Setelah empat minggu terpaksa diam di rumah, warga Shanghai mulai frustrasi dan terpecah. Warga saling curiga, saling tuduh, dan saling melaporkan jika ada warga yang positif Covid-19 atau tak mau mengunggah hasil tesnya
Oleh
LUKI AULIA
·6 menit baca
Empat pekan sudah warga Shanghai harus tinggal di rumah saja akibat pemberlakuan kebijakan pembatasan atau lockdown terkait pandemi Covid-19. Perasaan frustrasi warga kian terasa jika membaca unggahan-unggahan di media sosial dan aplikasi WeChat. Kekesalan dan frustrasi kian menumpuk karena orang sudah stres tidak bisa ke mana-mana. Ditambah lagi dengan semakin sulitnya memperoleh makanan.
Tumpahan kekesalan kepada pemerintah dan situasi pandemi bergulir liar hingga menimbulkan perpecahan di antara penduduk Shanghai. Kelompok penduduk berusia muda beradu dengan kelompok usia lanjut, penduduk setempat dengan orang asing, dan tentu saja warga yang negatif Covid-19 dengan mereka yang positif Covid-19.
Sebanyak 25 juta warga Shanghai yang mayoritas tinggal di apartemen sebenarnya sudah menjalin semacam ikatan komunal baru selama pandemi. Mereka mengorganisasi barter makanan atau barang-barang yang dibutuhkan, bahkan melakukan pembelian makanan atau barang secara berkelompok. Mereka juga mendirikan pos khusus untuk berbagi makanan.
Hanya saja, kesal dan frustrasi meningkat karena kebijakan lockdown seakan tanpa akhir. Satu kasus saja bisa membuat heboh, seperti yang terjadi ketika ada seorang perempuan yang dibawa ke pusat karantina setelah hasil tes Covid-19-nya menunjukkan positif. Namun, setelah dites ulang, rupanya ia negatif Covid-19. Ia menuding tetangganya yang sengaja melaporkan dirinya ke pihak berwenang.
Mengunggah dan menginformasikan hasil tes Covid-19 ke grup WeChat seperti itu biasa dilakukan belakangan ini seiring dengan upaya pemerintah mengatasi pandemi. Kasus lain yang memicu kepanikan adalah ketika ada seorang warga Amerika Serikat yang diberi tahu akan dikirim ke pusat karantina setelah hasil tesnya positif. Ada juga tiga orang lain yang tinggal di dekat warga AS itu yang juga dibawa ke pusat karantina.
”Dalam obrolan di grup WeChat, banyak orang sering tanya apa masih ada orang-orang yang positif di sini. Apakah orang-orang positif itu masih di sini? Begitu cara bertanyanya,” kata warga AS itu tanpa mau menyebutkan namanya.
Warga Shanghai yang sudah berusia lanjut lebih rentan terhadap Covid-19 dan mereka menjadi ”rewel” dengan meminta agar orang-orang yang positif segera diusir dari rumah atau apartemennya. ”Ini gara-gara media massa memberitakan penyakit ini secara berlebihan. Orangtua juga takut karena sistem kekebalan tubuh mereka lemah. Jadilah mereka lebih takut pada virus ini ketimbang anak-anak muda,” kata seorang warga.
Seorang warga asing lain yang hanya mau dipanggil dengan nama Alexy dituduh oleh tetangganya positif Covid-19 hanya karena hasil tesnya tidak kunjung berhasil diunggah ke aplikasi kesehatan. Pihak pengelola gedung apartemennya lalu melarang ada pengiriman makanan ke keluarganya kecuali mereka membagikan hasil tes Covid-19 mandiri yang mereka lakukan di rumah dibagikan ke warga yang lain.
Tuntutan seperti ini dinilai sebagian penduduk Shanghai sebagai bentuk pelanggaran privasi. ”Mereka tidak mempunyai pedoman layanan karena Pusat Pengendalian Penyakit kewalahan. Jadi, mereka memosisikan diri menjadi seperti dokter, polisi, dan hakim sekaligus,” ujarnya.
Ada beberapa orang yang juga dilarang masuk ke rumah mereka dan diharuskan tinggal di hotel setelah dibebaskan dari pusat karantina. Padahal, jika sudah dibebaskan, berarti sudah dinyatakan terbebas dari Covid-19. Ada juga kasus warga asing lain yang positif Covid-19, tetapi memilih diam di apartemennya dan tidak ke pusat karantina.
Banyak tetangganya yang kecewa dan memintanya untuk segera keluar. Ia juga tidak diperbolehkan ikut memesan barang belanjaan, bahkan ia diminta membuat permintaan maaf secara resmi. Bahkan, ada tetangganya yang menyebutkan ”sampah asing”, sementara yang lain menyebarkan kebohongan mengenai kondisi kesehatan mentalnya. Hukuman atau sanksi sosial yang ia rasakan sangat berat. Lebih parah lagi, tidak ada seorang pun yang membantunya.
Korban tewas
Kekhawatiran dan ketakutan warga Shanghai pada Covid-19, terutama penduduk usia lanjut, wajar karena pada Senin (18/4/2022) pemerintah Shanghai akhirnya mengeluarkan pengumuman resmi bahwa sudah ada tiga orang yang tewas akibat Covid-19. Ketiganya sudah berusia lanjut. Dua perempuan berusia 89 tahun dan 91 tahun serta satu laki-laki berusia 91 tahun. Ketiganya meninggal di dalam perjalanan ke rumah sakit. Kasus harian Covid-19 terus naik hingga mencapai sekitar 25.000 kasus dan sebagian besar tidak menunjukkan gejala.
Untuk menangani pandemi, Pemerintah China kembali menggunakan pendekatan lama tanpa toleransi terhadap Covid-19. Seperti yang pernah diberlakukan pada Beijing dan Wuhan, kebijakan pembatasan pergerakan yang ketat, tes massal Covid-19, dan mengisolasi siapa pun yang positif Covid-19 meski tanpa gejala.
Karena kebijakan yang sangat ketat, warga Shanghai mengeluhkan semakin sulitnya memperoleh makanan. Sebagai warga salah satu kota terkaya dan paling kosmopolitan di China, fasilitas karantina di pusat karantina pun dinilai terlalu sederhana. Belum lagi penegakan hukumnya yang berat. Saking frustrasinya, warga terlibat bentrok dengan polisi yang berpakaian hazmat.
Beibei (30), warga Shanghai yang berprofesi sebagai marketing perumahan, menceritakan pengalamannya menginap di pusat karantina. Ia mau tak mau harus tidur bersama ribuan orang asing di dalam gedung pusat pameran dan konvensi nasional yang memiliki langit-langit yang tinggi. Lampu terus dinyalakan sepanjang malam. Tidak ada air panas untuk mandi. Beibei dan suaminya disuruh ke pusat karantina itu setelah selama 10 hari diisolasi di rumah setelah hasil tesnya menunjukkan positif. Anak perempuan mereka yang berusia dua tahun kini untuk sementara tinggal bersama kakeknya. Pengasuh anak mereka juga sedang dikarantina.
Gedung pameran yang diisi 50.000 ranjang itu merupakan salah satu dari 100 fasilitas karantina yang didirikan di Shanghai bagi mereka yang positif Covid-19, tetapi tidak bergejala. ”Tidak ada yang punya gejala yang jelas. Ada yang batuk, tetapi saya tidak tahu apakah itu batuknya terkait dengan Covid-19 atau tidak. Pada awalnya orang ketakutan dan panik. Namun, sekarang sepertinya orang mulai bisa menerima virus ini tidak terlalu mengerikan,” kata Beibei.
Pusat karantina seluas 420.000 meter persegi itu ditujukan kepada siapa pun yang hasil tesnya positif, tetapi hanya menunjukkan gejala sedikit atau tidak sama sekali. Mereka harus menginap di karantina selama satu pekan. Beibei mengaku hidungnya sempat tersumbat serta kehilangan sebagian dari indera perasa dan penciumannya. Namun, kini semua gejala itu sudah hilang.
Ketika berada di pusat karantina itu, kondisi kesehatan setiap orang diperiksa dua kali sehari untuk dilihat apakah mengalami demam atau tidak. Hasilnya kemudian diunggah ke informasi kesehatan di ponsel masing-masing. Meski tempat karantinanya luas karena mendapat predikat sebagai tempat pameran mobil terbesar di dunia, mereka yang ada di dalam karantina banyak yang merasa bosan. Sebagian besar waktu hanya dihabiskan dengan membaca, menari, mengikuti kelas online, atau menonton film dan video di ponsel.
Selain gedung pameran itu, ada tempat karantina lain yang hanya berbentuk bangunan sementara. Di tempat karantina ini banyak keluhan, mulai dari atap yang bocor, persediaan makanan yang tidak memadai, hingga perawatan medis yang sering terlambat. Fasilitas kamar mandi pun tidak bersih karena terlalu banyak orang yang menggunakannya, sementara petugas kebersihannya tak banyak.
”Kami juga belum menemukan tempat mandi dengan pancuran air panas. Lampu menyala sepanjang malam dan membuat susah sekali untuk tidur,” kata Beibei. (REUTERS/AFP/AP)