Mataram Bergerak Menjadi Kota Ekonomi Kreatif
Kota Mataram tidak hanya menjadi pusat pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kota berpenduduk sekitar 486.700 jiwa itu juga mulai bergerak menjadi kota ekonomi kreatif, tempat UMKM terus tumbuh dan berkembang.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F23%2Fed347b94-47a4-44c3-80af-f172fb776ad9_jpg.jpg)
Hafizah (55) memahat motif pada kursi untuk kerajinan cukli di rumahnya di Lendang Re, Kelurahan Sayang-Sayang, Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jumat (19/5/2023).
Kota Mataram tidak hanya menjadi pusat pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kota berpenduduk sekitar 486.700 jiwa itu juga mulai bergerak menjadi kota ekonomi kreatif. Pelaku usaha mikro kecil dan menengah terus tumbuh dengan berbagai pasang surutnya.
Suara ”tuk-tak-tuk-tak” terdengar setiap kali Hafizah (55) memukul pahat dengan palu besi. Pengalaman puluhan tahun membuatnya cekatan menggunakan kedua alat itu. Motif rumit pada kursi kayu di depannya dia pahat dengan sangat rapi.
Pada Jumat (19/5/2023) sekitar pukul 11.00 Wita, Hafizah tengah memahat desain untuk kerajinan cukli di rumahnya di Lendang Re, Kelurahan Sayang-Sayang, Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Lingkungan itu memang sentra cukli di NTB.
Cukli adalah kerajinan kayu yang dipadukan dengan kerang. Kayu dipahat atau dicungkil pada motif yang telah dibuat. Lalu pada cungkilan itu dimasukkan atau ditempelkan potongan-potongan kerang sehingga terbentuk motif baru yang indah.
”Kami telah memulai kerajinan ini sejak 1990-an. Alhamdulillah, masih bertahan sampai saat ini dengan berbagai pasang surutnya,” kata Zaenudin (55), suami Hafizah, sekaligus pemilik usaha Anugerah Craft.
Baca juga: Kota Mataram dalam Secangkir Kopi
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F23%2Fa934af51-90ee-468b-a092-9ef661efcb9b_jpg.jpg)
Kendaraan masuk ke kawasan Lendang Re, Kelurahan Sayang-Sayang, Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jumat (19/5/2023). Lendang Re menjadi sentra kerajinan cukli di NTB.
Menurut Zaenudin, penjualan kerajinan cukli saat ini tengah lesu. Berbeda jauh dengan di tahun 1990-an hingga 2000-an saat cukli begitu populer. Saat itu, tidak hanya dalam negeri, kerajinan cukli juga diekspor. Paling banyak ke Jepang dalam bentuk asbak, piring, kotak-kotak kecil, hingga kursi dan meja.
Zaenudin menuturkan, dulu mereka bekerja hampir sepanjang hari karena selalu ada pesanan. Jumlahnya pun hingga ribuan unit produk.
”Sekarang sudah jauh berkurang. Kondisi ini sebenarnya mulai terasa pascaperistiwa Bom Bali Satu dan Dua. Kemudian gempa Lombok 2018, hingga terakhir kemarin pandemi,” kata Zaenudin.
Walakin, mereka terus berproduksi. Tidak hanya sebagai bagian dari melestarikan kerajinan yang telah ditekuninya puluhan tahun, tapi juga menjaga ladang kehidupan bagi banyak orang yang terlibat.
”Saya tidak bekerja sendiri. Ada juga yang memasok bahan, lalu saya buatkan desain hingga menambahkan kerang. Lalu untuk finishing ada yang mengerjakan,” kata Zaenudin.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F23%2F04d3b544-c049-405a-99ca-09aad6ad00d0_jpg.jpg)
Zaenudin (55) membuat motif pada kursi untuk kerajinan cukli di rumahnya di Lendang Re, Kelurahan Sayang-Sayang, Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jumat (19/5/2023). Kerajinan cukli milik Zaenudin di Lendang Re dimulai sejak tahun 1990-an.
Meski pesanan tidak sebanyak dulu, Zaenudin optimistis, pelan tapi pasti kondisi akan semakin baik. Terutama dengan semakin terkendalinya pandemi.
”Sekarang kami sedang mengerjakan satu set kursi untuk stok di gerai Pasar Seni Sayang-Sayang. Lalu dalam waktu dekat, ada pesananan topeng cukli dalam jumlah yang semoga besar. Alhamdulillah,” katanya.
Meski telah puluhan tahun hingga memiliki pakem untuk produknya, Zaenudin mengaku terbuka dengan hal-hal baru. Termasuk menyesuaikan produknya dengan kebutuhan kekinian.
”Di Mandalika, misalnya, ada balap MotoGP. Tahun lalu, kami sudah coba membuat produk cukli dengan tema MotoGP. Tahun ini, jumlahnya akan kami tingkatkan karena peminatnya pasti tinggi,” kata Zaenudin.
Baca juga: Menanti Inovasi Pengelolaan Sampah Kota Mataram
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F23%2Fe06cd67e-8980-4780-a1a5-f05e920d4a5b_jpg.jpg)
Pemilik Maza Handcrafted Pearls and Jewerly, Luberty Budi Utama (43), saat ditemui di tokonya di kawasan Jalan Gajah Mada, Sekarbela, Mataram, Senin (22/5/2023).
Terus belajar
Tidak hanya cukli, usaha di Kota Mataram yang juga terus bergerak adalah kerajinan perhiasan dan aksesori berbahan dasar mutiara. Mulai dari cincin, gelang, bros, hingga kalung.
Pemilik Maza Handcrafted Pearls and Jewerly di kawasan Jalan Gajah Mada, Sekarbela, Luberty Budi Utama (43) atau akrab disapa Maza, mengatakan, sebelum pandemi omzetnya bisa mencapai Rp 100 juta per bulan. Tetapi, saat pandemi, omzetnya turun 80 persen.
”Saat ini sudah mulai kembali ke 50 persen. Semoga nanti, setelah tahun depan, sudah semakin membaik,” kata peraih penghargaan Wira Usaha Inspiratif Google Indonesia ini.
Maza optimistis kerajinan mutiara akan tetap diminati. Apalagi, sejak mulai merintis usahanya pada 2013, produk mutiara Maza Handcrafted Pearls and Jewerly telah memiliki pelanggan baik dalam maupun luar negeri. Khusus luar negeri, pelanggannya berasal dari berbagai negara Asia, juga Amerika.
”Kami juga terus mendapat kesempatan untuk memamerkan produk di luar negeri. Misalnya, sudah dua kali mengikuti Singapore International Jewerly Expo. Saat ini juga sedang menunggu hasil kurasi untuk mengikuti pameran di New York. Semoga lolos,” kata Maza.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F23%2Fc8208973-f61a-4dc7-b967-cdc69356bf05_jpg.jpg)
Berbagai perhiasan dan aksesori berbahan dasar mutiara di toko Maza Handcrafted Pearls and Jewerly di kawasan Jalan Gajah Mada, Sekarbela, Kota Mataram, seperti terlihat pada Senin (22/5/2023).
Meski demikian, Maza mengaku terus belajar dengan mengikuti berbagai pelatihan. Hal itu terutama untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi yang ada.
”Misalnya, saya mengikuti pelatihan desain dan pemasaran misalnya penggunaan media sosial seperti Tiktok,” katanya.
Sejalan dengan itu, karena buatan tangan, produknya bisa fleksibel mengikuti kebutuhan pasar saat ini. Tetapi, tanpa mengurangi kualitas, juga tetap memberi harga yang bersahabat.
”Produk kami juga bersertifikat dan bergaransi. Apalagi, merek kami sudah memiliki paten sejak 2020 sehingga menjadi jaminan kepercayaan pelanggan,” kata Maza.
Baca juga: Sirkuit MXGP di Pusat Kota Mataram Bakal Menjadi Magnet Penonton
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F23%2Fdcc1c782-e6a7-4144-bdde-0145978ae7fb_jpg.jpg)
Produk Sate Rembiga Goyang Lidah yang telah dikemas seperti terlihat di ruang produksinya di kawasan Dakota, Rembiga, Selaparang, kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Senin (22/5/2023).
Tidak hanya belajar pemasaran digital seperti lewat Tiktok, UMKM di Mataram juga berinovasi dengan menghadirkan produk yang bisa tahan lama dan berkualitas. Misalnya, usaha kuliner Sate Rembiga Goyang Lidah yang membuat sate rembiga kemasan di kawasan Rembiga, Selaparang.
”Kalau dulu, sebelum dibuat kemasan seperti sekarang (masih kemasan bening), paling lama satu minggu. Sekarang bisa tahan hingga enam bulan tanpa bahan pengawet karena sudah melewati proses sterilisasi. Tentu dengan legalitasnya,” kata Pratiwi Wulandari, penanggung jawab produksi Sate Rembiga Goyang Lidah kemasan.
Sate dalam kemasan yang dimulai sejak 2021 itu menjadi strategi untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Apalagi, saat itu dalam kondisi pandemi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F23%2Fca792034-cc10-4013-acd7-e54a7e846b0b_jpg.jpg)
Penanggung jawab produksi Sate Rembiga Goyang Lidah kemasan, Pratiwi Wulandari (26), menunjukkan produk mereka di tempat produksi di kawasan Dakota, Rembiga, Selaparang, Kota Mataram, Senin (22/5/2023).
Dalam perjalanannya, produk sate kemasan dari usaha yang dirintis tahun 2008 itu kian populer. Pemasarannya tidak hanya ke berbagai wilayah di Tanah Air, tetapi juga ke luar negeri, seperti Arab Saudi, Jepang, Turki, hingga Jerman.
UMKM di Mataram juga berinovasi dengan melihat tren gaya hidup masyarakat. Irma Firmana (45), pemilik UD Wida Chocolates Cakes & Cookies, mengatakan, sejak dua tahun terakhir dia mulai memproduksi cokelat dengan indeks glikemik rendah sehingga baik untuk kesehatan. Produknya cokelat dengan gula aren dan dark cokelat, bermerek Ankrella Chocolate.
”Selain produk pariwisata untuk oleh-oleh, kami juga melihat peluang dari kebutuhan masyarakat yang ingin hidup sehat. Alhamdulillah, sudah ada peminat,” kata Irma yang telah memulai usaha cokelat sejak 2014. Sebulan ia bisa memproduksi hingga 1.500 keping cokelat.
Ke depan, Irma menargetkan bisa menjangkau pasar internasional. Oleh karena itu, ia terus belajar hal-hal baru, baik untuk meningkatkan kualitas produk maupun strategi pemasarannya.
Baca juga: Rindu Taman-taman Kota di Mataram Kian Tertata
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F23%2Fe2462bd9-91b6-48d8-8714-ecb71436bbe9_jpg.jpg)
Warga mengikuti kegiatan car free day (CFD) atau hari bebas kendaraan di kawasan Jalan Udayana, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Minggu (21/5/2023). Acara CFD menjadi kesempatan bagi pelaku UMKM di Kota Mataram dan sekitarnya untuk memasarkan produknya.
Dukungan dari pemerintah daerah, baik kota maupun provinsi, serta pihak lain, diakui Irma cukup membantu. Dukungan itu, antara lain, baik berupa pelatihan maupun pelibatan saat kegiatan pameran.
”Ke depan, kami berharap, untuk pameran-pameran yang sampai luar negeri, usaha kuliner juga bisa banyak dilibatkan. Selama ini lebih sering dibawa kerajinan, seperti craft atau tenun,” kata Irma.
Dukungan
Kepala Bidang UMKM Dinas Perindustrian, Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah Kota Mataram Mamluatul Chair mengatakan, saat ini ada sekitar 5.000 UMKM di Kota Mataram. Pemerintah Kota Mataram di bawah kepemimpinan Wali Kota Mohan Roliskana dan wakilnya Tuan Guru Haji Mujiburrahman memberikan dukungan besar bagi pelaku UMKM.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F23%2Fa626cd1a-b3ca-4ace-83bc-68e7af43f7b8_jpg.jpg)
Warga membeli keripik di salah satu pedagang saat mengikuti car free day (CFD) atau hari bebas kendaraan di kawasan Jalan Udayana, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Minggu (21/5/2023). Acara CFD menjadi kesempatan bagi pelaku UMKM di Kota Mataram dan sekitarnya untuk memasarkan produknya.
Dukungan itu mulai dari bantuan modal, pelatihan peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan produk, pelibatan dalam pameran, hingga memfasilitasi pengajuan legalitas usaha pelaku UMKM di Kota Mataram.
Mewujudkan kota ekonomi kreatif harus didesain agar tetap berkelanjutan, skalanya semakin besar, serta ada investasi untuk menanamkan modal di bidang itu. (M Firmansyah)
Selain itu, ada juga gerakan menggunakan produk UMKM oleh organisasi perangkat daerah dan swasta. Di antaranya termasuk rencana membangun gerai besar untuk produk UMKM.
”Kami benar-benar ingin memberikan panggung bagi pelaku UMKM di kota ini sehingga Mataram ke depan bisa menjadi kota ekonomi kreatif seperti kota-kota besar di daerah lain di Indonesia,” kata Ummul.
Hal itu dilakukan karena keberadaan UMKM sangat penting, terutama dalam membuka lapangan pekerjaan sehingga menggerakkan perekonomian masyarakat. Satu UMKM, misalnya, tidak hanya menghidupi pemilik dan karyawan, tetapi juga berbagai pihak yang turut merasakan manfaat dalam rantai produksi. Dari hulu hingga hilir. Dari pemasok bahan baku hingga gerai-gerai di toko oleh-oleh.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F02%2F22%2Fe403fddf-a6a6-4d82-9c63-1eb60fe68a83_jpg.jpg)
Satu porsi Sate Rembiga Ibu Hj Sinnaseh yang berada di kawasan Rembiga, Selaparang, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Selasa (21/2/2023). Satu porsi sate daging sapi dijual Rp 25.000 dengan isi sepuluh tusuk.
Di sisi lain, UMKM juga jadi ruang bagi pengembangan kapasitas SDM baru bagi ekonomi kreatif. Misalnya, menjadi tempat magang atau pelatihan bagi pelajar atau UMKM rintisan.
UD Wida Chocolates Cakes & Cookies milik Irma, misalnya, menerima program kerja lapangan atau PKL sekolah menengah kejuruan (SMK) di Lombok. Sejumlah sekolah juga sering mengunjungi rumah produksi UD Wida. Irma juga jadi pembicara untuk berbagi pengalaman di berbagai lokakarya.
”Saya menganggap itu sebagai membagi ilmu. Juga mendukung peningkatan kualitas SDM UMKM daerah. Soal nanti ada saingan karena usahanya serupa, tidak khawatir karena rezeki sudah ada yang atur,” kata Irma.
Pengamat ekonomi yang juga dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram, M Firmansyah, mengatakan, mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi NTB Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif, dijelaskan ekonomi kreatif adalah perwujudan nilai tambah dari kekayaan intelektual yang bersumber dari kreativitas manusia yang berbasis warisan budaya, ilmu pengetahuan, dan atau teknologi.
Baca juga: Resep Penasaran Sate Rembiga Sinnaseh di Lombok

Lalu lintas kendaraan di Kota Tua Ampenan di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Mataram memiliki potensi besar untuk menjadi kota ekonomi kreatif.
Mataram sebagai jantung NTB, kata Firmansyah, telah memiliki embrio (kreativitas manusia) itu untuk menjadi kota ekonomi kreatif. Tinggal bagaimana masyarakat yang kreatif didukung oleh pemerintah yang kreatif mengoordinasikan semuanya.
Menurut Firmansyah, hal itu tidak bisa terwujud dalam satu atau dua bulan, melainkan bisa puluhan tahun sehingga diperlukan roadmap atau peta jalan pengembangan yang jelas dan efektif, serta dirancang dengan melibatkan semua pemangku kepentingan.
Untuk mewujudkan kota ekonomi kreatif, ia menambahkan, harus didesain agar tetap berkelanjutan, skalanya semakin besar, serta ada investasi untuk menanamkan modal di bidang itu.
Di masa mendatang, dengan bergeraknya ekonomi kreatif lewat geliat dan semangat UMKM, besarnya dukungan pemerintah dan pemangku kepentingan terkait, bukan mustahil Kota Mataram benar-benar bisa menjadi kota ekonomi kreatif. Kita nantikan bersama!