Menembus Kemacetan dengan MRT Jakarta
Betapa terkejutnya Kompas, Senin (10/12/2018), saat tiba di Stasiun MRT Lebak Bulus dan melihat jarum jam. Waktu menunjukkan pukul 16.45.
Hanya 15 menit saja untuk mencapai Stasiun Lebak Bulus dari Stasiun Bundaran Hotel Indonesia sejauh 16 kilometer. Waktu tempuh yang cepat dicapai pada Senin lalu karena kereta moda raya terpadu atau MRT yang dikemudikan Hitoshi Tezuka, Kepala Masinis Nippon Sharyo, itu tidak berhenti di 13 stasiun MRT di fase 1 ini.
Bayangkan, berangkat dari Stasiun Bundaran Hotel Indonesia pukul 16.30, bisa tiba di Stasiun Lebak Bulus 16.45. Cepat sekali bukan?
Padahal, sore itu sebagian besar wilayah Jakarta sedang diguyur hujan deras dan sedang memasuki jam sibuk sore hari. Warga Ibu Kota sudah sangat paham, saat sibuk sore hari, apalagi hujan deras, kemacetan berjam-jamlah yang akan dihadapi.
Padahal, katakanlah, itu hanya akan melintas dengan jarak tak terlalu jauh. Sementara dengan jarak tempuh yang sama dan kondisi yang sama, jika menggunakan mobil dibutuhkan waktu hampir dua jam.
Namun, di saat pekan libur panjang seperti sekarang, kemacetan sudah pasti memang tidak terasa. Tapi bagaimana dengan kepadatan di hari-hari normal tanpa gangguan cuaca?
Senin sore itu, Kompas bersama puluhan jurnalis mendapat kesempatan mengikuti uji coba kereta MRT Jakarta. Bersama para jurnalis, jajaran direksi PT MRT Jakarta, yaitu Direktur Utama William P Sabandar, Direktur Konstruksi Silvia Halim, dan Direktur Operasional Mohammad Effendi, menaiki kereta bersama Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta.
Berdasarkan jadwal ujicoba MRT Jakarta, di bulan Desember ini, setelah MRT menguji persinyalan dan sistem, akhirnya jadwal uji coba sudah memasuki uji coba operasi terbatas dengan menggunakan kereta di jalur utama.
Titik awal berangkat adalah stasiun bawah tanah Bundaran Hotel Indonesia. Untuk mencapai peron tempat tunggu penumpang, Kompas yang sudah mengenakan alat pengaman diri (APD), karena kegiatan konstruksi belum sepenuhnya selesai, harus menuruni dua lantai.
Level pertama merupakan area untuk gerbang tiket penumpang. Di lantai itu nantinya selain ada loket tiket, juga ada spot-spot untuk ritel.
Dari gerbang, Kompas masih harus menuruni lagi anak tangga ke lantai berikutnya. Begitu sampai di peron, satu rangkaian kereta yang terdiri atas enam kereta, menyesuaikan dengan formasi sebenarnya saat operasi komersial nanti, sudah menanti di jalur.
Pintu-pintu kereta membuka. Lampu-lampu di dalam kereta menyala terang. Saat memasuki badan kereta, kaki melangkah biasa tanpa memanjat atau melompat karena lantai kereta sejajar dengan lantai peron.
Mata pun mulai mengeksplorasi kereta yang diproduksi Nippon Sharyo, Jepang, itu. Sebenarnya saat Kompas terpilih sebagai peserta fellowship MRT Jakarta 2017, saat kunjungan ke pabrik Nippon Sharyo pada November 2017, Kompas pun sudah melihat dan dibolehkan memasuki gerbong kereta MRT Jakarta yang sudah selesai.
Namun, Senin sore itu rasanya sungguh berbeda. Terharu dan bangga rasanya melihat kereta modern yang akan mengantarkan warga Jakarta bermobilitas di fase 1 ini dari pinggir selatan (Lebak Bulus) ke tengah (Bundaran Hotel Indonesia) dan sebaliknya, akhirnya berdiri gagah di trek kota Jakarta.
Bodi kereta yang berwarna keperakan dengan garis biru serasi dengan muka kereta yang berwarna biru tua dengan garis lengkung biru muda serta ada tulisan MRT di sisi kanan tengah. Melihat warna dan lengkung yang seolah tersenyum itu, Kompas mendapat kesan kereta MRT dengan ramah menyambut warga Jakarta dan siap mengantarkan warga yang akan beraktivitas dengan cepat dan tepat waktu.
Melongok ke dalam kereta, kursi-kursi berbahan fiber berwarna biru muda dan biru tua terpasang rapi. Dinding dalam kereta berwarna putih. Lalu pegangan berwarna abu-abu dan oranye rapi menjuntai.
Berbeda dengan kereta komuter yang dioperasikan PT Kereta Commuter Indonesia yang di setiap keretanya memiliki rak barang di sepanjang kedua sisi, di dalam kereta MRT, rak barang tidak banyak. Rak hanya ada di sudut-sudut kereta, di atas area untuk kursi roda ataupun kursi prioritas.
”Kereta MRT ini untuk perjalanan cepat di dalam kota sehingga rak barang tidak disiapkan banyak,” kata William P Sabandar, Direktur Utama PT MRT Jakarta.
Secara keseluruhan, kereta MRT Jakarta tampil minimalis. Namun, jangan salah, kereta MRT hadir dengan teknologi yang sama seperti yang dipakai di negara-negara maju dan berbeda dengan layanan kereta yang ada hari ini. Apa sajakah itu di antaranya?
Begitu sirene tanda kereta Ratangga hendak bergerak, begitu nama yang diberikan Anies Baswedan untuk kereta MRT, pintu kereta menutup pelan. Namun, di luar pintu kereta, ada pintu kaca lain yang ikut menutup.
Pintu yang dipasang di pinggir peron dan membatasi penumpang dengan rel disebut sebagai platform screen door (PSD). PSD itu juga berfungsi sebagai pengaman.
Pintu itu menjadi salah satu cara perusahaan menjaga dan meningkatkan aspek keselamatan penumpang dan layanan. Karena terintegrasi dengan sistem persinyalan kereta MRT, pintu akan membuka dan menutup bersamaan dengan pintu kereta yang membuka dan menutup.
Lalu, teknologi persinyalan MRT yang digunakan MRT saat ini merupakan yang paling baru dan tidak dipergunakan oleh angkutan umum berbasis rel yang ada di Indonesia. Teknologi itu adalah sistem persinyalan berbasis komunikasi atau communication-based train control (CBTC).
Sistem CBTC ini, lanjut William, memanfaatkan radio komunikasi antara peralatan di luar kereta serta jalur untuk pengendalian lalu lintas dan infrastruktur. Dengan CBTC, posisi kereta dapat diketahui secara akurat dan tepat. CBTC juga mampu menerapkan perlindungan operasi dan pengawasan kereta secara otomatis.
Perjalanan Senin sore itu sungguh mulus. Tidak terdengar suara aduan rel dan roda kereta. Kereta juga stabil tanpa guncangan meski bergerak dengan kecepatan tinggi.
Kepala Masinis Nippon Sharyo Hitoshi Tezuka yang mengemudikan kereta saat uji coba itu mengatakan, secara keseluruhan teknologi perkeretaapian yang dipergunakan oleh MRT Jakarta adalah teknologi terbaru. Selama masa uji coba operasi ini, ia ada bersama para masinis MRT Jakarta.
Ia melihat tantangan yang dihadapi dengan sistem persinyalan dan teknologi yang dipergunakan adalah bagaimana para masinis bisa menyesuaikan atau menyinkronkan antara sinyal yang dikirimkan dengan kondisi rel dan kereta. Lalu para masinis juga mesti bisa menyesuaikan kecepatan dengan kondisi trek.
Melihat sistem dan teknologi perkeretaapian yang dipergunakan MRT Jakarta, juga dengan jam terbang yang ia miliki, ia membawa kereta MRT melaju 80 km per jam di trek bawah tanah. Saat di trek transisi menuju trek layang (elevated), kereta ia kemudikan dengan kecepatan 70 km per jam. Di trek layang, kereta bergerak cepat sekali, 90 km per jam.
Dengan estimasi yang pas itulah jarak sejauh 16 km (10 km trek layang dan 6 kilometer trek bawah tanah) tuntas dalam 15 menit.
”Jarak 16 kilometer bisa dicapai dalam 15 menit karena tidak berhenti di setiap stasiun yang dilewati. Saat operasi komersial penuh Maret 2019, kereta akan berhenti di setiap stasiun dan dirancang mampu menempuh 16 kilometer dalam 30 menit,” papar William.
Waktu tempuh itu terhitung cepat dibandingkan waktu tempuh normal dengan kendaraan roda empat atau roda dua. Keandalan, kecepatan, kenyamanan, juga keakuratan waktu kedatangan dan keberangkatan inilah yang ditawarkan kepada warga Jakarta. Terbayang sudah manfaat yang bisa dirasakan saat MRT Jakarta beroperasi pada Maret 2019 bukan?
Apalagi saat ini MRT juga tengah mematangkan integrasi angkutan dengan Transjakarta, didukung pula dengan penyiapan kantong parkir dan kebijakan pembatasan lalu lintas, diharapkan bisa mendorong orang lebih banyak berpindah dari angkutan pribadi ke angkutan umum. Dengan begitu, MRT bisa jadi angkutan pilihan menembus macet. Jadi, masih mau memilih tua di jalan?