Karantina China Nyaris Bikin Gila
Untuk masuk China, saya harus karantina di Jakarta. Sampai Fuzhou, masih harus karantina lagi. Hampir sebulan lamanya karantina di Jakarta dan Fuzhou. Untung saja tidak perlu karantina lagi di Beijing. Bisa gila rasanya.
Sejak pandemi Covid-19 muncul di kota Wuhan, China, dan menyebar cepat ke seluruh dunia, ada saja perkembangan Covid-19 yang harus ditulis untuk diberitakan setiap hari.
Mulai dari informasi tentang virusnya, perkembangan produksi dan distribusi vaksin, kegagalan layanan kesehatan di berbagai negara, hingga berita soal karantina serta tes usap antigen dan tes polymerase chain reaction (PCR).
Setiap kali menulis soal karantina di China yang dikabarkan amat ketat, saya hanya bisa membayangkan perasaan warga mereka, yang tinggal di Shanghai, misalnya.
Setiap hari muncul berita warga Shanghai yang marah-marah dan protes ke Pemerintah China karena harus menjalani karantina ketat selama dua bulan. Mereka frustrasi karena situasi yang serba tidak jelas, terlebih mereka tidak tahu sampai kapan harus mendekam dalam karantina.
Tak dinyana, dua tahun setelahnya, saya malah mendapat penugasan ke China. Saya menerima kabar penugasan itu kira-kira sebelum bulan puasa tahun ini. Tanpa pikir panjang langsung saya iyakan. Apalagi jangka waktu tugas di sana sampai enam bulan.
Akhirnya akan bisa melihat China lagi dari dekat dalam waktu cukup lama. Sebelumnya, tahun 2017, saya juga pernah mendapat tugas ke China untuk meliput Kongres Partai Komunis China. Tetapi hanya 10 hari.
Saya langsung membayangkan apa yang nanti akan saya liput dan tulis. Karena kasus Covid-19 sedang melandai, saya jadi tidak menyadari suasana masih pandemi Covid-19 dan yang akan saya datangi ini ”kampung halamannya” Covid-19.
China berhasil mengendalikan Covid-19 ketika varian Delta menyebar. Tidak begitu ketika varian Omicron muncul. Kasus di sana tak terkendali. Belajar dari kesalahan itu, China kemudian memberlakukan kebijakan ”nihil-Covid dinamis”.
Baca juga: Beda Wartawan ASEAN dan Wartawan Bule
Bukan hanya untuk rakyatnya sendiri, melainkan juga bagi siapa saja yang datang dari luar negeri, termasuk saya dan 90 wartawan dari 70 negara lain yang diundang oleh China International Press Communication Center (CIPCC). Kebijakan ketat itu diwujudkan dalam bentuk karantina ketat dan tes usap PCR.
Kebetulan, selama dua tahun pandemi, saya belum pernah dikarantina sehingga tidak bisa membayangkan rasanya. Tes usap juga hanya beberapa kali saja kalau diperlukan. Jadi, ketika mendapat penjelasan dari Kedutaan Besar China di Jakarta tentang rincian prosedur yang harus dijalani, saya mulai keder alias khawatir.
Awalnya disebutkan saya harus menjalani 7 hari proses karantina ketat di Jakarta, 21 hari karantina di kota Fuzhou, dan 7 hari karantina di Beijing. Habis waktu lebih dari sebulan hanya untuk karantina.
Sebelum masuk karantina di sebuah hotel di Jakarta, saya harus tes PCR. Jika hasilnya negatif, boleh masuk hotel karantina. Jika positif, gagal sudah keberangkatan ke China.
Tes PCR dilakukan oleh maskapai penerbangan China, Xiamen Air, bersama-sama dengan seluruh calon penumpang dan kru pesawat yang akan ke Fuzhou. Yang dikarantina di hotel pun orang-orang yang akan sepesawat saja.
Baca juga: 20 Tahun Lalu di Bundaran HI
Syukurlah, keluar hasil negatif dan keesokan harinya saya masuk hotel karantina. Begitu masuk kamar hotel, terputus sudah hubungan dengan dunia luar secara fisik. Tidak boleh keluar kamar sama sekali, tidak boleh menerima tamu, dan tidak boleh memesan makanan atau minuman dari luar hotel.
Kalau kiriman barang atau beli barang secara online, masih boleh. Jatah makan tiga kali sehari akan diantarkan oleh petugas hotel ke depan kamar. Di luar kamar sudah disiapkan kursi untuk meletakkan makanan. Begitu ada bunyi bel, tanda bahwa makanan sudah siap di kursi.
Dua-tiga hari pertama masa karantina, rasanya seperti liburan. Apalagi, kamar seharga Rp 900.000 yang saya tempati kemudian ditingkatkan ke kamar bertarif Rp 2,2 juta per hari. Terasa mewah dan nyaman. Ditambah datang kabar bahwa karantina di Jakarta dikurangi menjadi 5 hari saja. Begitu pula karantina di Fuzhou yang berkurang menjadi 14 hari dan di Beijing 7 hari. Rasanya senang betul.
Tetapi tidak begitu dengan hari-hari setelahnya. Lama-lama bosan dengan rutinitas yang harus di dalam kamar saja. Bangun pagi, cek suhu tubuh sendiri lalu ditulis dalam laporan harian. Belum lagi selama 5 hari karantina itu harus tes usap PCR sebanyak 4 kali. Setiap sore akan ada petugas yang juga mengecek suhu tubuh.
Baca juga: Yang Tak Terlupakan di Gunung Bromo
Untungnya, selama karantina, saya bisa tetap bekerja setor tulisan berita dan feature sehingga ada kegiatan lain selain makan dan tidur.
Namun, nafsu makan lama-lama berkurang. Selain karena porsi yang terlalu besar (terutama untuk nasi), menunya juga berulang, itu lagi itu lagi. Badan rasanya menggendut karena makan tidur saja dan kurang olahraga.
Selain bosan, hidup pun rasanya tak tenang karena senantiasa waswas setiap kali hendak tes usap PCR. Bahkan kelak setelah tiba di Beijing pun rasanya masih deg-degan setiap kali hendak tes usap antigen yang wajib dilakukan 2-3 hari sekali.
Tetapi, semuanya mau tak mau harus dijalani karena menentukan ”status deklarasi kesehatan” yang menjadi syarat utama masuk China. Sehari sebelum berangkat ke China, seluruh catatan suhu tubuh, hasil tes usap PCR, dan identitas diri harus diunggah ke laman kesehatan Pemerintah China. Setelah mendapat status hijau, barulah saya dinyatakan aman berangkat ke China.
Setelah karantina 5 hari dengan hampir setiap hari tes PCR, pada hari keberangkatan saya masih tetap harus mengikuti tes usap antigen dan diimbau mengenakan alat perlindungan diri lengkap dengan pakaiannya.
Karena sifatnya imbauan, saya memilih tidak mengenakannya. Selain tidak nyaman, ukurannya juga terlalu besar. Pasti akan gerah dan ribet saat membawa tas dan koper kecil.
Selama di bandara, kami semua yang sepesawat tidak boleh duduk makan di restoran dan harus kumpul di ruang tunggu. Suasana terasa agak ”unik” karena mayoritas penumpang mengenakan pakaian APD (alat pelindung diri) putih lengkap. Seperti suasana saat awal-awal darurat Covid-19 dulu.
Di dalam pesawat, suasananya juga tak biasa karena pramugari dan pramugara yang biasa menyapa dengan senyuman tidak terlihat wajahnya, kecuali bagian mata karena mereka memakai pakaian APD komplet.
Lima jam perjalanan ternyata tanpa makanan hangat dan minuman. Hanya tersedia camilan roti, kacang, dan air putih yang sudah tersedia di kursi. Menyesal juga tidak membeli bekal makanan untuk dibawa karena perut lalu terasa keroncongan.
Bekal kesabaran
Sesampainya di Bandara Internasional Fuzhou, uji kesabaran berlanjut. Keluar pesawat dilakukan per 10 orang karena kemudian harus antre tes usap PCR lagi di dalam bandara. Penumpang di belakangnya harus menunggu di dalam pesawat sampai 1-2 jam.
Perut yang lapar ditambah badan pegal dan mata mengantuk membuat kesabaran menipis. Sebelum tes usap PCR, semua dokumen terkait kesehatan dicek. Di setiap titik kami duduk dan berdiri, petugas siaga menyemprotkan cairan berbau kaporit.
Belum selesai, setelah semua urusan imigrasi dan ambil bagasi, ternyata masih harus antre lagi. Kali ini untuk menunggu bus yang akan membawa ke hotel tempat kami karantina. Total waktu dari saat mendarat sampai hotel kira-kira 3,5 jam.
Sesampainya di hotel, tidak ada resepsionis selayaknya hotel. Kami hanya diterima seorang petugas yang berpakaian APD lengkap. Seluruh hotel juga berbau kaporit tajam seperti di bandara. Karena petugasnya sulit berbahasa Inggris, akhirnya kami memakai aplikasi Google Translate yang ternyata sangat berguna sampai sekarang.
Kita atau mereka tinggal berbicara di ponsel lalu muncullah terjemahannya. Semua aturan soal karantina dan hotel sudah tersedia di tiga kertas yang ada di dalam kamar. Salah satu aturannya, tamu harus melaporkan suhu tubuhnya sehari dua kali, pagi dan sore. Seperti saat karantina di Jakarta.
Seluruh proses karantina di Fuzhou sama dengan di Jakarta. Makan tiga kali sehari diletakkan di kursi depan kamar. Lalu tes usap PCR setiap tiga hari sekali dengan petugas berbaju APD yang datang ke depan kamar. Tidak boleh keluar sama sekali, tidak boleh terima tamu, dan memesan makanan dari luar.
Menu makanan di Fuzhou selama sepekan pertama masih terasa enak dan hampir semuanya menu sehat. Ada sop, sayur, dan protein, serta porsi nasi yang besar. Dan entah kenapa jamur aneka bentuk dan telur selalu ada di setiap menu makanan. Namun, setelah lebih dari satu pekan, mulai terasa membosankan. Selera makan pun turun karena menunya berulang.
Beruntung kamar menghadap ke pantai, jadi setidaknya ada hiburan pemandangan yang indah setiap hari meski seminggu pertama sering kali mendung dan hujan. Untunglah, pekerjaan menulis yang dilakukan sehari-hari, ditambah membaca, menonton film, dan olahraga ringan di kamar, bisa sedikit mengurangi rasa bosan.
Saking bosannya, bel tanda bahwa makanan sudah sampai saja bisa menjadi hiburan tersendiri. Karena setelah itu bisa memotret dan merekam video ”mas-mas” berpakaian APD yang mengantar makanan.
Untuk urusan fasilitas hotel karantina tidak ada yang kurang. Tetapi, sebagus apa pun kamar dan fasilitasnya, jika sampai 14 hari memang jadi terasa datar-datar saja.
Akhirnya sampai juga di hari ke-15 yang menjadi hari kebebasan. Saatnya tiba untuk bergeser ke Beijing. Rasanya lega dan senang bukan kepalang karena bisa melihat dunia luar lagi. Keluar dari hotel, kami dibekali ”sertifikat lulus karantina” dari Satgas Covid-19 Fuzhou.
Sertifikat itu berguna sampai sekarang karena harus ditunjukkan setiap kali acara kunjungan resmi ke tempat publik. Di bandara Fuzhou, proses check-in hingga masuk ke dalam pesawat sudah normal seperti masa sebelum Covid-19.
Tidak ada pramugari dan pramugara yang berpakaian APD lengkap. Perjalanan domestik selama 2,5 jam terasa nyaman karena makanan dan minuman hangat pun tersedia.
Sesampainya di bandara di Beijing, kami dijemput oleh pihak pengundang lalu diantar sampai ke apartemen yang akan menjadi rumah kami selama lima bulan ke depan.
Kami disambut manajer apartemen beserta para asistennya yang kemudian mengantar kami ke kamar dan memberi tahu soal operasional penggunaan listrik, gas, mesin cuci, kompor, dan lain-lain.
Baca juga: Wajib Absen Mulut Tiga Hari Sekali
Setelah penjelasan selesai, sang manajer mengucapkan kalimat yang melegakan. ”Di Beijing sudah tidak ada karantina, ya. Sudah boleh ke mana-mana,” ujarnya.
Namun, baru saja lega mendengar kabar terbaik dalam sebulan ini, ternyata ada tambahan informasi lain. ”Tetapi, harus tes usap antigen setiap tiga hari sekali.”
Saya dan teman-teman wartawan yang mendengarnya langsung mengeluh panjang lalu tertawa. Saking seringnya tes antigen dan PCR, sampai sudah tidak terhitung berapa kali colok hidung dalam sebulan ini.
Ya sudahlah, tidak apa-apa. Yang penting sudah tidak ada karantina ketat lagi seperti di Jakarta dan Fuzhou. Kalau masih harus karantina seminggu lagi, benar-benar bisa gila rasanya.