KDRT, Tindak Pidana yang Harus Dilaporkan
KDRT bukan merupakan masalah pribadi yang harus ditutupi dan orang lain tidak boleh ikut campur jika terjadi KDRT di rumah orang lain. Setelah disahkannya UU PKDRT, KDRT termasuk tindak pidana yang harus dilaporkan.
Dalam beberapa hari terakhir ini sejak beredarnya ceramah Oki Setiana Dewi (OSD), yang cenderung menganjurkan untuk menutupi atau berbohong tentang kekerasan yang dilakukan suami kepada istri, para netizen banyak yang menunjukkan protes dan kritik terhadap isi ceramahnya.
Saya melihat dinamika wacana ini sebagai pertanda baik kondisi perempuan Indonesia saat ini.
Ini menunjukkan bahwa perempuan Indonesia saat ini sudah lebih berpendidikan dan memiliki kemampuan critical thinking yang baik, tidak menerima begitu saja pesan yang dapat membahayakan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Walau demikian, saya menyadari kondisi perempuan Indonesia saat ini tidaklah seragam seperti itu. Masih ada juga segmen kelompok perempuan yang sami`na wa atho`na (kami mendengar dan kami menaati), melakukan apa pun yang didengar dari ustadz/ustadzahnya, mengingat keterbatasan akses terhadap sumber ilmu pengetahuan lainnya.
Mansour Fakih, dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial menyebutkan indikator ketidakadilan gender, yaitu: subordinasi, marginalisasi, stereotype, double/multiple burdens, dan kekerasan.
Ketidakadilan gender
Dalam ceramahnya OSD menceritakan kisah nyata dari Jeddah tentang seorang suami yang marah kepada istrinya dan memukul wajahnya. Si istri menangis dan saat itu ada yang mengetuk pintu, yang ternyata adalah ibunya. Dalam kondisi menangis, si istri membuka pintu, dan ibunya bertanya mengapa dia menangis.
Si istri mengatakan bahwa ia sedang rindu pada ibunya dan senang saat mengetahui bahwa Allah mengabulkan doanya dengan kehadiran ibunya. Dengan perilaku istrinya, suaminya semakin sayang pada istrinya. Dari kisah ini OSD menganjurkan untuk menutupi aib pasangan, tidak melaporkan. Dia juga mengatakan bahwa perempuan itu lebay, suka melebih-lebihkan cerita saat perempuan sedang marah.
Mansour Fakih, dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial menyebutkan indikator ketidakadilan gender, yaitu: subordinasi, marginalisasi, stereotype, double/multiple burdens, dan kekerasan. Terdapat dua indikator ketidakadilan gender pada isi ceramah OSD, jika ditinjau dari perspektif gender, yaitu: stereotip dan kekerasan.
Stereotip (pelabelan negatif) terdapat pada kata-kata OSD yang menyatakan bahwa perempuan itu suka lebay, melebih-lebihkan cerita saat dia marah. Unsur kekerasan terdapat dalam isi ceramah yang cenderung menganjurkan menutupi tindakan kekerasan itu sendiri, bahkan sampai mengidealkan berbohong. Menganjurkan untuk menutupi atau membiarkan tindakan kekerasan dapat berarti mendukung tindakan kekerasan itu sendiri.
Baca juga : Urgensi Keadilan Hukum bagi Perempuan
Merespons kritik para netizen, OSD sudah meminta maaf atas kesalahannya. Ini merupakan tindakan yang perlu diapresiasi dan semoga menjadi pembelajaran bagi dirinya untuk menyaring informasi yang didapatnya sebelum menyebarkannya secara luas, mengingat dirinya merupakan public figure, yang isi ceramahnya dikonsumsi banyak orang.
Kritik netizen terhadap isi ceramah OSD bukan hanya merupakan pertanda baik akan tingginya tingkat pendidikan dan kemampuan berpikir kritis sehingga para netizen tidak dapat menerima begitu saja ajaran yang dapat membahayakan perempuan, melainkan juga pertanda telah terjadinya perubahan sikap (change of attitude) masyarakat setelah diberlakukannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Sebelum diberlakukannya UU PKDRT pada tahun 2004, masyarakat Indonesia cenderung menganggap bahwa KDRT merupakan masalah pribadi yang harus ditutup-tutupi dan orang lain tidak boleh ikut campur jika terjadi KDRT di rumah orang lain.
Setelah disahkannya UU PKDRT, masyarakat Indonesia, perlahan tapi pasti mulai memahami dan mengganti sikap dengan melihat KDRT sebagai tindak pidana yang harus dilaporkan kepada yang berwajib, sehingga pelakunya dapat dihukum. Masyarakat sekitar pun perlu berupaya melerai atau menghentikan kekerasan yang terjadi di rumah tetangganya, misalnya dengan mengetuk pintu dan berpura-pura minta garam atau sambil berbagi makanan, lalu berbasa-basi agak lama untuk menghentikan kekerasan yang sedang terjadi.
Tindak pidana berbahaya
KDRT merupakan tindak pidana yang berbahaya, yang jika tidak dihentikan sejak awal dapat bereskalasi sampai pada pembunuhan. Secara teori, siklus KDRT (circle of violence) bisa berawal dari suami yang marah terhadap istri (tension) dan suami menghardik istrinya (an incident of abuse). Kemarahan itu sendiri dapat disebabkan oleh faktor eksternal maupun internal. Secara eksternal, mungkin suami dimarahi atasannya di tempat kerja, lalu kekesalannya dilampiaskan pada istrinya di rumah.
Istri yang mendapat kekerasan dari suami, bisa saja melampiaskan kemarahannya pada anak, yang lebih tidak berdaya dari dirinya. Ini karena salah satu penyebab terjadinya kekerasan adalah ketimpangan relasi kuasa: atasan kepada bawahan, suami kepada istri dan istri kepada anaknya. Secara internal, bisa saja suami dan istri berselisih pendapat lalu berlanjut pada pertengkaran.
Saat dihardik, bisa saja istri menangis, yang menyebabkan suaminya menyesal dan meminta maaf. Lalu istri memaafkan (reconciliation). Namun saat ada kejadian yang sama, bisa saja kemarahan suami meningkat dengan disertai pemukulan dengan tangan (escalation of violence). Lalu istri menangis, suami menjadi menyesal dan meminta maaf serta berbuat baik pada istrinya (honey moon period or reconciliation). Namun berselang lama, jika ada penyebab yang membuat suami marah (tension), bisa saja suami memukul lagi istrinya dengan alat (escalation of violence), yang bisa saja menyebabkan kematian si istri.
KDRT merupakan tindak pidana yang berbahaya, yang jika tidak dihentikan sejak awal dapat bereskalasi sampai pada pembunuhan.
KDRT, meskipun akibatnya tidak sampai pada kematian, dapat merugikan negara karena dapat mengakibatkan trauma psikologis dan/atau kecacatan fisik. Jika ini terjadi, maka sumber daya manusia Indonesia melemah dan biaya pengobatan meningkat.
Oleh karena itu, KDRT perlu dicegah dan dihapuskan, bukan hanya dengan diimplementasikannya UU PKDRT melainkan juga pada level pribadi masing-masing yang terlibat. Misalnya, suami yang cenderung memukul istrinya saat marah perlu segera pergi ke psikolog untuk meminta bantuan psikologis, jika dirinya tidak lagi dapat mengontrol apa yang dilakukan terhadap pasangannya.
Istri juga harus pandai menjaga diri, tidak membiarkan dirinya menjadi objek hardikan atau pemukulan dengan mengatakan perasaannya, misalnya: “Saya tidak setuju diperlakukan (dihardik) oleh kamu seperti itu, hati saya sakit.”; atau: “Stop, kamu tidak boleh memukul saya!”; atau laporkan kepada polisi; atau lari ke luar rumah mencari pertolongan tetangga jika eskalasi kekerasannya sulit dihindari dan dihentikan.
Suami istri pada umumnya dipersatukan karena cinta dan oleh karena itu, idealnya mereka saling menghormati dan mencintai satu sama lain. Tujuan perkawinan adalah untuk mendapat ketenangan (sakinah) dan hidup dengan penuh cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), sehingga KDRT bukan hanya bertentangan dengan tujuan perkawinan, melainkan juga merupakan tindak pidana yang harus dilaporkan dan dihukum pelakunya.
Nina NurmilaGuru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung