Kecepatan internet Indonesia per Desember 2023 adalah 24,96 Mbps atau di peringkat 97 dari 146 negara yang didata.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Judul di atas adalah cuplikan pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika 2009-2014 Tifatul Sembiring. Pernyataan yang disampaikan di media sosial Twitter (sekarang X) pada Januari 2014 itu lantas viral dan menjadi perbincangan warganet. Kalau internet cepat, memangnya mau dipakai buat apa?
Konteks pernyataan Tifatul waktu itu adalah respons terhadap rilis Akamai pada triwulan III-2013 yang menyebutkan kecepatan rata-rata internet di Indonesia adalah 1,5 megabit per detik (Mbps). Angka itu menempatkan Indonesia di peringkat kedua terbawah di kawasan Asia Pasifik. Bagaimana sekarang?
Mengutip laman speedtest.net, kecepatan internet mobile (jaringan seluler lewat gawai) di Indonesia per Desember 2023 adalah 24,96 Mbps atau ada di peringkat 97 dari 146 negara yang terdata. Sementara kecepatan internet Indonesia untuk fixed broadband (kabel optik) ada di angka 27,87 Mbps yang menempatkan Indonesia di peringkat 126 dari 178 negara yang didata.
Kendati peringkatnya tak bagus-bagus amat, kecepatan internet di Indonesia saat ini sudah jauh lebih baik ketimbang saat ramainya "internet cepat buat apa" yang dilontarkan seorang pejabat publik negeri ini.
Namun, untuk di kawasan Asia Tenggara saja, Indonesia jelas termasuk kategori "negara tertinggal". Sebagai negara anggota G20 dengan nilai ekonomi terbesar di ASEAN, kecepatan internet mobile Indonesia hanya unggul atas Myanmar dengan kecepatan 21,29 Mbps dan ada di peringkat 115. Indonesia juga unggul dari Timor Leste di peringkat 145 dengan kecepatan 4,16 Mbps.
Jangan bandingkan dengan Singapura yang ada di peringkat 19 dengan kecepatan 93,42 Mbps untuk kategori internet mobile. Sementara untuk kecepatan internet dari fixed broadband, Singapura menjadi yang tercepat di dunia dengan kecepatan rata-rata 270,62 Mbps.
Singapura mengalahkan negara yang dikenal sebagai raksasa teknologi, seperti Amerika Serikat (peringkat 8 dengan 227,27 Mbps), Jepang (peringkat 16 dengan 188,28 Mbps), atau Korea Selatan (peringkat 26 dengan 148,68 Mbps).
Untuk di kawasan Asia Tenggara saja, Indonesia jelas termasuk kategori "negara tertinggal".
Tak hanya urusan kecepatan, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia juga dihadapkan pada masalah jangkauan atau penetrasi internet di sejumlah wilayah. Berdasar hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang dirilis pada 31 Januari 2024, tingkat penetrasi internet di Indonesia pada 2024 sebesar 79,5 persen.
Artinya, sebanyak 221,5 juta penduduk Indonesia telah mampu mengakses internet dari populasi Indonesia yang sebanyak 278,6 juta jiwa. Angka penetrasi itu meningkat dari 2023 yang 78,19 persen.
Ekonomi digital
Kecepatan dan penetrasi internet adalah dua hal yang tak terpisahkan. Apalagi, segala aktivitas manusia saat ini semakin banyak yang bergantung pada teknologi digital, terlebih sejak pandemi Covid-19. Mulai dari urusan pekerjaan, sekolah, bepergian, hiburan, hingga belanja untuk kebutuhan sehari-hari pun amat bergantung pada internet.
Tak hanya itu, Indonesia juga memainkan peranan penting untuk ekonomi digital di tingkat kawasan. Mengutip laman Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, nilai ekonomi digital di ASEAN pada 2025 mendatang diperkirakan sebesar 330 miliar dollar AS dan akan meroket menjadi 1 triliun dollar AS pada 2030.
Dari angka tersebut, kontribusi Indonesia diperkirakan sebesar 40 persen dari nilai ekonomi digital di kawasan. Pada 2021, ekonomi digital Indonesia menyumbang 5,7 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional.
Internet juga menjadi daya ungkit untuk bangkitnya ekonomi mikro di masyarakat. Pemerintah menargetkan pada 2025 sebanyak 30 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sudah masuk ekosistem go digital. Artinya, seluruh rantai pasok dari hulu ke hilir sudah bisa menggunakan dan memanfaatkan teknologi digital, terutama untuk urusan pemasaran lewat lokapasar Indonesia.
Sayangnya, menurut pengakuan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, digitalisasi yang merambah sektor UMKM belum berkembang sesuai harapan. Digitalisasi di Indonesia hanya sebatas persaingan antarpelaku usaha, bukan telah mampu meningkatkan kapasitas usaha dengan menembus pasar global. Pada 2022, tercatat ada 19 juta pelaku UMKM yang sudah go digital dari 65 juta pelaku UMKM yang ada di Indonesia (Kompas.id, 22 September 2023).
Masih rendahnya pendapatan ekonomi digital Indonesia, menurut Teten, lantaran teknologi masih digunakan pelaku usaha untuk sektor hilir atau pemasaran saja. Padahal, pelaku UMKM akan lebih banyak memperoleh manfaat dari sektor hulu atau produksi. Adaptasi digital UMKM di sektor hilir juga rentan menciptakan predatory pricing oleh serbuan barang-barang impor yang dijual dengan harga jauh lebih murah dari harga produk buatan UMKM lokal.
Memang, masih banyak pekerjaan rumah pemerintah untuk benar-benar menjadikan RI go digital di segala sektor, baik itu untuk bisnis, pendidikan, maupun layanan publik yang juga masih terseok-seok urusan digitalisasinya. Pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang merata hingga di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar wajib direalisasikan. Internet yang cepat dengan tingkat penetrasi yang tinggi menjadi modal berharga menuju Indonesia Emas 2045. Begitu pula dengan masalah keterjangkauan harga.