Pidana Penjara Pengganti Restitusi
Restitusi adalah hak konstitusional korban tindak pidana yang harus dipenuhi pelaku sebagai bentuk tanggung jawab. Penolakan pelaku membayar restitusi mengakibatkan pelanggaran hak korban dan menghadirkan ketidakadilan.
Restitusi merupakan tindakan penggantian kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga.
Aturan terkait restitusi telah diatur dalam berbagai perundang-undangan di Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta Peraturan Pemerintah No 43/2017 dan PP No 7/2018 mengenai pelaksanaan restitusi dan bantuan kepada saksi dan korban.
Dalam konteks penyelenggaraan restitusi, konstruksi hukum yang ada menyajikan situasi kompleks. Jika pelaku tindak pidana menolak membayar restitusi dengan alasan tidak mampu atau tidak ingin memenuhi kewajiban yang telah ditentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan tak ada hukuman pengganti restitusi yang dapat dijalankan, maka terjadi kekosongan hukum.
Keadaan ini mengakibatkan ketidakadilan bagi korban, yang pada hakikatnya berhak atas pemulihan kerugian fisik, psikis, dan materiil yang diakibatkan oleh tindak pidana.
Pada hakikatnya, restitusi adalah hak konstitusional korban tindak pidana yang harus dipenuhi pelaku sebagai bentuk tanggung jawab atas tindakannya. Penolakan pelaku membayar restitusi mengakibatkan pelanggaran hak korban dan menghadirkan ketidakadilan ganda akibat tindak pidana yang dialami korban.
Dalam konteks yang lebih luas, tindak pidana tidak hanya berdampak fisik dan psikologis pada korban, tetapi juga membawa dampak finansial dan emosional bagi keluarga korban. Oleh karena itu, pemberian restitusi oleh pelaku bukan hanya tentang mengganti kerugian materiil, melainkan juga meringankan penderitaan yang diakibatkan oleh tindak pidana.
Dalam rangka mengisi kekosongan hukum yang ada, diperlukan pendekatan yang komprehensif untuk merumuskan sanksi pidana yang sesuai, mengakui kerugian korban, serta memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana.
Penolakan pelaku membayar restitusi mengakibatkan pelanggaran hak korban dan menghadirkan ketidakadilan ganda akibat tindak pidana yang dialami korban.
Kajian dan implementasi
Pidana penjara pengganti restitusi adalah sebuah konsep sanksi pidana yang memiliki potensi untuk diterapkan dalam sistem hukum. Pada dasarnya, konsep ini telah dicontohkan dalam Peraturan Mahkamah Agung No 1/2022 yang mengatur tata cara pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban tindak pidana.
Meskipun demikian, penerapannya hanya terbatas pada beberapa tindak pidana seperti perdagangan orang dan terorisme sesuai Pasal 8 Ayat (13). Di sini dijelaskan bahwa pidana penjara pengganti restitusi akan diterapkan apabila harta kekayaan terdakwa atau pihak ketiga tidak mencukupi untuk membayar restitusi yang telah ditetapkan.
Sementara itu, aspek lain yang perlu diperhatikan adalah interpretasi lebih mendalam terhadap beberapa UU terkait pidana pengganti restitusi. Contohnya, Pasal 33 Ayat (7) UU No 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga mengatur pidana pengganti restitusi dengan penjara bagi terpidana yang harta kekayaannya tidak mencukupi untuk membayar restitusi.
Namun, pertimbangan lebih lanjut perlu diberikan terhadap pemilihan jenis pidana yang sesuai untuk pidana pengganti restitusi. Sebagai contoh, pidana penjara cenderung lebih cocok daripada pidana kurungan dalam konteks ini. Hal ini didasarkan pada perbedaan karakteristik antara pidana penjara dan pidana kurungan yang diatur dalam KUHP.
Pidana penjara memiliki rentang waktu lebih luas, dapat berlangsung selama waktu tertentu atau seumur hidup, dan lebih sesuai untuk tindak pidana kejahatan. Sebaliknya, pidana kurungan cenderung lebih cocok untuk pelanggaran.
Mengenai tujuan pidana pengganti restitusi, yang harus diperhatikan adalah pemulihan kerugian yang dialami korban serta tanggung jawab pelaku. Restitusi bukan hanya tentang mengembalikan kerugian materiil, melainkan juga mengurangi penderitaan dan menegakkan keadilan. Dalam konteks ini, pidana penjara lebih sesuai dengan prinsip keadilan distributif karena memiliki ancaman hukuman yang lebih proporsional.
Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum yang ada, konsep pidana penjara pengganti restitusi menjadi solusi yang layak untuk dipertimbangkan dalam rangka memberikan perlindungan dan keadilan bagi korban, memberikan konsekuensi yang sesuai bagi pelaku, dan memberikan pedoman yang jelas bagi penegak hukum.
Dengan mengkaji aspek-aspek implementasinya secara saksama, konsep ini berpotensi untuk menjadi bagian integral dari sistem hukum yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan prinsip-prinsip keadilan.
Kehadiran pidana penjara pengganti restitusi memegang urgensi dalam ranah hukum pidana modern di Indonesia.
Penggunaan pidana penjara sebagai alternatif pidana pengganti restitusi akan membawa dampak signifikan dalam menjaga kesetaraan bagi korban serta memberikan sanksi yang setimpal terhadap pelaku. Khususnya ketika korban tindak pidana menghadapi penolakan pembayaran restitusi oleh pelaku, model pidana penjara pengganti restitusi muncul sebagai solusi yang tepat untuk merespons situasi tersebut.
Baca juga: Restitusi Korban, Jauh Panggang dari Api
Peran jaksa dalam mengisi kekosongan hukum
Selain sebagai bentuk hukuman, pidana penjara pengganti restitusi juga memiliki dimensi yuridis yang nyata dalam melindungi hak-hak korban dan mencapai tujuan keadilan. Penerapan pidana penjara sebagai bentuk pengganti restitusi menunjukkan kesan moralitas karena memastikan bahwa pelaku bertanggung jawab atas tindakannya, serta nilai-nilai etika dalam mewujudkan prinsip keadilan dalam perlindungan korban.
Penetapan pidana penjara pengganti restitusi mencerminkan kepedulian terhadap nasib korban. Hal ini menggambarkan hukum sebagai sarana yang bukan hanya formalistik, melainkan juga substansial, untuk menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan mencapai keadilan.
Namun, kekosongan hukum dalam peraturan hukum tentang pidana penjara pengganti restitusi menciptakan tantangan dalam pelaksanaan. Dalam situasi seperti ini, peran jaksa sangat penting untuk mengisi celah tersebut.
Dalam konteks hukum pidana modern, peran jaksa melebihi kerangka formal hukum. Pasal 8 Ayat (3) dan (4) UU No 11/2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menggarisbawahi nilai-nilai moral dan etika yang tinggi yang harus dijunjung oleh jaksa dalam menjalankan tugasnya.
Jaksa dihadapkan pada situasi di mana mereka harus mampu melampaui batasan hukum formal dan mempertimbangkan aspek moral serta etika dalam upaya menegakkan hukum. Oleh karena itu, peran jaksa bukan sekadar mengikuti hukum positif, melainkan juga harus mampu memadukan interpretasi hukum dengan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran yang terdapat dalam masyarakat.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD didampimgi Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo (tidak tampak dalam foto) menyerahkan kompensasi kepada korban terorisme di Jakarta, Jumat (13/12/2019).
Dalam situasi ketidakpastian hukum, jaksa memiliki kebebasan untuk menciptakan solusi kreatif yang didasarkan pada moral dan etika, yang tecermin dalam budaya dan nilai-nilai masyarakat. Peran jaksa sebagai pihak yang menjembatani kekosongan hukum memastikan bahwa nilai-nilai luhur bangsa, hukum positif yang ada, serta prinsip kemanusiaan menjadi landasan dalam pengambilan keputusan.
Ketika konsep pidana pengganti restitusi belum terdefinisi secara jelas, peran jaksa menjadi kunci dalam memastikan keadilan bagi korban. Interpretasi yang dilakukan oleh jaksa, yang berdasarkan hati nurani, dapat menjadi solusi dalam mengisi celah hukum yang berpotensi merugikan korban. Dalam menjalankan tanggung jawabnya, jaksa perlu menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan prinsip moral yang membimbing penegakan hukum.
Penting untuk diingat bahwa peran jaksa tak terbatas pada penerapan hukum positif semata. Mereka diharapkan mampu menjawab kekosongan hukum dengan menggabungkan nilai-nilai moral dan etika yang tecermin dalam masyarakat. Ini adalah wujud nyata cita-cita Profesor ST Burhanuddin, Jaksa Agung RI, yang mendorong ”penegakan hukum berbingkai hati nurani”. Dalam menghadapi ketidakpastian hukum, jaksa dapat memberikan solusi yang adil dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan serta keadilan berdasarkan keyakinan dan tanggung jawab moral mereka.
Fadil Zumhana Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum