Sukses Damaikan Arab Saudi-Iran, China Tertantang Tengahi Rusia-Ukraina
Keberhasilan ”Dialog Beijing” dalam mendamaikan Arab Saudi-Iran menandai titik awal China untuk memainkan peran lebih besar sebagai penengah dalam diplomasi global. Sasaran Beijing berikutnya: memediasi Rusia-Ukraina.
Oleh
AGNES THEODORA dari Beijing, China
·5 menit baca
BEIJING, KOMPAS — Setelah berhasil mendamaikan Arab Saudi dan Iran, China siap menjadi penengah bagi konflik-konflik di kawasan lain. Presiden China Xi Jinping, yang dijadwalkan berdialog dengan Rusia dan Ukraina dalam waktu dekat, terus menyuarakan perdamaian antara kedua negara itu meski tidak secara eksplisit menyatakan diri sebagai penengah dalam perang Ukraina.
Wang Di, Direktur Jenderal Departemen Urusan Asia Barat dan Afrika Utara Kementerian Luar Negeri China, Rabu (15/3/2023), mengatakan, keberhasilan ”Dialog Beijing” dalam menengahi pertikaian Teheran-Riyadh serta mendorong kedua negara itu untuk kembali menjalin relasi diplomatik menandai titik awal China untuk memainkan peran lebih besar sebagai penengah konflik di Timur Tengah.
Selepas pencapaian itu, menurut Wang, tidak tertutup kemungkinan bahwa China akan memainkan peran sebagai mediator untuk pertikaian bilateral di kawasan lain. Hal ini sesuai dengan berbagai prediksi yang akhir-akhir ini muncul bahwa China akan menjadi agen penengah atau ”polisi” bagi berbagai konflik global, menyusul keberhasilannya merukunkan kembali Arab Saudi dan Iran.
Wang menjelaskan, selama pihak-pihak yang bertikai membutuhkan China, lalu China sendiri bersedia dan mampu, skenario itu pada dasarnya tidak mustahil. ”Dunia ini punya banyak sekali konflik. Semakin banyak pertikaian yang bisa diakhiri, semakin baik dampaknya untuk dunia. China akan mengerahkan segala upaya untuk mencapai tujuan ini,” kata Wang dalam konferensi pers di Beijing, China.
Tepat pada hari pelantikan Presiden Xi Jinping untuk masa jabatan periode ketiga, Jumat (10/3/2023), Riyadh dan Teheran merilis komunike bersama berisi perjanjian—dimediasi China—memulihkan hubungan diplomatik dan membuka lagi kedutaan besar masing-masing setelah tujuh tahun terputus.
Media resmi Pemerintah Iran mengunggah foto dan video yang direkam di China, menayangkan pertemuan Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran Ali Shamkhani dan Penasihat Keamanan Nasional Arab Saudi Musaad bin Mohammed al-Aiban serta Direktur Kantor Komisi Luar Negeri Komite Pusat Partai Komunis China Wang Yi. Disebutkan, perundingan itu berlangsung empat hari.
Kesepakatan rekonsiliasi Arab Saudi-Iran di Beijing tersebut menjadi kemenangan besar diplomasi China di tengah persepsi yang berkembang di kalangan negara-negara Arab Teluk bahwa Amerika Serikat perlahan-lahan meninggalkan Timur Tengah.
Peran baru China di panggung diplomasi global itu menarik perhatian banyak kalangan. Dalam konferensi pers, kemarin, jurnalis asing yang datang dari berbagai negara pun beberapa kali menanyakan apakah China berencana atau bersedia untuk ikut menengahi konflik-konflik di kawasan asal mereka.
”Karena dialog antara Iran dan Arab Saudi baru saja berakhir pada akhir pekan lalu, sejauh ini, saya belum tahu apakah sudah ada negara lain yang meminta kami untuk menjadi penengah. Tetapi, selama pihak yang berkaitan butuh dan ingin, lalu China mampu dan bersedia, kami siap memfasilitasi,” tutur Wang.
China juga memberi sinyal akan memainkan peran lebih besar untuk menengahi konflik Rusia-Ukraina. Menjawab pertanyaan Kompas soal peran China dalam menengahi konflik Rusia-Ukraina menyusul keberhasilan mendamaikan Iran-Saudi, Wang mengatakan, posisi China sudah jelas dan konsisten.
Semakin banyak pertikaian yang bisa diakhiri, semakin baik dampaknya untuk dunia. China akan mengerahkan segala upaya untuk mencapai tujuan ini.
Baru-baru ini, bertepatan dengan peringatan satu tahun invasi Rusia ke Ukraina, China mengeluarkan usulan 12 poin perdamaian terkait perang di Ukraina. Dalam proposal itu, meski tanpa tegas mengecam Rusia, China menyerukan pada kedua pihak untuk menghormati kedaulatan negara masing-masing, meninggalkan mentalitas Perang Dingin, dan melanjutkan pembicaraan damai.
Presiden China Xi Jinping juga dijadwalkan bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin dan berkomunikasi via panggilan telepon dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dalam waktu dekat. Jika berjalan sesuai rencana, hal itu akan menjadi percakapan secara langsung yang pertama antara Xi dengan Zelenskyy setelah Rusia menginvasi Ukraina, Februari 2022.
Wang tidak secara eksplisit menyatakan rencana Beijing untuk memainkan peran sebagai pendamai di perang Ukraina, sebagaimana perannya dalam konflik Iran-Saudi. Namun, ia menegaskan, China akan terus mendorong dialog yang damai serta mengingatkan Rusia dan Ukraina untuk sama-sama bersikap tenang dan menahan diri.
”Kami terus menyuarakan agar eskalasi tensi antara kedua pihak bisa dihindari, apalagi setelah melihat betapa merugikannya dampak krisis ini bagi dunia. Kita perlu mengelola krisis ini dengan baik dan mencegah munculnya krisis kemanusiaan lain,” kata Wang.
Kesediaan
Meski demikian, Wang juga menegaskan bahwa keberhasilan dialog Iran-Saudi pada dasarnya datang dari kesediaan kedua negara itu untuk mengesampingkan perbedaan dan mencari titik tengah. Kedua negara tersebut, ujar Wang, punya keinginan dan ketulusan yang sama untuk memperbaiki relasi mereka. Hal itu memudahkan peran China sebagai mediator.
”Seluruh proses ini berpulang lagi kepada kedua negara yang bertikai. Jika tidak ada ketulusan untuk berdialog bersama di satu meja dan mau berkompromi, mustahil bisa didamaikan,” ujar Wang.
Sampai sekarang pun, proses untuk merajut ulang relasi Iran dan Saudi masih terus berlangsung. Wang mengatakan, mustahil untuk bisa merampungkan konflik bertahun-tahun hanya dalam satu malam.
”China sampai sekarang masih terus memfasilitasi dialog antara kedua negara. Namun, setidaknya, ini menjadi pintu masuk dan langkah pertama untuk mencapai solusi perdamaian antara Iran dan Saudi,” tutur Wang.
Jika tidak ada ketulusan untuk berdialog bersama di satu meja dan mau berkompromi, mustahil bisa didamaikan.
Ia juga menampik anggapan yang membenturkan China dengan negara lain, khususnya Amerika Serikat, yang dianggap gagal menengahi konflik Iran-Saudi. ”Kedua negara itu memilih China karena mereka percaya dengan solusi yang ditawarkan China. Tetapi, saya tidak setuju kalau negara lain dikatakan gagal. Mereka telah memberi fondasi yang kuat untuk memungkinkan ini semua bisa tercapai,” kata Wang.
Aktor penting diplomasi
Amanda Hsiao, analis dari International Crisis Group, menilai bahwa keberhasilan China mendamaikan relasi Iran-Saudi menunjukkan bahwa China mampu menjadi aktor penting dalam diplomasi global, tidak hanya dalam panggung perekonomian dunia. Kesuksesan itu juga bisa membantu China membersihkan citranya, setelah selama ini kerap dituding mendukung invasi Rusia ke Ukraina.
Meski demikian, lepas dari kesuksesan ”Dialog Beijing”, sejumlah pihak meragukan kemampuan China untuk menengahi konflik Rusia-Ukraina. Profesor Steve Tsang, Direktur SOAS China Institute dari University of London menilai, Xi Jinping bisa mendamaikan kedua negara tersebut asalkan ia bersedia dan mampu menjadi mediator yang jujur dan bebas dari kepentingan.
”Masalahnya, kesan yang selama ini muncul adalah Xi Jinping terlalu suportif terhadap Putin. Ini akan menyulitkan upaya perdamaian, karena Zelenskyy tentu tidak akan semudah itu menerima tawaran solusi dari Xi,” kata Steve seperti dilansir majalah Time. (AP)