Pengawas Pasar Modal ASEAN Sepakati Instrumen Iklim
Dipimpin Indonesia, negara-negara Asia Tenggara berkomitmen mencegah perubahan iklim sesuai dengan kebutuhan dan perspektif ASEAN lewat lembaga keuangan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Sepuluh lembaga pengawas pasar modal dari negara-negara ASEAN menyepakati sejumlah kebijakan untuk meningkatkan penyerapan dan pemanfaatan investasi berkelanjutan lewat pasar modal. Dipimpin Indonesia, negara-negara Asia Tenggara berkomitmen melaksanakannya guna mencegah perubahan iklim sesuai dengan kebutuhan dan perspektif ASEAN lewat lembaga keuangan.
Komitmen ini dicapai dalam ASEAN Capital Market Forum (ACMF) ke-39 bertema ”Transitioning Sustainable Capital Market”, di Badung, Bali, Selasa (17/10/2023). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator pasar modal Indonesia memimpin forum yang diikuti sepuluh regulator pasar modal negara-negara ASEAN, yaitu Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Indonesia.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar pada konferensi pers di salah satu resor di Kabupaten Badung, Selasa (17/10/2023), menyatakan, berbagai bentuk produk pasar modal berkelanjutan sudah diciptakan Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya, dari obligasi hijau (green bonds) hingga bursa karbon. Namun, ACMF kali ini bertujuan mendorong agar aspek keberlanjutan pasar modal lebih maju lagi.
”Banyak perubahan dan terobosan yang sebelumnya dilakukan dengan konteks 2017, lalu 2019. Namun, di 2023, kami mendorong lebih jauh lagi penerapan itu dalam perspektif yang lebih mutakhir, dengan isi jelas mengenai bagaimana komitmen di tingkat internasional, bagaimana juga menjaga kepentingan ASEAN dan nasional,” ujarnya.
Empat kesepakatan
Forum yang mencapai puncaknya pada 16-18 Oktober 2023 ini telah menghasilkan empat kesepakatan. Pertama, penerbitan ASEAN Transition Finance Guidance sebagai pedoman umum rencana transisi ke ekonomi rendah karbon yang kredibel, transparan, dan inklusif.
Kedua, penyelesaian proses revisi ASEAN Corporate Governance Scorecard (ACGS)dengan pilar keberlanjutanyang merujuk pada OECD Principles on Corporate Governance.Mekanisme ini akan digunakan untuk menentukan Top Publicly Listed Companies (PLCs) di ASEAN yang akan dimulai dengan penilaian pada 2024 untuk tahun laporan 2023.
Ketiga, peningkatan kualitas pelaporan keberlanjutan (sustainability disclosure) dengan menjalin kolaborasi dengan International Sustainability Standards Board (ISSB) sebagai pembuat pelaporan keberlanjutan berstandar global. Keempat, peluncuran handbook untuk ASEAN Green Lane untuk memfasilitasi penawaran lintas batas reksa dana berbasis keberlanjutan.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi, pada kesempatan yang sama, menjelaskan, sebagai pemimpin forum kali ini, Indonesia telah menunjukkan kemajuan kebijakan pasar modal terkait dengan upaya transisi ekonomi.
Capaian penting itu, antara lain, peluncuran Bursa Karbon pada 26 September 2023. Bursa itu disebut memainkan peran penting dalam proses dekarbonisasi untuk menekan dampak perubahan iklim. Indonesia memiliki potensi kredit karbon besar karena kayanya sumber daya alam Indonesia.
”Pencapaian itu luar biasa karena saat launching sudah ada transaksi dan ada supply-nya. Negara lain itu butuh beberapa tahun supaya agar bursa karbon bisa aktif,” ujar Inarno.
Pada ACMF kali ini, Indonesia juga menyosialisasikan Peraturan OJK (POJK) Nomor 18 Tahun 2023 tentang Penerbitan Efek Bersifat Utang dan Sukuk Berlandaskan Keberlanjutan. POJK tersebut diterbitkan pada 10 Oktober 2023.
Aturan ini memperluas cakupan instrumen keuangan yang berbasis berkelanjutan, tidak hanya green bonds, tetapi juga social bonds, sustainable bond sustainability-linked bonds. Ada juga instrumen keuangan berbasis syariah, yaitu social sukuk, sustainable sukuk, dan sustainability-linked sukuk.
”Dengan perluasan cakupan jenis instrumen ini, cakupan proyek yang dapat dibiayai pun semakin luas. Dengan POJK baru ini, proyek-proyek yang diarahkan untuk mengatasi dampak sosial perubahan iklim bisa dibiayai penerbitan social bonds,” katanya.
Dengan POJK baru ini, proyek-proyek yang diarahkan untuk mengatasi dampak sosial perubahan iklim bisa dibiayai penerbitan ’social bonds’.
Senior Director Finance Sector Office Asian Development Bank Christine Engstorm saat memberikan sambutan pembukaan ACMF mengungkapkan, kesepakatan pasar modal ASEAN ini penting. Sebab, utang berkelanjutan meningkat per tahun, dari 0,25 miliar dollar AS pada 2016 menjadi 6,75 miliar dollar AS pada 2021.
Namun, pasar ekuitas utang berkelanjutan masih perlu diperbesar untuk memenuhi kebutuhan pendanaan berkelanjutan bagi perekonomian ASEAN. ”Masih ada pertanyaan mengenai risiko penilaian aset berkelanjutan yang tidak akurat karena kurangnya konsistensi data, pengungkapan dan klasifikasi keuangan berkelanjutan,” ujarnya.
Kesepakatan dalam ACMS 2023 dan agenda Taksonomi ASEAN untuk Keuangan Berkelanjutan sebelumnya diharapkan memperluas peluang masuknya pendanaan internasional untuk proyek-proyek berkelanjutan.
Infrastruktur berkelanjutan
Sebagai pengarah beberapa program inisiasi ACMF, ADB menyarankan agar negara-negara ASEAN menjalankan kunci untuk memperkuat pendanaan berkelanjutan. Ini penting karena ASEAN tengah memprioritaskan banyak program infrastruktur berkelanjutan, seperti energi terbarukan, sanitasi, dan sistem transportasi umum.
Pertama, kata Christine, ASEAN bisa lebih merangsang partisipasi investor dengan mengadaptasi peraturan untuk mendorong keterlibatan investor institusional, seperti dana pensiun dan perusahaan asuransi, yang merupakan kelompok investasi utama.
”Menilai potensi investasi yang besar dan mengadaptasi peraturan untuk membuka investasi pada instrumen yang ramah lingkungan, sosial, atau berkelanjutan sangat penting untuk mendukung pasar modal yang berkelanjutan,” katanya.
Kedua, menciptakan insentif pada mekanisme mitigasi risiko yang ditargetkan, seperti mitigasi risiko mata uang, penyisihan kerugian pertama, pendanaan kesenjangan kelayakan, dan fasilitas likuiditas.
Ketiga, menjajaki penggunaan derivatif untuk memfasilitasi peningkatan modal melalui lindung nilai risiko terkait dengan investasi berkelanjutan. ”Derivatif, seperti kita ketahui, meningkatkan transparansi sekuritas yang mendasarinya dan proses pembentukan harga sehingga mendorong pengambilan keputusan jangka panjang,” ucapnya.
Keempat, membedakan aset berkelanjutan dan reguler melalui pelabelan standar untuk investasi berkelanjutan.