Masyarakat perlu mempelajari dan memahami berbagai hal yang bisa memicu masalah kesehatan jiwa dan penanggulangannya sehingga kasus-kasus bunuh diri bisa dicegah.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·3 menit baca
Selama pandemi Covid-19, bermunculan kasus bunuh diri di sejumlah daerah, baik yang dilakukan pasien positif Covid-19 yang di rawat di rumah sakit maupun masyarakat yang terdampak secara ekonomi. Meski bunuh diri bisa dicegah, kepedulian masyarakat tentang bunuh diri masih rendah.
Bunuh diri adalah puncak dari berbagai persoalan kesehatan mental. Berdasarkan data Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Internasional (International Association for Suicide Prevention/IASP) pada 2020, lebih dari 800.000 orang di seluruh dunia atau satu orang setiap 40 detik meninggal karena bunuh diri.
Namun, korban bunuh diri bukan hanya pada mereka yang melakukan bunuh diri. Orang-orang terdekat dari orang yang meninggal karena bunuh diri juga akan terdampak hingga berisiko melakukan percobaan bunuh diri juga. Bunuh diri orang yang terdampak bunuh diri sebelumnya itu terjadi akibat trauma kehilangan, stigma masyarakat, munculnya masalah keluarga atau lingkungan, dan terjadinya peniruan sosial (social modelling).
Pandemi Covid-19 yang berlangsung di Indonesia sejak enam bulan lalu telah memunculkan beragam masalah kesehatan mental. Ketua Umum Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia Indria Laksmi Gamayanti, Kamis (10/9/2020), mengatakan, berdasarkan data dari 14.619 orang yang mendapatkan penanganan psikolog klinis, gangguan mental yang paling banyak ditemui adalah kesulitan belajar, kecemasan, stres, dan gangguan suasana hati, seperti depresi.
Depresi adalah gangguan jiwa yang paling sering muncul pada orang yang punya pikiran, niat, atau melakukan bunuh diri. Bahkan IASP menyebut 50 persen mereka yang melakukan bunuh diri mengalami gangguan depresi mayor di saat kematiannya. Padahal, depresi adalah penyakit yang bisa dicegah dan bisa disembuhkan.
Kondisi itu selaras dengan temuan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dari hasil swaperiksa masyarakat. Ketua Umum PDSKJI Diah Setia Utami menyebut, dari hasil swaperiksa itu, sebanyak 57,6 persen responden teridentifikasi memiliki gejala depresi. Selain itu, 58,9 persen responden memiliki pikiran kematian dan menyakiti diri sendiri, bahkan 15,4 persen di antaranya mengalami pikiran tersebut setiap hari.
Dipicu banyak hal
Bermunculannya kasus-kasus bunuh diri selama pandemi Covid-19 itu tentu mengkhawatirkan. Pikiran, niat, dan tindakan bunuh diri itu dipicu oleh banyak hal, baik biologi, psikologi, maupun sosial. Bunuh diri bukan disebabkan semata akibat lemahnya keimanan seseorang.
Bunuh diri dapat dicegah. Pikiran tentang kematian dan menyakiti diri adalah masalah kesehatan jiwa yang perlu mendapatkan penanganan intensif dari psikiater dan psikolog klinis agar tak berujung pada tindakan bunuh diri.
”Bunuh diri dapat dicegah. Pikiran tentang kematian dan menyakiti diri adalah masalah kesehatan jiwa yang perlu mendapatkan penanganan intensif dari psikiater dan psikolog klinis agar tak berujung pada tindakan bunuh diri,” kata Gamayanti.
Karena itu, kesadaran akan pentingnya kesehatan jiwa di masyarakat perlu terus dibangun. Masyarakat perlu mempelajari dan memahami berbagai hal yang bisa memicu masalah kesehatan jiwa dan penanggulangannya hingga kasus-kasus bunuh diri bisa dicegah. Terlebih, setiap tanggal 10 September setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia.
”Masyarakat perlu mengenali tanda-tanda kecenderungan individu melakukan bunuh diri, seperti ucapan, ide, atau niat mengakhiri hidup, serta menyebutkan alat dan waktu untuk mengakhiri hidup,” kata Diah.
Saat mendeteksi adanya kecenderungan orang yang ingin bunuh diri, masyarakat bisa segera mencari bantuan dari psikiater atau psikolog klinis terdekat. Dengan kepedulian masyarakat tersebut, kasus bunuh diri di lingkungan sekitar kita bisa dicegah.