Kejahatan Jual Ginjal demi Uang Itu Nyata
Sindikat memanfaatkan posisi masyarakat yang rentan karena terjerat utang dan masalah ekonomi, terutama pascapandemi Covid-19.
Ujaran ”jual ginjal” sebagai solusi mendapat uang dalam jumlah besar dan instan acap jadi candaan di dunia maya. Kenyataannya, lewat dunia maya pula sindikat perdagangan organ terus mencari mangsa, menjerat mereka yang kesulitan ekonomi ke dalam kejahatan serius.
Kasus penjualan ginjal yang melibatkan sindikat internasional terungkap dalam penggerebekan rumah kontrakan penampung korban di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Beroperasi sejak 2019, sindikat itu memperdaya 112 korban hingga terjerumus dalam praktik penjualan ginjal ke Kamboja. Tindak pidana perdagangan orang itu bahkan melibatkan polisi dan petugas imigrasi.
Dalam pengungkapan kasus di Polda Metro Jaya, Kamis (20/7/2023), sembilan anggota sindikat ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah H (40), D (30), A (42), E (23), M (21), S (30), R (26), HS (43), dan G (31).
Praktik penjualan ginjal itu dipromosikan di media sosial Facebook dengan kedok Group Donor Ginjal Luar Negeri dan Donor Ginjal Indonesia. Di laman itu ditawarkan, donor akan mendapat uang Rp 135 juta per ginjal. Anggota grup Facebook yang tertarik mendonorkan ginjal lantas diminta menghubungi sindikat melalui kontak pribadi.
”Korban diarahkan untuk mengikuti prosedur pemeriksaan kesehatan dan berangkat ke tempat penampungan di Bekasi sambil menunggu pengurusan paspor dan tiket ke Kamboja dengan kedok seolah-olah melaksanakan perjalanan wisata,” ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Hariyadi dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Kamis.
Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ini sudah menjerat 112 korban sejak tahun 2019. Kesemuanya berhasil diberangkatkan ke Kamboja untuk mendonorkan ginjalnya di rumah sakit milik Pemerintah Kamboja, yakni Rumah Sakit Preah Ket Mealea di ibu kota Phnom Penh.
Banyak prosedur yang dilanggar oleh sindikat dan donor. Selain harus lolos pemeriksaan kesehatan, calon donor juga harus memenuhi syarat administrasi yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ.
Syarat yang dilanggar, antara lain, membuat pernyataan tertulis tentang kesediaan donor menyumbangkan organ tubuhnya secara sukarela tanpa meminta upah, hadiah, bayaran, atau imbalan dalam bentuk apa pun dan mendapat persetujuan keluarga yang sudah dewasa.
”Beberapa keluarga korban yang datang ke polda menangis ketika tahu suaminya ke luar negeri ternyata untuk menjual ginjal. Ini, kan, miris karena kalau aturan di dalam negeri jelas, tidak boleh transaksional, tidak boleh untuk komersial, dan harus ada persetujuan keluarga,” kata Hengki.
Bagaimanapun, prosedur jual ginjal ini dipilih para korban secara sukarela. Mereka datang dari berbagai latar profesi, mulai dari petugas sekuriti, pedagang, guru privat, bahkan lulusan S-2 dari universitas ternama yang masih menganggur. Satu hal kesamaan mereka, yakni terimpit masalah ekonomi.
”Ini sangat tidak menghormati harkat martabat manusia, memanfaatkan posisi yang rentan pada saat orang terjerat utang pascapandemi. Mereka yang kesulitan ekonomi ada yang mengagunkan sertifikat rumahnya ke bank, tetapi kena pandemi tidak bisa membayar. Bingung mereka seperti apa, ya, jalan pintasnya jual ginjal. Ini tidak boleh,” tutur Hengki.
Baca juga: Anggota Polisi dan Imigrasi Terlibat Sindikat Jual Beli Ginjal Internasional
Berawal dari donor
Tidak hanya korban, pelaku yang tergabung dalam sindikat ini juga ternyata pernah menjadi donor. Hanim alias H (40), tersangka yang ditangkap di Bekasi, saat diwawancarai wartawan di Polda Metro Jaya, Jumat (21/7/2023), mengaku terjebak dalam sindikat ini sejak terpaksa mendonorkan ginjalnya pada tahun 2018. Keterpaksaan ini dipicu faktor ekonomi keluarga, salah satunya karena tuntutan biaya sewa rumah orangtua yang tidak memiliki rumah sendiri.
Dalam kebingungan mencari uang, ia lalu menemukan grup donor ginjal di Facebook. Grup itu mengumumkan kebutuhan donor ginjal dengan beberapa golongan darah dan syarat-syarat tertentu. Ia yang tertarik lalu mengirim pesan ke admin grup media sosial tersebut.
"Setelah ngobrol dan setuju, saya langsung disuruh ke kontrakan brokernya di sekitaran Bojonggede, Bogor. Awalnya, saya diproses di salah satu rumah sakit di Jakarta. Cuma, karena butuh banyak tahapan, harus ada persetujuan dari keluarga, saya gagal donor di Indonesia karena istri saya enggak setuju," ungkapnya.
Gagal donor ginjal di Jakarta, ia memutuskan untuk tinggal di rumah broker selama sekitar setahun. Ia pun berbohong kepada istrinya dengan mengatakan ada pekerjaan proyek. Pada Juli 2019, ia diberangkatkan ke Kamboja oleh sang broker. Biaya cek kesehatan, pembuatan paspor, dan tiket pesawat ditanggung oleh broker.
Di sana ia bertemu dengan broker lain bernama Miss Huang, yang mengantarnya ke rumah sakit. Hanim tidak tahu persis Miss Huang berasal dari mana, yang ia tahu perempuan itu bisa berbahasa Indonesia, China, dan bahasa Kamboja.
Di Kamboja ia mendapatkan pasien asal Singapura yang cocok untuk menerima ginjalnya sehingga prosedur transplantasi dilakukan. Ginjalnya saat itu dihargai Rp 120 juta. Uang itu kemudian dipakai untuk membelikan rumah bagi orangtuanya di Subang, Jawa Barat.
Sang broker ternyata memercayakan dirinya untuk menjadi koordinator calon donor Indonesia di Kamboja. Lagi-lagi, ia berbohong kepada keluarganya bahwa ia mendapat pekerjaan proyek di Kamboja. Tugasnya, antara lain, mengatur konsumsi untuk calon donor selama ada di Kamboja. Ia dijanjikan komisi dari potongan biaya beli ginjal dari rumah sakit ke donor senilai Rp 15 juta.
Baca juga: Tranplantasi Ginjal Perlu Perhatikan Karakteristik Donor
Tugas itu sempat berhenti karena pandemi Covid-19 pada 2020. Ia kembali menerima calon donor pada akhir 2022. Setelah kembali aktif, Miss Huang pun semakin masif meminta donor dari Indonesia. Dari yang awalnya hanya 5-7 calon donor sekali permintaan, kemudian menjadi 10-20 donor ketika India membatasi donor keluar negaranya.
Kondisi ini justru merugikan Hanim. Pasalnya, tidak semua pasien yang diberangkatkan ke Kamboja lolos tes kesehatan. Dari total 40 calon donor yang ia dampingi di Kamboja, hanya 35 orang yang berhasil melakukan transplantasi dan mendapat bayaran dari rumah sakit.
Dalam praktik penjualan ginjal itu, anggota sindikat berbagi tugas. Mulai dari menjadi ”humas” di media sosial, mencari tempat penampungan, hingga mengurusi dokumen calon penjual ginjal. Sejak terlibat dalam sindikat, mereka dapat ikut mengumpulkan omzet sampai Rp 24,4 miliar. Uang itu didapat dari mengambil keuntungan Rp 65 juta dari tiap ginjal yang mereka jual seharga Rp 200 juta.
Sementara itu, Hanim harus menanggung rugi karena ia dan broker lainnya telah membiayai lebih dulu pemberangkatan calon donor. Ia mengaku masih memiliki utang Rp 700 juta ke rumah sakit karena calon donor yang gagal tersebut.
"Saya sebenarnya dari 2019 itu pengin berhenti karena ngurus anak-anak (calon donor) yang segitu banyak, risikonya gede, saya hampir enggak sanggup juga. Cuma, karena broker saya dan Miss Huang mengharuskan saya untuk tetap membantu dengan dalih kasihan anak-anak yang butuh bantuan kita, gimana kalau ibaratnya mereka enggak jadi sampai berangkat, kemudian gagal, ada yang bunuh diri atau jadi copet atau gimana?" katanya.
Dalam praktik penjualan ginjal itu, anggota sindikat berbagi tugas. Mulai dari menjadi ”humas” di media sosial, mencari tempat penampungan, hingga mengurusi dokumen calon penjual ginjal. Sejak terlibat dalam sindikat, mereka dapat ikut mengumpulkan omzet sampai Rp 24,4 miliar. Uang itu didapat dari mengambil keuntungan Rp 65 juta dari tiap ginjal yang mereka jual seharga Rp 200 juta.
Keuntungan ini mereka dapatkan dengan bantuan tiga tersangka lain, yaitu L (32) yang bertugas di Kamboja serta anggota kepolisian Aipda M alias D dan pegawai imigrasi berinisial AH alias A. Bahkan, polisi itu ikut merintangi penyidikan sejak pengungkapan penampungan calon donor di Bekasi pada Senin (19/6/2023) dini hari.
Dalam kasus ini, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) dan atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Problem literasi
Mencermati kasus penjualan ginjal tersebut, pengamat sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, berpendapat, kebutuhan ekonomi memicu terjadinya kejahatan bawah tanah ini. Hal itu, antara lain, tecermin dari donor yang kemudian beralih menjadi sindikat.
”Mereka dapat uang. Ini enggak akan terjadi kalau mereka enggak dapat uang atau diperlakukan tidak baik, kecil kemungkinan mereka kembali jadi marketing atau bagian dari sindikat ini,” kata Devie saat dihubungi melalui telepon.
Lemahnya literasi masyarakat soal hukum hingga penggunaan media sosial juga ikut dimanfaatkan sindikat penjualan ginjal.
”Rata-rata literasi mereka (korban) tentang hukum kemungkinan rendah sehingga tidak heran jika mereka melakukan itu tanpa menyadari bahwa itu perilaku keliru atau merugikan,” ujarnya.
Ia menambahkan, donor ilegal ini juga berpotensi kembali terperosok dalam lingkaran kesulitan ekonomi. Hal ini karena hidup dengan satu ginjal yang tidak ditunjang gaya hidup sehat dapat menurunkan kualitas hidup dan produktivitas di masa mendatang.
Kemudian, minimnya literasi masyarakat dalam menggunakan media sosial juga menjadi alat perangkap mereka yang tengah terimpit.
”Riset UI pun pernah menunjukkan, apa yang di-posting di media sosial secara umum dapat dilihat sebagai sesuatu yang luar biasa dan dianggap sebagai media arus utama. Jadi, ketika mereka melihat tawaran jual ginjal ini hadir di media sosial, mereka bisa anggap itu sah-sah saja, bukan sesuatu yang salah,” tuturnya.
Terungkapnya kasus ini memberi pesan agar masyarakat lebih saling peduli dengan sesama dalam impitan sosial-ekonomi. Tidak ketinggalan, semua pihak perlu saling mengingatkan risiko kejahatan terkait ”jual ginjal”.