Semua kelaliman dan pelakunya berasal dari relung gelap ”ignoramus”. Pencerahan adalah ikhtiar menembus kegelapan itu.
Oleh
BEN SOHIB
·3 menit baca
SUPRIYANTO
.
Mengutip Dietrich Bonhoeffer, Alissa Wahid menulis bahwa kita perlu lebih takut kepada orang bahlul daripada kepada orang-orang jahat (Kompas, 12/5/2024). Pendeta Lutheran Jerman yang melawan Nazi sejak awal Hitler berkuasa itu mempertanyakan mengapa negara Jerman yang dahulu memiliki banyak cendekia cemerlang bisa berubah menjadi negara yang dipenuhi pengecut dan orang-orang bebal yang membiarkan kezaliman Hitler.
Bonhoeffer berkesimpulan bahwa hal itu terjadi lantaran masyarakat terinfeksi penyakit bebal. Kebebalan itu tidak terkait dengan intelegensia yang rendah atau kapasitas kognitif yang tidak memenuhi standar normalitas. Orang bebal adalah orang yang tidak memiliki kesadaran atas kehidupan dan karena itu tidak memahami kontribusinya dalam lingkungan di mana ia berada. Dengan kata lain: ignoramus.
Kaum ignoramus yang sejatinya tidak punya watak jahat dimanipulasi, diarahkan, dan disetir bagaikan kawanan ternak yang tidak mampu memilih jalannya sendiri. Karena watak inilah, orang bebal menjadi lebih berbahaya daripada orang jahat, terutama apabila mereka memegang kekuasaan karena posisi maupun jumlah yang mayoritas.
Menurut Bonhoeffer, saat menghadapi orang culas atau seorang penguasa lalim, kita tahu posisi kita dan bagaimana berjuang memerangi si lalim. Namun, kita akan kesulitan berhadapan dengan kaum ignoramus karena mereka tidak bertindak secara rasional. Intinya, mereka terjangkiti collective stupidity atau kebebalan kolektif, di mana mereka bertindak di luar nalar kritis dan bahkan di luar batas kemanusiaan.
Alissa Wahid lalu mengaitkan pemikiran Bonhoeffer yang dihukum gantung oleh Hitler pada 1943 itu dengan situasi sosial politik di Indonesia. Pengingkaran sebagian orang akan adanya pandemi (Covid-19) sehingga menyebabkan tingginya angka kematian saat itu, tawuran antarkelompok pendukung klub sepak bola, atau kekerasan berulang di lingkungan lembaga pendidikan, dan kasus-kasus intoleransi antarumat beragama diketengahkan sebagai contoh-contoh ignoramus.
Di antara contoh-contoh itu, intoleransi antarumat beragamalah yang menjadi titik fokus tulisan pegiat Jaringan Gusdurian itu. Ia mengeluhkan masih berlangsungnya proses pembentukan nilai dan pandangan keberagamaan yang eksklusif di masyarakat, kepala daerah yang memanjakan kelompok mayoritas, dan aparat keamanan dan penegak hukum yang abai untuk memenuhi hak dasar beragama dan berkeyakinan serta beribadah.
Kasus kekerasan mental dan fisik yang menimpa warga negara dari kelompok agama minoritas yang terjadi di Tangerang Selatan beberapa waktu lalu menjadi contoh kasusnya. Tentu saja kita prihatin dan bersedih atas kejadian tersebut. Kita mengecam aksi-aksi kekerasan verbal, mental, dan fisik terhadap kelompok-kelompok agama minoritas.
Namun, menjadikan peristiwa itu sebagai contoh spesifik dalam sebuah tulisan yang sedang mengulas ignoramus, saya rasakan sebagai sesuatu yang reductive. Meskipun tentu saja tidak diniatkan oleh penulisnya, hal itu bisa mengarahkan imaji sebagian pembaca untuk mengasosiasikan ignoramus hanya pada kelompok tertentu saja.
Namun, kita akan kesulitan berhadapan dengan kaum ’ignoramus’ karena mereka tidak bertindak secara rasional.
Dan, saya khawatir, akibat lanskap dan fakta dinamika sosial dan politik di Indonesia, persepsi yang narrow minded semacam itu memang telanjur terbentuk di benak sebagian orang. Polarisasi kelompok ”puritanis vs tradisionalis” dan ”nasioalis vs agamis”, misalnya, menajam saat Pilgub DKI 2017 dan Pilpres 2019. Kerap kali dalam pemetaan bingkai ideologi politik, kelompok-kelompok yang saling berseberangan itu dikategorikan secara diametral sebagai ”radikal-moderat”, ”toleran-intoleran”, dan ”antipemerintah-propomerintah”.
Meski sempat mengalami penumpulan dan deformasi akibat perubahan peta koalisi politik pada Pilpres 2024, di mana setiap pasangan capres-cawapres nyaris memiliki kawan dan lawan dari unsur yang sama, tetapi bias cara pandang semacam itu tampaknya masih melekat di benak sebagian masyarakat. Dalam hemat saya, pengabaian terhadap persepsi biner yang terbentuk akibat pembelahan di masa lalu justru akan menghambat kerja-kerja dalam mengatasi problem intoleransi antarumat beragama.
Urusan moral
Meminjam kacamata Bonhoeffer dalam melihat ignoramus sebagai sumber bahaya, di mana akar persoalannya adalah absennya kesadaran atas kehidupan, kita bisa mafhum bahwa ignoramus bukanlah persoalan intelektual. Ignoramus merupakan urusan moral, sosiologis, dan psikologis.
Bebal, stupidity, atau yang dalam terminologi Islam disebut jahiliah, adalah terma yang menggabungkan paling tidak ketiga unsur tersebut untuk menggambarkan sebuah kondisi kegelapan jiwa dan alam pikir seseorang, masyarakat, atau rezim dalam memandang dan memaknai kehidupan.
Dengan demikian, semua pihak berpotensi terjerumus ke dalam ”kegelapan”ignoramus. Dalam kondisi gelap jiwa dan pikir itu, orang akan mengabaikan semua fakta yang bertentangan dengan prejudgment-nya. Dalam gulita, mereka tidak mampu melihat dari sudut pandang orang lain. Sebagai akibatnya, mereka akan berlaku lalim dan menjustifikasi perilaku dengan seribu satu pembenaran.
Jadi, pada dasarnya, secara etika dan moral, semua kelaliman dan pelakunya berasal dari relung gelap ignoramus. Dan sepakat dengan pendapat Alissa Wahid, ikhtiar membangun kesadaran kolektif adalah kunci untuk bisa membuka pintu yang mengurung para ignoramus dalam pengap kegelapan agar kemudian menghirup udara bebas yang terang dan tercerahkan (enlighted).
Dalam konteks ini, pencerahan adalah upaya membuat orang tak segan menilik balik kelemahan pandangannya, mau mencoba menempatkan dirinya dalam ”sepatu” orang lain, dan pada gilirannya mampu berempati kepada Sang Liyan. Hanya saja, upaya membangun kesadaran itu selayaknya tidak terbatas pada oknum pemuka agama, oknum penyelenggara negara, dan oknum aparat penegak hukum saja, tetapi kepada seluruh elemen bangsa, termasuk diri kita sendiri tentu saja.
Pencerahan atau enlightment adalah antitesa dalam segala aspeknya dari bebal, stupidity, atau jahiliah. Pada titik ini, sebagaimana yang disinggung Alissa Wahid, mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai amanat kemerdekaan menemukan relevansinya dengan upaya mengatasi ignoramus. Dengan kata lain, pencerahan adalah ikhtiar menembus kegelapan ignoramus.