Digitalisasi Sistem Pembayaran Diyakini Jadi ”Game Changer” Pemulihan Ekonomi
Menjembatani transaksi dan kebutuhan keuangan masyarakat, digitalisasi sistem pembayaran diyakini akan jadi ”game changer” dalam pemulihan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Digitalisasi sistem pembayaran diyakini akan jadi faktor pembeda atau game changer dalam pemulihan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Pandemi yang menyebabkan pembatasan aktivitas sosial memberi tekanan pada perekonomian. Keberadaan digitalisasi telah berhasil menjembatani kebutuhan sistem pembayaran masyarakat.
”Apa yang kita pelajari setelah dua tahun lebih selama pandemi adalah digitalisasi menjadi game changer untuk pemulihan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Pandemi membatasi aktivitas sosial dan kita bisa bertahan karena terbantu digitalisasi,” ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Aida S Budiman dalam diskusi bertajuk ”Advancing Digital Economy and Finance: Inclusive and Sustainable Economic Activities”, di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Rabu (13/7/2022).
Diskusi ini merupakan kegiatan sampingan (side event) yang merupakan bagian dari rangkaian G20 Finance Track: Finance and Central Bank Deputies (FCBD) dan 3rd Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting (FMCBG) di Bali.
Peran besar digitalisasi tecermin dari nilai transaksi via sistem pembayaran digital yang terus bertumbuh walau pertumbuhan ekonomi mengalami tekanan. Pada triwulan II-2020 atau periode awal pandemi, pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi minus 5,32 persen. Perekonomian baru kembali ke jalur pertumbuhan positif setahun kemudian pada triwulan kedua tahun ini.
Di sisi lain, nilai transaksi sistem pembayaran terus meningkat. Transaksi e-dagang pada 2020 mencapai Rp 266 triliun dan meningkat menjadi Rp 401 triliun pada 2021. Adapun nilai transaksi e-money pada 2020 sebesar Rp 205 triliun dan pada 2021 menjadi Rp 305 triliun.
Untuk mendorong pertumbuhan sistem pembayaran digital, BI sudah menjalankan berbagai inisiatif seperti memperluas penggunaan kode pindai cepat (Quick Response Indonesian Standard/QRIS), pemberlakuan BI-Fast, dan penggunaan SNAP (Sistem Nasional Open API Pembayaran).
Sampai dengan Mei 2022, jumlah pengguna QRIS mencapai 20,6 juta dan jumlah pedagang atau merchant yang menggunakan QRIS sebanyak 19,3 juta. Nilai transaksi QRIS di periode yang sama Rp 7,1 triliun dengan jumlah frekuensi pembayaran 66,92 juta kali.
BI Fast telah digunakan 52 anggota institusi keuangan yang terdiri dari 51 bank dan satu lembaga keuangan nonbank. BI Fast memungkinkan nilai transaksi perbankan berkurang menjadi Rp 2.500 per transaksi dari sebelumnya Rp 6.500 per transaksi.
Kolaborasi
Sekretaris Jenderal Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) Handayani menjelaskan, kehadiran sistem pembayaran digital perlu didorong agar sinergis antara lembaga keuangan yang satu dan lainnya. Contohnya kerja sama antara perbankan dan perusahaan teknologi finansial (tekfin) sistem pembayaran untuk mempermudah masyarakat bertransaksi.
”Sebelumnya diperkirakan kehadiran tekfin membunuh perbankan. Rupanya sekarang malah tercipta ruang kolaborasi. Sekarang eranya sinergis dan koopetisi, yakni bekerja sama walau bersaing secara sehat,” ujar Handayani.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pengembangan Keuangan Digital Budi Gandasoebrata menambahkan, inisiatif penguatan sistem pembayaran keuangan betul-betul dirasakan dunia usaha dan masyarakat.