Hakim Dinilai Tidak Pertimbangkan Kerentanan Anak AG dalam Vonis
Dua hakim tunggal kasus anak AG dinilai memberi keputusan yang tidak adil karena tidak menempatkan anak AG sebagai anak perempuan yang rentan dimanipulasi. Hakim juga tidak memberi waktu yang cukup untuk pembelaan.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil melaporkan dua hakim tunggal yang mengadili kasus anak AG ke Komisi Yudisial karena dianggap tidak cermat dalam memutus perkara tersebut. Posisi anak dan perempuan yang rentan seharusnya menjadi pertimbangan dalam membuat putusan.
Perwakilan Koalisi Anti Kekerasan Berbasis Gender terhadap Anak Perempuan (Koalisi AG-AP) Aisyah Assyifa menilai, hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Sri Wahyuni Batubara, telah melakukan beberapa penyimpangan sehingga putusan tidak memberikan keadilan bagi anak AG.
Penyimpangan pertama, hakim tidak memutarkan tayangan kamera pemantau (CCTV) kejadian penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy terhadap David Ozora. Padahal, di dalamnya terdapat fakta yang harus menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutus perkara anak AG.
”Hakim seperti memilih-milih fakta tertentu saat mengadili anak AG,” ucapnya di Kantor Komisi Yudisial (KY), Jakarta, Kamis (25/5/2023).
Selain itu, persidangan juga tidak dilakukan sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, khususnya pertimbangan mengenai kerentanan anak dan perempuan.
Dalam persidangan, hakim tidak mempertimbangkan hubungan seksual antara anak AG dan Mario Dandy sebagai perbuatan pidana seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Padahal, hal itu dapat menunjukkan bahwa anak AG perlu diposisikan sebagai korban juga.
Posisi anak AG sebagai anak perempuan di bawah umur tergolong rentan manipulasi dari orang dewasa. ”Kondisi anak AG yang posisinya rentan sebagai anak di bawah umur harus menjadi pertimbangan supaya persidangannya adil,” katanya.
Selain itu, hakim tunggal juga tidak memberikan waktu yang cukup bagi kuasa hukum anak AG melakukan pembelaan.
Status kerentanan anak perempuan di bawah umur tidak menjadi pertimbangan bagi hakim tunggal.
Saat persidangan digelar pada April 2023, hakim hanya memberikan waktu selama dua jam saja bagi kuasa hukum anak AG untuk menghadirkan ahli dan saksi. Sementara itu, hakim memberi waktu hampir dua hari, yaitu Senin (3/4/2023) hingga Selasa (4/4/2023), bagi jaksa penuntut umum untuk menghadirkan ahli dan saksi.
”Ini salah satu pelanggaran berat yang dilakukan oleh hakim yang tidak memberi kesempatan yang setara untuk kuasa hukum anak AG,” ucapnya.
Peneliti Institute Criminal Justice Reform (ICJR), Nur Ansar, menerangkan, selain hakim tunggal PN Jaksel, koalisi juga melaporkan hakim tunggal Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, Budi Hapsari. Penunjukan Budi yang terburu-buru membuat sidang banding dilakukan dengan tidak cermat tanpa memeriksa bukti yang ada.
Koalisi menjelaskan, Budi ditunjuk pada hari yang sama saat berkas persidangan anak AG dilimpahkan dari PN Jaksel ke PT DKI Jakarta pada Rabu (26/4/2023). Lalu, kurang dari 24 jam pada Kamis (27/4/2023), Budi memutuskan menolak banding yang diajukan.
Ditambah lagi, hakim tunggal PT DKI tidak mengoreksi penyimpangan yang dilakukan hakim tunggal PN Jaksel sebelumnya terkait tidak adanya barang bukti CCTV di persidangan tingkat pertama.
Selain aduan ke KY, koalisi AG-AP melaporkan dua hakim tersebut ke Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA). Keduanya dianggap melanggar kode etik perilaku hakim, salah satunya tidak memperhatikan kondisi pencari keadilan sebagai dasar pertimbangan putusan. Laporan yang diajukan oleh Koalisi AG-AP diharapkan menjadi momentum yang tepat untuk mengoreksi sistem peradilan bagi anak dan perempuan.
”Bukan sebatas kritik, melainkan juga jadi waktu untuk reformasi agar sistem peradilan bagi kelompok rentan semakin berkeadilan,” katanya.
Juru bicara KY Miko Ginting menjelaskan, laporan yang diadukan sudah diterima dan akan diperiksa terlebih dahulu. ”Bila beralasan, tidak ada alasan untuk tidak menerima laporan dari masyarakat,” katanya lewat pesan singkat.
Dihubungi terpisah, kuasa hukum anak AG, Mangatta Allo, berharap KY dan Bawas MA melihat fakta dan aduan yang dibawa oleh koalisi masyarakat sipil dengan cermat. Adanya penyimpangan dalam persidangan di tingkat pertama dan tingkat banding diharapkan menjadi pertimbangan penting kedua lembaga tersebut dalam memeriksa hakim-hakim tersebut.
”Hakim Agung semoga melihat dan memberikan putusan yang terbaik,” ucapnya.