Sapu Bersih TPPO Jangan Sebatas Operator Lapangan Saja
Pengungkapan tindak pidana perdagangan orang diharapkan tak hanya menyasar operator lapangan atau perekrut saja. Sanksi juga mesti diterapkan pada perusahaan jasa penyalur pekerja migran yang nakal.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Lima pelaku tindak pidana perdagangan orang atau TPPO diringkus Kepolisian Daerah Banten. Sama seperti kasus-kasus sebelumnya, pelaku menjanjikan gaji yang besar kepada korban-korbannya.
Polisi diharapkan tidak hanya menyasar operator lapangan atau perekrut. Sanksi juga harus diterapkan pada perusahaan jasa penyalur pekerja migran yang nakal.
Penangkapan lima pelaku ini berkat tiga laporan polisi yang berbeda. Polda Banten menangkap MM (41) berdasarkan laporan polisi nomor LP/B/161/VI/2023/SPKT III.Ditreskrimum/Polda Banten tertanggal 23 Juni 2023.
Buruh harian itu merekrut AN (46) pada Agustus 2022. Dia menjanjikan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga di Arab Saudi dengan gaji Rp 5 juta per bulan. Namun, sejak mulai bekerja pada Maret-Mei 2023, korban tidak digaji. Dokumen identitas diri serta gawai AN disita oleh agen penyalur sehingga dia tak bisa berkomunikasi dengan siapa pun.
”Pelaku hanya ingin mendapatkan keuntungan pribadi dari korban,” ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Banten Komisaris Besar Didik Haryanto, Senin (24/7/2023).
AN dipulangkan ke Tanah Air pada 20 Juni lalu. Setibanya di Tanah Air, dia melapor ke polisi sehingga MM dibekuk dengan barang bukti paspor dan surat keterangan yang dikeluarkan Pemerintah Arab Saudi.
Kepolisian Resor Lebak juga menangkap SP (40) dan AD (53) atas laporan polisi nomor LP/B/57/SPKT/Polres Lebak tertanggal 11 Juni 2023. Kedua pelaku memperdaya SN (30) untuk bekerja di Timur Tengah dengan gaji Rp 5 juta per bulan.
Aksi mereka berlangsung pada Maret 2017. Korban, yang merupakan lulusan sekolah menengah atas itu, dijanjikan pekerjaan sebagai petugas kebersihan di rumah sakit. Akan tetapi, setelah melengkapi data diri dan dibawa ke penampungan di Cililitan, Jakarta Timur, korban bersama 10 korban lain justru diberangkatkan melalui Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, ke Malaysia.
Selama di Malaysia, korban terlebih dulu menjalani masa percobaan tanpa gaji. Lalu, korban bekerja sebagai asisten rumah tangga dengan upah Rp 2,7 juta per bulan.
”Gaji tidak sesuai dengan perjanjian awal. Korban juga mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari majikan,” kata Didik.
Dalam aksinya, SP berperan sebagai perekrut. Keuntungannya Rp 6 juta dari setiap korban yang diberangkatkan. Sementara AD berperan sebagai penyedia tempat penampungan sementara dan mendaftarkan korban ke agen luar negeri.
Polres Pandeglang tak ketinggalan menangkap OS (34) dan US (25) setelah masuk laporan polisi nomor LP/B/89/VI/2023/SPKT/Polres Pandeglang tertanggal 13 Juni 2023. Pelaku mengiming-imingi IG (34) bekerja di Malaysia dengan upah Rp 10 juta per bulan selama dua tahun pada April 2023.
Sama seperti korban lain, IG tak menerima gaji sesuai kesepakatan awal. Bahkan, dia hanya bekerja selama dua bulan dan nyaris tak bisa pulang ke Indonesia karena kekurangan biaya.
”Jangan mudah menerima bujuk rayu dari orang-orang yang menawarkan bekerja di luar negeri. Apalagi, tanpa dokumen yang sah. Jika mendapatkan informasi tersebut, segera lapor ke polisi untuk diusut,” kata Didik.
Kelima tersangka melanggar Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Ancaman hukumannya 3-15 tahun penjara.
Efek jera
Dalam kurun waktu 5-18 Juni 2023, Satuan Kerja Penanganan TPPO Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI dan kepolisian daerah menangkap 494 tersangka. Selama periode itu pula polisi menerima 409 laporan yang ditangani Bareskrim Polri atau polda.
Bambang Rukminto, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), menuturkan, TPPO tentu tidak bisa dilepaskan dari peran perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia. Jika ingin memberikan dampak yang signifikan, sanksi tidak hanya berupa pidana pada operator lapangan.
”Sanksi juga harus diberikan pada perusahaan jasa pengiriman pekerja migran tersebut. Bisa pencabutan izin dan denda untuk mengganti kerugian materiil maupun nonmateriil korban,” kata Bambang.
Lebih jauh lagi, ujarnya, mesti ada transparansi. Artinya, nama-nama perusahaan yang terlibat dibuka kepada publik. ”Masyarakat tahu dan juga bisa berpartisipasi mengawasi,” pungkasnya.