Konflik Pulau Rempang, Sebaiknya Aparat Ditarik dan Utamakan Pendekatan Dialogis
Pihak Komnas HAM meminta agar suasana di Rempang, Batam, menjadi kondusif terlebih dahulu dan pemerintah segera mencari solusi. Selain itu, aparat kepolisian sebaiknya ditarik dulu dari lokasi.
Oleh
ATIEK ISHLAHIYAH AL HAMASY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pihak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah memanggil beberapa pihak terkait untuk meluruskan masalah konflik lahan antara warga dan Proyek Strategis Nasional di Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru, Kepulauan Riau. Untuk mencegah pertumpahan darah, pemerintah dan masyarakat diminta mengutamakan pendekatan dialogis agar suasana menjadi kondusif.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Atnike Nova Sigiro mengatakan, pemanggilan tersebut merupakan tindak lanjut dari aduan warga yang terdampak penggusuran dan relokasi tersebut. Aduan warga tersebut dilayangkan atas nama Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) pada 2 Juni 2023.
Pihak yang dipanggil pada Senin (11/9/2023) di antaranya Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, Wali Kota Batam, Kepala Polda Kepulauan Riau, dan Kepala Kantor Badan Pertanahan Kota Batam. Akan tetapi, diskusi dilakukan secara tertutup dan beberapa dari mereka hanya mengutus perwakilannya ke Jakarta.
Dalam rapat tersebut, pihak Komnas HAM menghimpun keterangan mengenai apa yang terjadi di lapangan. Pihak Komnas HAM meminta agar suasana di lapangan menjadi kondusif terlebih dahulu dan pemerintah segera mencari solusi.
Pihak Komnas HAM sedang menangani kasus tersebut melalui mekanisme mediasi HAM. Melihat pada Senin (11/9/2023) terjadi demonstrasi dan kericuhan di Kantor BP Batam, pihak Komnas HAM mengimbau sebaiknya warga dan pihak terkait berbicara dari hati ke hati, tidak saling menumpahkan air mata dan darah.
Komnas HAM turut menyesalkan insiden bentrok yang terjadi antara aparat gabungan dan warga. Atnike meminta agar aparat keamanan yang berada di kawasan tersebut segera ditarik mundur dan warga yang ditahan akibat kerusuhan tersebut dibebaskan. Jalur dialog diharapkan diutamakan.
Selain itu, Atnike meminta pemerintah melakukan pemulihan terhadap anak-anak yang mengalami kekerasan dan trauma saat kejadian bentrok tersebut. Pemerintah pusat dan daerah serta aparat penegak hukum juga diminta menerapkan pendekatan humanis dalam penyelesaian sengketa agraria, termasuk dalam Proyeksi Strategis Nasional.
”Kami meminta agar masyarakat turut menjaga ketenteraman guna mencegah eskalasi konflik. Komnas HAM mengajak semua pihak untuk mengedepankan pendekatan dialogis dalam merespons persoalan ini,” katanya.
Hal senada juga diutarakan Wakil Kepala BP Batam Purwiyanto. Ia memohon kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk menghentikan kericuhan agar korban tidak berjatuhan. Dalam waktu dekat, akan ada upaya mediasi terhadap warga.
Sementara itu, warga Batam, Erman, mengatakan, dengan membawa pengeras suara, aparat kepolisian setiap hari mengelilingi rumah warga dan meminta mereka untuk segera meninggalkan rumah. Warga diberi batas waktu hingga 28 September 2023. Perlakuan tersebut membuat warga semakin jengkel.
Kepala Kepolisian Resor Barelang Komisaris Besar Nugroho Tri Nuryanto mengatakan, pihaknya telah mengabulkan permohonan penangguhan penahanan terhadap delapan warga yang diamankan seusai terjadi bentrok di Pulau Rempang pada Kamis (7/9/2023).
Berkas delapan warga tersebut telah lengkap dan akan dilaporkan ke Kapolda Kepulauan Riau Inspektur Jenderal Tabana Bangun. Warga yang semula ditahan nantinya wajib lapor dan tidak boleh melakukan perjalanan ke luar kota.
”Aturan tersebut wajib ditaati dan tidak boleh dilanggar mengingat penangguhan penahanan telah dikabulkan,” katanya.
Sebelumnya, pada Kamis (7/9/2023), terjadi bentrok antara aparat kepolisian-TNI dan warga di Jembatan Batam-Rempang-Galang (Barelang) IV. Kericuhan pecah saat warga menghadang ribuan aparat gabungan yang akan melakukan pengukuran dan pematokan lahan di Pulau Rempang. Mereka menolak pengukuran tersebut karena akan menggusur permukiman.