Pelaku Utama Aborsi Ilegal di Kemayoran Belum Lama Keluar Penjara
SM dan NA pernah berpraktik di daerah Duren Sawit. Bahkan, NA juga pernah terlibat dalam jaringan pencari pasien aborsi di Cikini.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua tersangka utama berinisial SM dan NA dalam kasus aborsi ilegal di rumah kontrakan di Jalan Mirah Delima, Sumur Batu, Kemayoran, Jakarta Pusat, adalah residivis. Kedua perempuan ini pernah terlibat jaringan aborsi ilegal di Duren Sawit, Jakarta Timur.
Kapolres Metro Jakarta Pusat Komisaris Besar Komarudin menyampaikan, SM (51) menjadi eksekutor aborsi. Adapun NA (33) menjadi otak pelaku karena dia yang meminta tolong SM untuk berpraktik, mengontrak rumah, serta mencarikan perempuan yang ingin diaborsi.
”Kedua orang ini adalah residivis. Sebelumnya, mereka telah menjalani hukuman untuk kasus sama. NA baru keluar penjara Juni 2022. SM juga baru keluar 7 Mei 2022,” katanya di tengah kegiatan pencarian barang bukti kasus di lokasi tempat terjadinya perkara, Senin (3/7/2023).
Kini, baik SM dan NA kembali ditetapkan sebagai tersangka, bersama tujuh orang lainnya. Tersangka lainnya, yakni SW selaku pembantu rumah tangga yang ikut membersihkan alat-alat dan bekas tindakan aborsi. Lalu, SA selaku pengemudi yang mengantar jemput pasien.
Polisi juga mengamankan lima orang lainnya saat penggerebekan pada Rabu (28/6/2023). Mereka adalah empat pasien perempuan dewasa, berinisial JW, IR, IF, dan AW. Selain itu, laki-laki berinisial MK, pasangan tersangka AW, yang menyuruh menggugurkan kandungan juga dijadikan tersangka.
Dalam berpraktik, kedua pelaku utama diketahui sama sekali tidak menggunakan pendekatan medis. Mereka hanya menggunakan alat-alat sederhana, seperti vakum dan penjepit, serta obat-obatan seadanya untuk menjaga kondisi pasien selama dan sesudah tindakan. Proses aborsi mereka lakukan hanya dalam waktu 5-10 menit.
Eksekutor (SM) belajar otodidak, termasuk di Duren Sawit, saat dia menjadi asisten pembantu. Kalau NA bersama jaringan Cikini ini spesialis mencari pasien.
Adapun pasien yang mereka jaring dari iklan di media sosial dimobilisasi secara rapi dengan sebuah mobil yang disediakan pelaku. Pasien akan dijemput ke dan diantar dari lokasi praktik aborsi ilegal tersebut. Saat diantar, pasien juga akan diminta memberikan ponsel mereka agar tidak meninggalkan jejak lokasi ke orang lain.
Kelihaian melakukan praktik aborsi ilegal ini didapat karena kedua pelaku utama pernah terlibat dalam jaringan aborsi ilegal di Jakarta. SM dan NA diketahui pernah berpraktik di daerah Duren Sawit. Bahkan, NA juga pernah terlibat dalam jaringan pencari pasien aborsi di Cikini.
”Eksekutor (SM) belajar otodidak, termasuk di Duren Sawit, saat dia menjadi asisten pembantu. Kalau NA bersama jaringan Cikini ini spesialis mencari pasien,” kata Komarudin.
Praktik aborsi ilegal di perumahan di Kemayoran ini, menurut polisi, telah berjalan sekitar 1,5 bulan. Menurut keterangan dua tersangka utama, mereka telah melayani 50 pasien dari wilayah Jabodetabek. Kepada polisi, keduanya mengaku mematok tarif Rp 2,5 juta per pasien.
Namun, korban mereka mengaku dikenai tarif Rp 5 juta sampai Rp 8 juta. Tarif itu berlaku untuk aborsi janin di bawah usia 3 bulan. Di atas 3 bulan, tersangka menerapkan tarif Rp 15 juta.
Atas perbuatan itu, baik pelaku maupun korban terancam pidana Pasal 76 c juncto Pasal 80 Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 77 a Undang-Undang UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta Pasal 346 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Terhadap dua pelaku yang pernah dipenjara sebelumnya karena kasus sama, Komarudin menyebut, mereka bisa dijerat pemberatan hukuman.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah, saat merespons kasus ini, Jumat (30/6/2023), menilai, praktik aborsi ilegal sebagai kejahatan karena ada rangkaian aktivitas mulai dari menjemput pasien yang akan menjalani aborsi dan menerima pasien itu.
Belum lagi, aktivitas itu dijalankan oleh pelaku yang tidak memiliki pengalaman medis. ”Ini ada urusannya dengan materi, ini kejahatan yang luar biasa dan harus dihukum dengan berat,” kata Ai.
Ketua Bidang Advokasi dan Legislasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia dr Ari Kusuma Januarto SpOG melalui keterangan video juga menegaskan, tindakan aborsi harus dilakukan oleh pihak yang memiliki kompetensi dan wewenang.
”Kompetensi ini penting karena semuanya harus didasarkan atas suatu indikasi, bahkan dilakukan secara prosedur, mulai dari pratindakan sampai setelah tindakan,” katanya.
Negara mengatur agar tindakan aborsi dilakukan atas indikasi kegawatdaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 75 Ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Adapun menurut PP Nomor 61, lanjutnya, mengatur siapa yang berhak dan memiliki wewenang melakukan aborsi serta fasilitas yang ditunjuk oleh pemerintah.