Memerangi Polusi dengan Transportasi Umum
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa transportasi umum adalah salah satu alternatif terbaik dalam memangkas polusi udara.
Kehadiran LRT Jabodebek dapat menjadi satu langkah dalam perang melawan polusi udara yang kian ”mencekik” Jakarta dan sekitarnya.
Permasalahan polusi udara tengah menjadi sorotan publik saat ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi polusi itu adalah mengutamakan transportasi publik dalam kegiatan sehari-hari.
Upaya demikian memerlukan dukungan yang optimal dari masyarakat untuk beralih menggunakan moda transportasi massal ini. Selain itu, pemerintah juga terus dituntut untuk menyediakan sarana dan prasarana transportasi umum yang andal agar publik bersedia untuk beralih.
Saat ini, Indonesia membuka babak baru dalam perkembangan transportasi publik. Hal ini diwujudkan dalam peresmian layanan kereta api ringan (light rail transit/LRT) Jabodebek pada Senin (28/8/2023) lalu. Kehadiran LRT yang menyambungkan pusat kota Jakarta dengan daerah suburban di Depok dan Bekasi itu diharapkan dapat menjawab kebutuhan akan moda transportasi yang masif, cepat, dan mudah.
Selain memenuhi kebutuhan transportasi, layanan LRT tersebut juga menjadi angin segar di tengah tebalnya kabut polusi udara yang tengah menyelimuti Jakarta dan sekitarnya. Beberapa pekan belakangan, tingkat polusi udara di Jabodetabek tengah menjadi sorotan karena berada di level yang berbahaya. Data Indeks Kualitas Udara (AQI) Jakarta dari situs IQAir menunjukkan, terdapat 16 hari dengan kategori kualitas udara tidak sehat selama satu bulan terakhir (Kompas.id, 23/8/2023).
Fenomena tersebut memicu kegelisahan masyarakat dan berkembang menjadi isu besar setelah disuarakan oleh banyak orang di media sosial. Saking peliknya, Presiden Joko Widodo sampai harus mengadakan dua kali rapat terbatas dengan sejumlah menteri dan kepala daerah terkait untuk merespons permasalahan ini. Sejumlah langkah penanggulangan sementara pun segera dilakukan. Salah satunya adalah menyemai 4.800 kilogram garam (NaCl) dan 800 kg kapur tohor (CaO) untuk menstimulus turunnya hujan di area Jabodetabek (Kompas.id, 27/8/2023).
Baca juga : Pasang Surut Penanganan Polusi Udara Jakarta
Upaya tersebut cukup berhasil dalam menurunkan kadar polusi udara untuk sementara waktu. Namun, langkah tersebut harus disertai dengan sejumlah langka antisipasi lain agar optimal hasilnya dalam jangka panjang. Memilih menggunakan transportasi umum merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan masyarakat demi berkontribusi mengurangi polusi udara di wilayah Jabodetabek. Angkutan umum dapat menjadi alternatif solusi persoalan karena nyatanya salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di wilayah Ibu Kota itu adalah sektor transportasi. Jadi, dengan penggunaan kendaraan pribadi seminimal mungkin dan beralih pada transportasi massal, kadar polutan udara juga dapat ditekan lebih rendah lagi.
Terbesar
Sebuah penelitian kerja sama dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta dengan Vital Strategies pada 2020 menunjukkan, sektor transportasi menjadi kontributor terbesar terhadap beban emisi pencemar udara di Jakarta dan sekitarnya. Beberapa unsur emisi polutan yang paling banyak disumbang oleh sektor transportasi adalah karbon monoksida (CO) sebesar 96,4 persen atau 287.317 ton per tahun, hidrokarbon (HC) sebesar 98 persen atau 198.936 ton per tahun, dan partikulat PM 2,5 sebanyak 57,9 persen atau 5.113 ton per tahun.
Besarnya sumbangan sektor transportasi terhadap beban emisi pencemar udara disebabkan oleh dua hal. Pertama, sektor transportasi adalah pemakai bahan bakar terbesar di Jakarta dibandingkan empat sektor lain dengan persentase 44 persen. Kedua, setidaknya 98,5 persen sumber energi yang dipakai oleh sektor transportasi bertumpu pada bahan bakar minyak (BBM), seperti bensin, solar, atau avtur.
Baca juga : Mengatasi Polusi Udara Kendaraan Pribadi di Ibu Kota
Jika dibedah lebih lanjut, beban emisi dari sektor transportasi rupanya banyak disumbang oleh sepeda motor dan mobil/truk diesel. Sepeda motor menjadi kontributor dominan karena kuantitas unitnya. Dari data Badan Pusat Statistik 2022, terdapat 17,3 juta sepeda motor atau 65,6 persen dari total seluruh kendaraan di DKI Jakarta. Hal ini menjadikan motor sebagai kontributor utama polutan karbon monoksida (CO) dan hidrokarbon (HC). Di sisi lain, mobil/truk diesel juga menjadi penyumbang terbesar emisi nitrogen oksida (NOx) dan materi partikulat (PM) dari sektor transportasi. Hal ini karena kualitas bahan bakar solar yang digunakan masih memiliki kandungan sulfur 2.500 ppm atau di bawah standar Euro IV.
Oleh sebab itu, salah satu alternatif untuk memangkas kadar polusi udara di Jakarta adalah dengan ”menghijaukan” sektor transportasi. Beberapa solusinya adalah menyediakan transportasi umum yang lebih banyak lagi agar semakin banyak warga masyarakat yang mau memanfaatkan fasilitas publik ini, menyediakan sarana angkutan umum yang menggunakan energi ramah lingkungan, atau mendorong masyarakat untuk menggunakan kendaraan listrik pribadi berbasis baterai. Namun, khusus kendaraan pribadi berbasis baterai ini dinilai sebagian pihak sebagai solusi yang kurang tepat di Jakarta karena tetap menimbulkan persoalan kemacetan serius (Kompas.id, 2/3/2023).
Pilihan terbaik
Opsi yang dirasa lebih sesuai dengan fenomena di wilayah Jakarta adalah prioritas penggunaan transportasi publik. Berbagai penelitian telah membuktikan, selain ampuh mengurangi kemacetan, transportasi umum adalah pilihan terbaik dalam memangkas polusi udara.
Hal tersebut dapat diindikasikan melalui perhitungan sederhana. Rata-rata emisi CO per unit sepeda motor adalah 13.357 gram per tahun atau 36,6 gram per hari. Jumlah ini diketahui dari pembagian antara jumlah emisi CO sepeda motor tahun 2018 sebesar 200.864 ton per tahun dan jumlah sepeda motor di DKI Jakarta sebanyak 15,03 juta unit pada tahun yang sama.
Baca juga : Mengurai Masalah Polusi Udara Ibu Kota
Emisi polutan tersebut selanjutnya dibandingkan dengan reduksi emisi karbon yang dihasilkan dari moda transportasi umum. Misalnya saja dengan LRT yang kini menjadi moda angkutan publik termutakhir yang membentang di sebagian wilayah Jabodebek. Kapasitas angkut LRT saat ini diasumsikan berkisar 40.000-45.000 penumpang per hari yang dilayani dalam 158 perjalanan oleh 12 rangkaian kereta. Jika semua penumpang LRT diasumsikan sebelumnya menggunakan sepeda motor untuk keperluan transportasi sehari-hari, dapat diperkirakan kehadiran LRT berpotensi mengurangi 1,5 ton-1,7 ton CO per hari atau 534,3 ton–601,1 ton CO per tahun.
Efektivitas transportasi umum dalam memangkas polusi udara seperti itu sebelumnya telah dibuktikan melalui hasil riset Hannah Ritchie, seorang peneliti senior Universitas Oxford. Dalam publikasinya di Our World in Data, Ritchie menunjukkan bahwa emisi GRK dari kereta komuter jauh lebih rendah daripada kendaraan pribadi. Ia memperlihatkan, jejak emisi karbon dioksida ekuivalen (CO2e) per orang per kilometer London Underground, layanan kereta komuter di Inggris, adalah 28 gram. Jumlah ini 75 persen lebih sedikit daripada sepeda motor, 83 persen lebih rendah dari mobil berbahan bakar bensin, dan bahkan 40 persen lebih sedikit dari mobil listrik.
Kehadiran LRT Jabodebek adalah wujud komitmen pemerintah mengorientasikan pembangunan pada transportasi umum. Meski masih menemui sejumlah kendala, LRT Jabodebek diharapkan semakin mendorong semangat peningkatan layanan transportasi publik, termasuk integrasi layanan antarmoda yang telah ada. Jika komitmen pemerintah ini disambut dengan kemauan masyarakat beralih ke transportasi publik, diharapkan Jakarta dan kota-kota besar lain dapat segera bernapas lebih lega, minim polusi udara. (LITBANG KOMPAS)