Terkait Kasus Teddy Minahasa, Ahli Sebut Percakapan Bisa Jadi Bukti Pidana
Percakapan dinilai bisa menjadi bukti pidana, kendati barang haram yang dibicarakan tidak ada dalam wujud nyata.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ahli hukum pidana menilai percakapan bisa menjadi bukti terjadinya tindak pidana, termasuk dalam peredaran narkotika, sekalipun barang haram yang dibicarakan itu tidak ada dalam wujud nyata.
Komisaris Jenderal Polisi (Purn) Ahwil Loetan, selaku ahli pidana narkotika dan Kelompok Ahli Badan Narkotika Nasional (BNN), memberikan penjelasannya atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan majelis hakim, kuasa hukum, dan jaksa, dalam persidangan lanjutan dengan terdakwa Inspektur Jenderal Teddy Minahasa. Ia dihadirkan jaksa dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin (6/3/2023).
Saat Teddy diberi kesempatan bertanya langsung kepada Ahwil, di akhir, bekas Kepala Polda Sumatera Barat itu bertanya, ”Apakah suatu percakapan yang menyangkut narkotika, tapi tidak ada obyek narkotika yang dimaksud, baik wujud asli, fotonya, gambarnya, atau video, itu dapat dikategorikan tidak pidana narkotika?"
Ahwil pun menjawab dengan mencontohkan kasus narkoba yang melibatkan mantan pemimpin militer Panama, Jenderal Manuel Antonio Noriega. Noriega dikisahkan tetap diadili otoritas di Amerika Serikat walaupun tidak memiliki barang bukti narkoba.
”Ternyata dia punya data elektronik yang sangat cukup dan panjang. Jadi, belum tentu orang yang terjerat narkotika harus ada barang bukti daripadanya, harus dites darah lalu positif, itu enggak perlu. Bandar besar (itu) clear, pasti tidak akan ada narkotika daripadanya," jelasnya.
Hakim Ketua Jon Sarman Saragih, yang memimpin sidang, lalu meminta Teddy menyimpulkan sendiri jawaban Ahwil. "Ada pertanyaan lagi?" ucapnya.
"Tidak ada, Yang Mulia. Saya juga pusing," sahut Teddy.
Seperti diketahui, Teddy didakwa karena memerintahkan anak buahnya, Ajun Komisaris Besar Dody Prawiranegara, yang saat itu menjabat Kepala Polres Bukittinggi untuk menyisihkan 10 kilogram (kg) sabu dari hasil tangkapan beberapa kasus dengan total barang bukti sabu mencapai 41,4 kg.
Arahan yang disampaikan melalui pesan singkat itu berlanjut pada permintaan agar Dody menukarkannya dengan tawas untuk bonus anggota pada Mei 2022. Dody hanya menyanggupi 5 kg untuk ditukarkan dengan tawas sebelum barang bukti dimusnahkan. Teddy lalu menyuruh Dody membawa 5 kg sabu itu ke Jakarta. Sekitar September 2022, sabu itu dijual melalui kenalan Teddy, yakni terdakwa Linda Pujiastuti alias Anita.
Teknik menjebak
Ahwil juga diminta pendapatnya oleh peserta sidang mengenai teknik menjebak yang menurut Teddy hendak dilakukan terhadap Linda. Teddy menjebak Linda dengan sebagian dari 41,4 kg barang bukti sabu. Teddy balas dendam terhadap Linda karena disebut pernah memberi informasi palsu soal peredaran narkoba jaringan internasional pada 2019.
Ahwil menjelaskan, dalam dunia penyidikan narkoba, dikenal teknik undercover buy (pembelian terselubung) dan control delivery (penyerahan terkontrol). Teknik itu dapat dilakukan penegak hukum di tengah penyidikan untuk menangkap lebih banyak barang bukti dan pelaku peredaran. Teknik ini diizinkan konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa pada 1998, lalu diikuti Undang-Undang tentang Narkotika di Indonesia.
”Undercover buyingatau pembelian terselubung adalah pembelian narkoba yang berkaitan dengan suatu kejahatan narkoba oleh undercover agent untuk mendapatkan narkoba sebagai barang bukti dan menangkap tersangkanya. Jika, oleh pimpinan operasi dinilai sudah tepat waktunya, undercover buying dapat dilakukan berkali-kali dengan narkoba makin besar jumlahnya sampai kepada orang penting dari sindikat tersebut,” jelasnya.
Sementara itu, terkait control delivery, Ahwil sempat menjelaskan ulang ketika menjawab pertanyaan kuasa hukum Teddy. ”Delivery artinya menyerahkan narkoba?" tanya Hotman Paris, selaku penasihat hukum Teddy.
”Menyerahkan. Tetapi, narkoba yang sudah diketahui barangnya, yang dikejar. Justru barang yang sudah ditangkap tidak boleh jadi 'control delivery'," jawab pria yang sudah berusia 70 tahun lebih itu.
Sebelumnya, kuasa hukum Teddy, Hotman Paris menilai, semua bukti dalam persidangan ini, termasuk bukti percakapan antara Teddy dengan Dody sebagai cacat hukum. ”Terlepas dari benar atau tidak Teddy Minahasa terlibat dalam transaksi narkoba,” kata Hotman.
Alasan cacat hukum, lanjut Hotman, karena percakapan di Whatsapp yang diajukan dalam BAP adalah hasil tangkapan layar dan bahkan kelihatan ada sidik jari dari penyidik. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elekronik (ITE), harus dilakukan pemeriksaan forensik secara utuh.
Alasan selanjutnya, percakapan yang ditemukan penyidik sekitar 900 percakapan, tetapi yang dipakai dan masuk pembuktian dalam persidangan hanya 80 percakapan. Hotman menduga penyidik sudah menyeleksi atau memenggal percakapan untuk keuntungan mereka.
”Harusnya utuh, tidak boleh chatting itu dipenggal-penggal. Konteks jadi hilang,” kata Hotman.