarkan, mengirimkan, atau menjual. Kalau salah satu unsur terpenuhi maka jadi sempurna,” jelasnya.