Jenuh, Rakyat China Protes Kebijakan Nihil Covid-19 Berkepanjangan
Pemerintah China meyakini kebijakan nihil Covid-19 secara dinamis adalah yang terbaik untuk mencegah penularan. Rakyat jenuh dengan berbagai karantina wilayah yang ketat.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
SHANGHAI, SENIN — Kebijakan nihil Covid-19 di China yang berbentuk berbagai karantina wilayah total (lockdown) semakin diprotes keras oleh warga. Unjuk rasa terjadi di sejumlah kota yang berujung pada penangkapan beberapa peserta dan wartawan, termasuk wartawan asing yang meliput kejadian tersebut.
Penangkapan terakhir terjadi di Shanghai, Minggu (27/11/2022), ketika polisi menggelandang wartawan media Inggris, BBC, dan memborgolnya. Berdasarkan keterangan dari Redaksi BBC, Ed Lawrence dan beberapa wartawan lokal dibawa polisi, padahal mereka meliput unjuk rasa dengan mengenakan masker dan tanda pengenal wartawan.
”Lawrence ditahan selama beberapa jam dan mengalami pemukulan serta penendangan sebelum dibebaskan,” demikian kutipan keterangan BBC. Tidak ada penjelasan dari Pemerintah China mengenai alasan para wartawan ditahan.
Muak dan jenuh
Masyarakat China muak dan jenuh dengan kebijakan nihil Covid-19 yang ketat. Ini cara pemerintah mengendalikan pandemi, yaitu memastikan tidak ada penularan sama sekali di masyarakat. Jika ada satu orang saja yang terjangkit, tidak hanya satu gedung apartemen, tetapi bisa-bisa satu daerah dikunci total. Data pemerintah per Sabtu (26/11/2022), ada 40.000 kasus baru nasional.
Para pelaku usaha mengeluh kebijakan lockdown seperti ini merusak perekonomian karena jadwal buka dan tutup tempat usaha terganggu. Bahkan, perusahaan-perusahaan internasional turut mengutarakan keluhan serupa. Berdasarkan Biro Statistik Nasional China, angka pengangguran pemuda sejak pandemi menjadi 18,7 persen.
Selain tidak bebas bergerak, masyarakat marah akibat berbagai kejadian yang berujung kematian gara-gara pertolongan yang terlambat datang. Pada Jumat (25/11/2022) terjadi kebakaran di lantai 15 sebuah gedung apartemen di Urumqi, Provinsi Xinjiang. Petugas pemadam kebakaran terlambat memberi pertolongan karena kota itu tengah mengalami lockdown. Akibatnya, 10 orang tewas.
China News Weekly dua pekan lalu melaporkan, di Zhengzhou, Provinsi Henan, seorang bayi berumur 4 bulan meninggal akibat diare dan muntah-muntah. Bayi itu dan orangtuanya sedang diisolasi karena ibunya positif Covid-19. Ayah si bayi sudah dua kali menelepon ambulans meminta pertolongan, tetapi petugas kesehatan menolak dengan alasan gedung tempat mereka diisolasi sedang dikunci.
Terdapat pula kasus anak laki-laki berumur 3 tahun di Lanzhou, Provinsi Gansu, yang meninggal akibat keracunan gas. Kompor gas di apartemen keluarganya bocor. Orangtua berusaha mencari pertolongan medis, tetapi datangnya lama sekali. Bahkan, butuh waktu satu jam untuk membuka gedung apartemen mereka akibat kebijakan nihil Covid-19.
Unjuk rasa berlangsung antara lain di Urumqi, Beijing, Wuhan, dan Shanghai. Kebanyakan peserta yang merupakan mahasiswa berunjuk rasa dengan menampakkan sehelai kertas kosong. Unjuk rasa memprotes kebijakan pemerintah adalah kejahatan serius di China. Oleh sebab itu, kertas kosong, walaupun tidak ditulisi pesan-pesan protes, menjadi lambang kemarahan dan ketidakpuasan rakyat.
Di Shanghai, peserta unjuk rasa lebih frontal. Media arus utama lokal dan nasional tidak melaporkan aksi tersebut, tetapi media sosial dan media arus utama asing menulis serta menyiarkan unjuk rasa itu. Para pendemo meneriakkan yel-yel yang meminta Presiden Xi Jinping mundur dari tampuk kepemimpinan.
Presiden China sekaligus Sekretaris Jenderal Partai Komunis China itu baru terpilih lagi untuk ketiga kalinya. Ini dipandang sebagai kemenangan politik gemilang. Pada saat yang sama, kebijakan nihil Covid-19 ini membuat masyarakat tidak simpatik kepada Xi.
Berbagai publikasi pemerintah, antara lain kantor berita Xinhua, tetap berkeras bahwa kebijakan nihil Covid-19 ini yang terbaik bagi China. Sudah 89 persen masyarakat China divaksin lengkap dan 70 persen mendapat dosis penguat. Namun, pemerintah tidak mau mengambil risiko. Apabila 2 persen saja warga dari negara berpenduduk 1,4 miliar jiwa ini positif Covid-19, dianggap terlalu banyak oleh pemerintah.
Meskipun begitu, ada beberapa penasihat kesehatan pemerintah yang berpendapat lain. Salah satunya Guan Yi, virolog dari Universitas Hong Kong. Dalam wawancara dengan Phoenix TV, Guan menjelaskan, Covid-19 telah menjadi risiko penyakit permanen di dunia. Ini mirip seperti virus influenza yang setiap orang bisa tertular.
”Daripada kita melakukan tes antigen atau reaksi berantai polimerase (PCR) yang menunjukkan seseorang terinfeksi Covid-19 atau tidak, lebih baik kita lakukan uji berkala tingkat kekebalan tubuh,” tutur Guan.
Menurut dia, uji kekebalan tubuh itu lebih bermanfaat dalam pengembangan vaksinasi dan obat-obatan berkelanjutan. Guan menekankan, vaksin paling canggih sekalipun tidak bisa membuat seseorang kebal penyakit. Vaksin bertujuan meningkatkan daya tahan tubuh sehingga ketika seseorang tertular penyakit, gejalanya tidak parah apalagi mematikan.
”Tujuan pemerintah adalah nol penularan. Ini tidak bisa dicapai untuk penyakit apa pun,” ujarnya.