Film ”Indonesia Berjuang untuk Hutan yang Tersisa” merekam upaya penyelamatan hutan Indonesia selama 20 tahun terakhir. Global Forest Resources Assessment 2020 mencatat ada 4,06 miliar hektar hutan yang tersisa di bumi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Film dokumenter berjudul Indonesia Berjuang untuk Hutan yang Tersisa ditayangkan ke publik di Jakarta pada Jumat (2/9/2022). Film yang pernah ditayangkan di Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke-26 (COP 26) di Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya, pada tahun 2021 itu merekam upaya penyelamatan hutan Indonesia selama lebih dari 20 tahun terakhir.
Film tersebut sekaligus merekam perjalanan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Kaoem Telapak dan Environmental Investigation Agency (EIA), LSM yang berbasis di London, Inggris. Keduanya bekerja sama untuk menginvestigasi pembalakan liar sejak 1998/1999.
Tim mendapati bahwa pemerintah yang korup, nepotisme, buruknya tata kelola lahan, hingga keserakahan pihak tertentu melanggengkan kerusakan alam. Akibatnya, satwa dan tumbuhan kehilangan rumah karena hutan gundul. Manusia yang hidup berdampingan dengan hutan juga kehilangan ruang penghidupan.
Kerusakan hutan juga berdampak hilangnya biodiversitas. Padahal, Indonesia merupakan sebagai negara dengan keanekaragaman hayati (kehati) terbanyak kedua setelah Brasil. Menurut buku Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia yang diterbitkan LIPI Press pada 2014, Indonesia menjadi rumah bagi 17 persen spesies dunia.
Film berdurasi 1 jam 45 menit itu juga mendapati bahwa pembalakan liar terjadi di hampir semua taman nasional. Hal ini merupakan hasil penelusuran mereka ke Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, dan Taman Nasional Gunung Leuser di Pulau Sumatera pada 1999. Ada ”aktor” besar di balik pembalakan liar ini.
Hasil investigasi dirilis di Jakarta pada 1999 dalam laporan berjudul The Final Cut. Selain laporan tertulis, Kaoem Telapak dan EIA menyertakan foto dan video yang mereka kumpulkan di lapangan. Laporan ini menjadi pembicaraan publik. Ini juga memicu berkembangnya metode investigasi dengan foto dan video.
Laporan lanjutan
Investigasi pembalakan liar masih dilanjutkan hingga beberapa tahun ke depan. Hasil investigasi pun rutin dirilis ke publik, antara lain laporan Timber Trafficking (2001), Trouble in Paradise (2003), The Last Frontier (2005), The Thousand Headed Snake (2007), Timber Barons (2007), dan Up for Grab (2009). Laporan lain juga diterbitkan antara lain pada 2014, 2015, dan 2019.
Cakupan investigasi pembalakan liar meluas hingga ke Papua dan Riau. Tim juga menemukan ruwetnya rantai pembalakan liar yang melibatkan negara lain, oknum aparat penegak hukum, hingga pelaku ekspor-impor ilegal.
Di sisi lain, investigasi Kaoem Telapak dan EIA mendorong diskusi publik. Pemerintah pun turun tangan. Sejumlah pelaku pembalakan liar dihukum. Indonesia melakukan kerja sama internasional untuk mempertahankan hutan. Sejumlah peraturan menuju reformasi industri kayu dibuat, misalnya larangan menjual kayu bulat.
Presiden Kaoem Telapak Mardi Minangsari atau Minang mengutarakan, ada banyak hal yang berhasil dicapai selama 20 tahun terakhir. Namun, pekerjaan mereka belum selesai. Pengelolaan hutan yang lestari masih perlu didorong, termasuk pengakuan hak masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada hutan.
”Tata kelola hutan dan lahan jadi penting karena itu pangkal dari semua isu. Untuk (mencapai) itu, perlu tiga hal, yaitu transparansi, pelibatan publik, dan penegakkan aturan, termasuk pengawasan (di lapangan),” ujar Minang.
Forest Campaign Leader EIA Faith Doherty menambahkan, masih banyak upaya yang mesti dilakukan untuk menjaga kelestarian hutan. Hal ini bisa dicapai jika semua pemangku kepentingan bekerja sama.
Direktur Bina Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Krisdianto mengatakan, pemerintah berkomitmen mengelola dan memberdayakan hutan secara berkelanjutan.
Salah satu kebijakan untuk mendukung itu adalah Sistem Verifikasi Legalitas Kelestarian (SVLK). SVLK untuk menjamin legalitas asal-usul kayu. Kini, SVLK juga mencakup hasil hutan bukan kayu, seperti rotan, madu, dan getah.
Tata kelola hutan dan lahan jadi penting karena itu pangkal dari semua isu. Untuk (mencapai) itu, perlu tiga hal, yaitu transparansi, pelibatan publik, dan penegakkan aturan, termasuk pengawasan (di lapangan).
Di sisi lain, Forest Watch Indonesia (FWI) dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menemukan sejumlah pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) yang sudah bersertifikat tidak patuh.
Hal ini berdasarkan pantauan di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat pada Mei-Juli 2022. Pelanggaran itu terkait tata batas, penataan kawasan yang dilindungi, serta aspek sosial, seperti mekanisme pengakuan masyarakat, termasuk masyarakat adat (Kompas.id, 29/7/2022).
Analis kebijakan KLHK, Sigit Pramono, menambahkan, ada lembaga independen yang bertugas mengaudit pelaksanaan SVLK di lapangan. Peran organisasi masyarakat sipil juga penting untuk memastikan pelaksanaan SVLK.