Hilirisasi Jangan Lagi Setengah Hati
Meski sudah tidak mengekspor barang mentah, Indonesia masih saja menjadi pasar dan pemasok bahan baku untuk industri negara lain. Hilirisasi tidak bisa lagi hanya berjalan ”setengah hati”.
PT Freeport Indonesia (PTFI) melakukan investasi besar dalam pembangunan smelter baru tembaga di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industri Java Integrated dan Industrial Port Estate (JIIPE) di Kecamatan Manyar, Gresik, Jawa Timur, Selasa (7/2/2023).
Sudah nyaris empat tahun hilirisasi berjalan. Namun, manfaat kebijakan itu masih jauh panggang dari api. Hilirisasi yang tak ”setengah hati” atau mengarah pada industrialisasi diharapkan bisa membawa nilai tambah dan kesejahteraan yang lebih merata.
Tak dimungkiri, hilirisasi mineral telah berkembang pesat akhir-akhir ini. Semua berawal dari keputusan pemerintah melakukan hilirisasi ”garis keras” dengan cara melarang ekspor nikel mentah atau bijih nikel, yang kini diteruskan ke berbagai komoditas tambang lain.
Setelah nikel dan bauksit, ada lima komoditas tambang lain yang akan menyusul dihilirisasi tahun depan, yaitu tembaga, besi, timbal, seng, dan lumpur anoda hasil pemurnian tembaga.
Baca juga: Deindustrialisasi Dini Tak Cukup Diatasi dengan Hilirisasi
Dengan ”obral” insentif untuk hilirisasi, investasi asing bernilai jumbo pun berduyun-duyun masuk. Pembangunan smelter menjamur, terutama di daerah timur Indonesia yang memiliki pasokan mineral berlimpah.
Sampai 2024, pemerintah menargetkan 53 fasilitas smelter atau pabrik pengolahan mineral telah siap beroperasi, yaitu 4 smelter tembaga, 30 smelter nikel, 11 smelter bauksit, 4 smelter besi, 2 smelter mangan, serta 2 smelter timbal dan seng.
Namun, jauh panggang dari api, jauh harapan dari realitas. Meski smelter ada di mana-mana, hilirisasi baru menghasilkan barang olahan setengah jadi yang bernilai tambah minim. Sementara pembangunan industri hilir untuk membuat barang jadi masih terseok-seok.
Hasil hilirisasi pun lebih banyak diekspor sebagai bahan baku ke negara lain, utamanya China, lalu kembali diimpor dalam bentuk jadi untuk dikonsumsi warga. Indonesia lagi-lagi hanya menjadi pasar dan pemasok bahan baku yang memajukan industri negara lain.
Meski smelter ada di mana-mana, hilirisasi baru menghasilkan barang olahan setengah jadi yang bernilai tambah minim.
Jarum, peniti, sendok, adalah contoh barang sehari-hari yang masih diimpor dalam jumlah besar. Meski hilirisasi nikel sudah berjalan sejak awal 2020, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, impor peniti yang bahan bakunya besi antikarat (stainless steel) dari nikel, naik dari Rp 243,7 miliar per Juli 2022 menjadi Rp 258,4 miliar atau 852,3 ton per Juli 2023.
Alexander Barus, Direktur Utama PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), membenarkan, hampir semua hasil olahan nikel dari smelternya diekspor karena tidak terserap di dalam negeri. Ia mencontohkan, 90 persen olahan feronikel dan nickel pig iron (NPI)-nya diekspor.
Produk olahan baja cold rolled coil (CRC) miliknya juga hanya 10 persen yang terserap di dalam negeri. CRC biasanya menjadi bahan baku untuk industri peralatan rumah tangga dan otomotif.
”Industri kita selalu mengimpor bahan baku, padahal di dalam negeri ada. Kemudian, kita impor lagi barang jadinya, seperti sendok, jarum, peniti. Kita sibuk hanya mengolah sampai tahap kedua (setengah jadi), padahal kalau mau maju kita harus produksi sampai tahap ketiga (produk final),” kata Alex dalam acara Indonesia Mining (Summit) IMS 2023, di Bali, pekan lalu.
Baca juga: Hilirisasi Mineral Butuh Konsistensi Kebijakan Lintas Rezim
Manfaat tidak optimal
Kepala Center of Trade, Investment and Industry di Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho, Jumat (13/10/2023), menilai, pemerintah belum memiliki peta jalan hilirisasi yang komprehensif. Hilirisasi nikel, misalnya, muncul tiba-tiba akibat mengikuti tren penggunaan kendaraan listrik dunia.
Itu membuat arah pengolahan nikel sejauh ini masih terbatas untuk baterai kendaraan listrik. Padahal, nikel bisa digunakan lebih luas, seperti untuk peralatan dapur, peralatan rumah tangga, alat kesehatan, dan lain sebagainya.
Dampak dari hilirisasi yang tanggung itu, penerimaan negara menjadi tidak optimal, bahkan turun demi menyokong hilirisasi. Masyarakat pun masih hidup miskin di daerah sentra hilirisasi.
Mengutip data Kementerian Keuangan, pada Januari-Agustus 2023, penerimaan bea keluar terjun bebas 80,3 persen akibat larangan ekspor mineral mentah. Penerimaan pajak juga tertahan akibat insentif pajak yang digelontorkan untuk menarik investasi hilirisasi.
Kita sering mengklaim mendapat manfaat besar devisa ekspor dari hilirisasi karena nilai ekspor memang melejit, tetapi keuntungan itu yang menikmati, kan, investor asing.
Di sisi lain, data BPS menunjukkan, kemiskinan di sentra pengolahan nikel tetap tinggi, di atas angka penduduk miskin nasional yang pada 2022 mencapai 9,57 persen. Contohnya, produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, adalah Rp 831,8 juta, tertinggi di antara 13 daerah penghasil tambang lainnya. Namun, tingkat kemiskinan di sana masih 12,58 persen dari total populasi, di atas rata-rata nasional.
”Kita sering mengklaim mendapat manfaat besar devisa ekspor dari hilirisasi karena nilai ekspor memang melejit, tetapi keuntungan itu yang menikmati, kan, investor asing. Manfaatnya untuk kita sendiri masih minim, kesejahteraan warga tidak lebih baik dari sebelum adanya hilirisasi,” kata Andry.
Lebih sejahtera
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Darnanto mengatakan, jika hilirisasi bisa dinaikkan ke tahap industrialisasi, akan lebih banyak tenaga kerja lokal yang terserap di pabrik-pabrik industri. Angka kemiskinan pun bisa lebih ditekan.
Selama ini, belum banyak warga yang bekerja di smelter karena sifat investasi yang padat modal dan tuntutan keahlian tinggi untuk mengoperasikan pabrik pengolahan. Namun, jika industri dikembangkan hingga tahap akhir yang padat karya, serapan tenaga kerja bisa lebih banyak.
Baca juga: Hilirisasi dan Pengembangan Industri
Untuk itu, pemerintah harus memikirkan peta jalan pembangunan ekosistem industri yang komprehensif, termasuk insentif dan dukungan kebijakan yang tepat.
Insentif perpajakan tidak bisa lagi ”diobral” sesuka hati, tetapi diarahkan ke sektor hilir untuk menggenjot industrialisasi. Dengan insentif yang lebih terukur itu, penerimaan negara pun tidak perlu tertekan seperti sekarang.
”Kita ini, kan, bukan hanya mau lari sprint 100 meter, kita ingin lari maraton sampai 30 tahun ke depan. Perlu didesain kebijakan industri yang jelas tahapannya serta bagaimana dukungan insentifnya,” ujar Teguh.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan, ke depan, produk hilirisasi setengah jadi tidak akan menjadi prioritas. Ia mencontohkan, olahan nikel setengah jadi seperti feronikel tidak lagi diberikan diskon pajak (tax holiday). ”Kita kejar hilirisasi dengan nilai tambah lebih tinggi sampai 70-80 persen. Produk-produk setengah jadi sudah bukan primadona lagi,” katanya.
Dihubungi terpisah, Deputi Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, pengembangan industri pascahilirisasi akan dilakukan bertahap. Industrialisasi memang telah menjadi rencana pemerintah untuk 10-15 tahun ke depan.
Kita kejar hilirisasi dengan nilai tambah lebih tinggi sampai 70-80 persen. Produk-produk setengah jadi sudah bukan primadona lagi.
Hal ini sudah menjadi bagian dari peta jalan di Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dalam draf rancangan undang-undang (RUU) RPJPN yang akhir tahun ini disahkan, ada klausul yang mengikat komitmen presiden berikutnya untuk melanjutkan hilirisasi sampai tahap industrialisasi.
”Sekarang memang kita masih mengembangkan hilirisasi sampai tahap setengah jadi, tetapi nanti 10 tahun ke depan industrinya akan mulai berkembang. Kita juga ingin investasi hilirisasi lebih inklusif, dengan melibatkan partisipasi pekerja lokal dan UMKM setempat,” katanya.