Duo Eropa Berjaya, Bukti Keberhasilan Pembinaan Usia Dini
Duo Eropa akan memperebutkan trofi juara Piala Dunia U-17 2023. Perancis mengincar gelar kedua, sedangkan Jerman ingin meraih trofi turnamen yunior perdana.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·3 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Pertemuan Perancis dan Jerman di final Piala Dunia U-17 2023 menegaskan Benua Eropa sebagai sentra pembinaan sepak bola terbaik. Mereka menumbangkan perwakilan terbaik dari dua konfederasi berbeda. Perancis melibas duta Afrika, Mali. Sementara Jerman menundukkan wakil Amerika Selatan, Argentina.
Laga puncak yang akan tersaji di Stadion Manahan, Surakarta, Jawa Tengah, Sabtu (2/12/2023) pukul 19.00, juga menjadi ulangan final Piala Eropa U-17 2023 di Budapest, Hongaria, Juni lalu. Jerman menjadi juara setelah menaklukkan Perancis melalui adu penalti.
Perancis memastikan langkah ke partai puncak seusai memenangi duel semifinal, 2-1, Selasa (28/11/2023) malam, di Stadion Manahan. Kemenangan itu menjadi potret kualitas dari pembinaan sepak bola Perancis yang dijalankan efektif oleh klub-klub profesional.
Pemain-pemain Perancis, yang kelahiran berkisar 2006-2007, bermain dengan pemahaman taktik dan rencana permainan yang matang. Mereka mengutamakan penampilan kolektif dibandingkan dengan mengandalkan kemampuan individu pemain.
Itu terlihat dari performa Perancis yang bermain lebih sabar untuk tidak menyaingi permainan menyerang Mali yang didasari penguasaan bola dominan. Tim berjuluk ”Les Bleuets” itu memang hanya mencatatkan 46 persen penguasaan bola, tetapi menghasilkan lima tembakan mengarah ke gawang dan menghasilkan sepasang gol. Jumlah tembakan itu sama dengan yang dihasilkan Mali.
Ketika buntu memburu gol melalui permainan terbuka, Perancis memaksimalkan peluang bola mati. Dua gol Perancis yang disumbangkan oleh bek sayap kanan, Yvann Titi (56’), dan gelandang serang, Ismail Bouneb (69’), berawal dari dua tendangan bebas mereka di paruh kedua laga.
Pelatih Perancis Jean-Luc Vannuchi menilai, timnya telah menjalankan rencana permainan dengan sempurna. Ambisi mereka untuk mengutamakan efektivitas serangan, lanjut Vannuchi, juga terwujud dari sepasang gol ke gawang Mali.
”Final akan mempertemukan dua tim Eropa. Itu akan menjadi laga yang seru. Bagi kami, ini momen untuk membalaskan kekalahan kami di Piala Eropa,” ujar Vannuchi dalam konferensi pers seusai laga.
Bagi kami, ini momen untuk membalaskan kekalahan kami di Piala Eropa.
Serupa dengan Perancis, jalan Jerman ke final juga didasari penampilan mereka yang efektif. ”Die Mannschaft” mengalahkan Argentina, 4-2, dalam drama adu penalti. Selama 90 menit, kedua tim bermain imbang, 3-3.
Selama laga yang berlangsung dua babak, Jerman juga membiarkan Argentina lebih superior mengontrol bola. Jerman hanya menghasilkan 33 persen penguasaan bola, tetapi mereka bisa menciptakan sembilan tembakan tepat sasaran. Adapun Argentina mencatatkan tujuh tembakan tepat sasaran.
Semua pemain menunjukkan mentalitas tangguh yang dimiliki tim Jerman pada dekade 1980-an hingga 1990-an. Kekuatan mental itu berguna untuk mengatasi situasi-situasi penting yang kami alami di pertandingan,” ujar Pelatih Jerman Christian Wueck.
Nirbobol berakhir
Meskipun menang atas Mali, Perancis meninggalkan noda di laga semifinal. Rekor mereka yang tidak kemasukan di lima laga sebelumnya diakhiri oleh gol penyerang sayap Mali, Ibrahim Diarra, di menit 45+4.
Catatan itu menjadi evaluasi bagi ”Les Bleuets” di laga final. Perancis wajib tampil tanpa cela melawan Jerman. Selain untuk membalas dua kekalahan di Piala Eropa U-17 2023, mereka juga ingin mengangkat trofi Piala Dunia U-17 kedua.
”Kami memang akhirnya kemasukan, tetapi yang terpenting adalah reaksi yang ditunjukkan pemain,” ucap Vannuchi.
Gelar turnamen paling yunior FIFA itu telah mereka raih pada edisi Trinidad-Tobago 2001. Jika bisa menjadi juara di Indonesia 2023, Perancis adalah satu-satunya tim yang mencatatkan rekor kemenangan 100 persen di final.
Perancis berpeluang mengikuti jejak Meksiko yang menjadi juara di dua kesempatan final perdana. Itu dicatatkan Meksiko pada Peru 2005 dan Meksiko 2011.
Kekalahan dari Perancis tak lepas dari kartu merah yang diterima bek sayap kanan Mali, Souleymane Sanogo, di menit ke-56. Pelanggaran yang diganjar kartu merah itu mengawali gol penyama kedudukan Perancis.
”Kami gagal menembus final yang kami targetkan. Meski begitu, pemain telah main dengan sepenuh kemampuan dan kami akan kembali menunjukkan performa terbaik di laga perebutan tempat ketiga,” tutur Pelatih Mali Soumaila Coulibaly.