Jakarta dan Pengalaman Banjirnya
DKI Jakarta belum juga lepas dari ancaman banjir yang melanda karena hujan ataupun banjir kiriman.
Tiap kali ada berita soal cuaca ekstrem yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia, bayangan soal banjir kembali muncul. Apalagi di Jakarta, ibu kota yang masih belum bisa menyelesaikan persoalan banjir sampai hari ini.
Banjir masih terus membayangi Jakarta meski gubernur yang memimpin kota ini silih berganti. Saat hujan deras, sejumlah titik genangan air muncul dan banjir di permukiman penduduk yang dekat daerah aliran sungai juga mengintai. Dari tahun ke tahun, banjir masih lekat dengan Jakarta, baik karena hujan dengan intensitas tinggi di wilayah Jakarta maupun banjir kiriman dari hulu Sungai Ciliwung.
Paling baru tentu saja saat intensitas hujan mulai meningkat di Jakarta pada akhir Februari 2024. Enam RT dan 17 ruas jalan di DKI Jakarta tergenang hingga Kamis (29/2/2024) malam. Banyaknya genangan ini akibat guyuran hujan merata di seluruh Ibu Kota sepanjang Kamis dini hari hingga siang.
Ancaman banjir karena cuaca ekstrem pada Maret ini melanda beberapa wilayah Indonesia dipicu oleh aktifnya sejumlah gelombang ekuatorial dan munculnya dua bibit siklon di Samudra Hindia. Selain hujan lebat dan gelombang tinggi, sejumlah pesisir berpotensi dilanda banjir rob.
Banjir Jakarta sejak dulu
Jakarta yang belum kunjung bebas dari banjir hingga saat ini mengalami pasang surut dalam bencana banjir. Padahal, sejak 1965 sudah ada Keputusan Presiden RI Nomor 183 Tahun 1965, tanggal 22 Juni 1965, yang menjadi dasar proyek pencegahan banjir di Jakarta dinyatakan proyek vital.
Semua pekerjaan pelaksanaan proyek pencegahan banjir Jakarta dengan seluruh cabang dan bagian-bagiannya dinyatakan sebagai badan vital sebagaimana dimaksudkan dalam Penetapan Presiden RI Nomor 7 tahun 1963.
Baca juga: Cuaca Ekstrem, Warga yang Tinggal di Tiga Kawasan Ini Harus Waspada!
Rencana proyek banjir kanal pun dicetuskan tahun 1973 setelah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meminta bantuan konsultan Nedeco (Belanda) untuk mengobservasi masalah banjir di DKI. Kesimpulan pakar banjir dari Belanda waktu itu ialah harus dibuat saluran air di kawasan barat dan timur agar beberapa daerah yang rendah bisa mengalirkan air ke saluran tersebut.
Berbagai laporan yang ditulis di Kompas menunjukkan kondisi banjir Jakarta pada tahun 1970-an yang sudah parah. Awal Januari 1976, banjir melanda sebagian Jakarta, dengan cakupan Rawamangun (Jaktim), Kompleks IKPN Bintaro Kebayoran Lama (Jaksel), Kelurahan Tugu, Tanjung Priok, Cilincing, Semper, Lagoa, Rawa Badak, Kelapa Gading, Sunter, Kebon Bawang, Sungai Bambu, Pademangan Barat, Mangga Dua Utara, Penjaringan dan Pejagalan (Jakut).
Penyebabnya, di samping hujan, juga kurangnya prasarana saluran-saluran air hujan, letak Jakarta yang di sekitar pantai justru lebih rendah dari muka laut, serta adanya banjir kiriman dari Bogor.
Pada Januari 1977 banjir kembali merendam Jakarta. Daerah yang paling parah menderita banjir adalah tiga kecamatan, yaitu Senen, Cempaka Putih, dan Gambir.
Dalam peristiwa itu, seorang meninggal dunia tertimpa tembok yang roboh di Bukit Duri Puteran dan lima orang luka-luka di Teluk Gong.
Parahnya banjir tahun 1977 ini karena ketinggian air di Jalan MH Thamrin mencapai satu meter. Air setinggi dada orang dewasa di depan Sarinah sehingga banyak kendaraan yang mogok. Bus yang lewat seperti layaknya kapal besar, menimbulkan gelombang. Daerah sekitar Monas, seperti daerah Batutulis, Alaydrus, dan Roxy, terendam.
Banjir itu tercatat yang paling besar sejak tahun 1892.
Lalu, Januari 1979, sepertiga lebih wilayah Jakarta tergenang. Banjir besar ini mengakibatkan wilayah Jakpus, Jaktim, dan Jakbar terendam sampai satu meter. Sembilan kelurahan tergenang dan lebih dari 20.000 penduduk mengungsi.
Banjir ini akibat kiriman dari Jawa Barat, lewat Kali Angke, Pesanggrahan, Sekretaris, dan Kali Grogol.
Salah satu akibatnya, jalan dari Jakarta menuju Tangerang nyaris macet total karena sebagian jalan di Kelurahan Pendongkelan tergenang sampai 75 cm. Kendaraan banyak yang mogok. Menurut berita waktu itu, hujan yang turun merupakan hujan terbesar dalam 50 tahun terakhir.
Akhir tahun 1981, banjir kiriman dari Bogor dan Tangerang melanda sebagian besar Jakarta. Wilayah Jakbar dan Jakut termasuk yang paling parah. Meluapnya banjir kanal, Kali Grogol, Kali Angke, dan Kali Sekretaris menyebabkan seluruh daerah Jelambar, Pesing, Pejagalan, Kapuk Muara, dan Rawa Buaya terendam.
Jalan ekonomi Jakarta-Tangerang macet total karena air menutupi jalan raya. Tinggi genangan tiga perempat meter.
Pada Februari 1993, hujan merata berkepanjangan di Jakarta dan daerah pinggiran sepanjang hari Minggu hingga Senin dini hari, menimbulkan banjir parah di berbagai wilayah Ibu Kota.
Selain daerah langganan banjir seperti Sunter, Jalan Perintis Kemerdekaan, Plumpang-Yos Sudarso (di jalur timur), Cawang, Bidara Cina, Kampung Melayu Kecil (di jalur tengah), dan Pondok Pinang-Tanah Kusir, Cipulir-Ciledug, Pos Pengumben, Pluit, Muara Kapuk (di jalur barat).
Jalan tol ke arah Bandara Soekarno-Hatta, yang pernah dijamin tidak akan pernah kena banjir, akhirnya mengalami banjir. Demikian pula penggalan Jalan Tol Jagorawi di sebelah Terminal Kampung Rambutan.
Pada kejadian kali ini dua daerah itu ikut tergenang air hingga setinggi 30-50 cm. Begitu pula di penggal Jalan Ciledug Raya, Tanah Kusir, Pos Pengumben di Jakarta Barat, atau di bilangan Sunter, serta wilayah permukiman Pluit, kedalaman air yang menggenang melebih kebiasaan, berkisar 10-75 cm.
Banjir kiriman
Pada Januari 1996, akibat luapan Sungai Ciliwung, banjir parah terjadi di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, yang memang dilintasi Ciliwung. Sebagian Jakarta lumpuh. Padahal, di daerah itu tidak turun hujan.
Banjir terjadi akibat banjir kiriman dari daerah Bogor. Di daerah Puncak, yang merupakan bagian hulu Sungai Ciliwung, sejak beberapa hari terakhir ini memang turun hujan terus-menerus. Terjadinya banjir kiriman tersebut akibat sudah rusaknya tata guna lahan di bagian hulu sungai itu karena pesatnya pembangunan vila dan real estat. Banjir kiriman kali dinilai paling besar yang pernah terjadi.
Baca juga: Menunggu Efektivitas Infrastruktur Pengendalian Banjir Terealisasi
Banjir tahun tersebut dinilai terburuk yang terjadi sejak 20 tahun terakhir ini. Banjir ini membawa korban jiwa. Tercatat empat jenazah ditemukan sebagai korban banjir.
Gubernur DKI Jakarta Surjadi Soedirdja ketika itu mengatakan, banjir Jakarta kini adalah terburuk sejak 1976.
Pasukan Katak dengan perahu karet dikerahkan. Mereka dengan sigap dan gesit membantu mengungsikan bayi sampai kakek-nenek, dari rumah yang direndam banjir. Banyak warga yang bertahan di atap rumah mulai kelaparan dan sakit-sakitan.
Peristiwa banjir Jakarta yang merenggut nyawa sekitar 22 jiwa membuat Presiden Soeharto menginstruksikan pengembalian fungsi kawasan Puncak, Jawa Barat, yakni fungsi konservasi lingkungan. Ditegaskan, bangunan yang berada di kawasan penyangga, atau tak sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR), harus segera dibongkar.
Sementara itu di pengujung tahun 2000, terjadi banjir parah di Jalan Tol Prof Sedyatmo di kawasan Kapuk, Jakarta Utara. Jalan tol yang menjadi urat nadi lalu lintas ke arah Bandara Soekarno-Hatta itu terendam selama beberapa hari. Pada hari pertama banjir, waktu lepas landas sejumlah pesawat terpaksa ditunda.
Banjir terparah dan terluas
Di tahun 2002, banjir besar kembali melanda Jakarta. Kawasan tergenang banjir pada Januari 2002 ini jauh lebih luas dibandingkan dengan banjir tahun 1996 atau tahun 1993.
Pada tahun 1993 dan tahun 1996, kawasan yang terendam umumnya ialah lokasi-lokasi yang berdekatan dengan aliran tujuh sungai besar yang mengaliri Jakarta. Misalnya, Kampung Melayu dan Jatinegara akibat meluapnya Kali Ciliwung. Namun, banjir Januari 2002 telah melebar merayap jauh dari aliran sungai.
Banjir Jakarta yang terjadi awal tahun 2002 ”dicap” sebagai banjir terparah dan terluas yang pernah melanda DKI Jakarta dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada banjir besar tahun 1996, luas wilayah dan pengaruhnya tidak separah yang terjadi tahun ini. Kali ini melanda lima wilayah dengan jumlah pengungsi lebih dari 97.000 kepala keluarga mencakup 365.000-an jiwa.
Kualitasnya pun meningkat. Kalau banjir tahun 1993 dan tahun 1996 tinggi genangan terparah adalah 1,5 meter, banjir Januari 2002 ada yang mencapai tiga meter. Banjir tersebut membuat sedikitnya tujuh titik ruas jalan tol di Jakarta tergenang air. Delapan dari 13 sungai yang masuk ke Jakarta sudah maksimal kapasitasnya.
Baca juga: Sejarah Kegagalan Mengatasi Banjir Jakarta
Banjir menelan korban 32 orang meninggal dunia. Air mengalir tak hanya di kawasan perumahan biasa, tetapi juga hingga ke kawasan elite di Menteng, Jakarta Pusat. Karena itulah, pada Juni 2002 delapan instansi pemerintah membuat kesepakatan bersama: Program Penanganan Banjir.
Sementara pada tahun 2023 melalui Indeks Risiko Bencana Indonesia oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terlihat semua ibu kota provinsi memiliki risiko bencana alam sedang hingga tinggi. Ada kota yang tumbuh di daerah rawan bencana kepesisiran banjir rob, seperti Semarang dan Jakarta.
Secara garis besar, menurut anggota Dewan Penasihat Ikatan Ahli Rancang Kota Indonesia, Danang Priatmodjo, banjir di Jakarta disebabkan oleh kurangnya kawasan resapan air dan perlunya audit sistem drainase. Selain itu, kurangnya danau, situ atau waduk sebagai tempat parkir air menimbulkan banjir, terutama saat ada kiriman dari hulu dan hujan deras. Padahal, danau, situ atau waduk berfungsi sebagai parkir air sementara.
”Harus tersedia dalam jumlah yang cukup dengan penyebaran merata sebagai tempat parkir air sementara,” kata Danang.