Lepas dari kondisi perang dan krisis ekonomi, Vietnam dengan sengaja menerapkan keterbukaan ekonomi. Pilihan tersebut mendorong negara sosialis itu meraih pertumbuhan signifikan.
Di tengah padatnya Jalan Trang Thi—salah satu jalan utama di pusat kota Hanoi—oleh sepeda motor, tiba-tiba terdengar raungan keras dari dapur pacu sebuah Lamborghini yang melesat ke arah persimpangan Dien Bien Phu dan Nguyen Thai Hoc. Laju dan raungan keras mobil mewah berwarna putih itu segera membuyarkan gambaran tentang Vietnam yang umumnya dikenal orang.
Memang di banyak sudut kota, terutama di kawasan Old Quarter—yang padat oleh wisatawan mancanegara—identitas kultural Vietnam, seperti topi caping, foto tentang sawah, gaun panjang, dan pedagang kaki lima dengan pikulannya, masih mudah ditemukan. Ia mewakili apa yang disebut sebagai ”keelokan yang tersembunyi” yang memikat turis asing, sebagaimana ditulis Bill Hayton, mantan wartawan BBC, dalam bukunya berjudul Vietnam, Rising Dragon.
Namun, di jalanan kota yang dipenuhi bangunan kuno era kolonial Perancis itu mobil-mobil keluaran terbaru, seperti Mazda CX-9, Toyota Fortuner, dan BMW dari berbagai seri, ramai berlalu lalang, mewakili kemakmuran negeri itu.
Hayton menyebutkan, Vietnam adalah negara yang dipimpin para pejuang yang dulu melawan kolonialisme Perancis, imperialisme Amerika, dan kapitalisme domestik, yang saat ini adalah mitra ekonomi mereka.
Sebagai negara berhaluan sosialis, Vietnam menerima masuk perusahaan swasta asing untuk berkembang di negara itu. Hayton mengutip Bank Dunia yang menyebut Vietnam sebagai ”poster boy” untuk negara yang menerapkan liberalisme ekonomi.
Saat pakta perdagangan Kemitraan Trans-Pasifik atau lengkapnya Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP) muncul pada 2015, Vietnam adalah salah satu negara yang segera meratifikasi perjanjian itu. Bagi sejumlah pihak, kebijakan itu tak bisa dilepaskan dari reformasi ekonomi Doi Moi yang diterapkan Hanoi sejak 33 tahun lalu.
Meroket
Pilihan itu telah mendorong kinerja ekonomi Vietnam melaju kencang. Data Kedutaan Besar Republik Indonesia di Hanoi menyebutkan, nilai total perdagangan global Vietnam— catatan tahun 2018—mencapai lebih dari 482,2 miliar dollar AS, jauh di atas capaian Indonesia, yaitu 368,6 miliar dollar AS.
Duta Besar RI untuk Vietnam Ibnu Hadi mengatakan, capaian itu menunjukkan determinasi Hanoi pada kinerja ekspor mereka. Secara absolut, menurut Hadi, Vietnam unggul dalam ekspor produk pertanian, sepatu, dan pakaian jadi.
”Vietnam mendorong ekspor setinggi-tingginya. Vietnam juga sangat memperhatikan apa yang diminta dunia internasional,” kata Hadi.
Direktur Umum Thang Long Cement, Gatot Kustyadji, mengatakan, ada sejumlah ketentuan yang mendukung investasi, seperti upah buruh yang kompetitif dan ketentuan perpajakan yang fleksibel.
Ketua Komite Kerja Sama Ekonomi Indonesia-Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam Juan Gondokusumo membenarkannya. Regulasi investasi di Vietnam, menurut dia, lebih mudah. Keunggulan faktor formal itu, kata Juan, didukung faktor sosial-kultural lain, yaitu karakter orang Vietnam yang memiliki determinasi dan daya juang tinggi. ”Mereka mau berjuang dan tak mau lagi sengsara seperti di era perang dulu,” kata Juan.
Namun, Ibnu Hadi mengatakan, Indonesia tetap memiliki peluang. Merujuk pada data perdagangan bilateral kedua negara, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan atas Vietnam. Indonesia, ujar Hadi, unggul dalam sejumlah produk, antara lain otomotif dan batubara. Menurut Hadi, Vietnam adalah mitra sekaligus kompetitor Indonesia.