Bursa Karbon Diluncurkan, Potensinya Capai Rp 3.000 Triliun
Bursa karbon resmi diselenggarakan Bursa Efek Indonesia dan diawasi Otoritas Jasa Keuangan. Bursa ini diharapkan menjadi langkah konkret Indonesia mengurangi emisi karbon.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Potensi nilai perdagangan karbon ditaksir mencapai Rp 3.000 triliun. Potensi ini dari perhitungan pengurangan emisi gas rumah kaca atau karbon yang 60 persen dihasilkan usaha dan industri berbasis alam. Nominal itu dapat diinvestasikan dalam proyek pengurangan emisi karbon penyebab kenaikan suhu bumi.
”Di catatan saya, ada lebih kurang 1 gigaton CO2 potensi kredit karbon yang bisa ditangkap. Jika dikalkulasi, potensi karbon bisa mencapai Rp 3.000 triliun, bahkan lebih. Sebuah angka yang sangat besar, yang tentu akan menjadi kesempatan ekonomi baru yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, sejalan dengan arah dunia menuju ekonomi hijau, karena ancaman perubahan iklim sangat bisa dan sudah kita rasakan," tutur Presiden Joko Widodo saat membuka bursa karbon nasional di Bursa Efek Indonesia, Selasa (26/9/2023)
Bursa karbon yang resmi diselenggarakan BEI dan diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini diharapkan Presiden Jokowi menjadi langkah konkret untuk Indonesia mengurangi emisi karbon tersebut. Berdasarkan dokumen kontribusi nasional (nationally determined contribution/NDC) yang diperbarui di 2022, Indonesia ditargetkan dapat mengurangi lebih dari 3 gigaton CO2 sampai 2030.
Pada acara sama, Luhut Binsar Pandjaitan selaku Ketua Komite Pengarah Penyelenggara Nilai Ekonomi Karbon mengharapkan potensi perdagangan karbon lewat bursa ini juga bisa ditangkap pelaku perdagangan karbon internasional. Bursa nasional diyakini unik karena keragaman sektor usaha penghasil emisi, yang mayoritas berbasis alam.
Sampai saat ini, perdagangan karbon dapat diikuti perusahaan atau industri di sektor energi, perhutanan, pertanian, industri umum, menyusul sektor kelautan.
Pelaku usaha atau industri yang emisi karbonnya telah tersertifikasi dan masuk dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) dapat mendaftar ke bursa. Berikutnya, kegiatan pembelian efek unit karbon bisa dilakukan perusahaan yang banyak menghasilkan emisi karbon. Adapun perusahaan yang kegiatannya mampu menyerap dan menghasilkan sedikit emisi bisa melakukan penjualan efek lewat proyek pengurangan emisi karbon.
Transaksi ini dilakukan secara terbuka di pasar sekunder BEI yang terintegrasi dengan SRN-PPI. Sistem itu, kata Luhut, akan terus mereka sempurnakan agar dapat mengoptimalkan percepatan pendaftaran dan transparansi perdagangan.
”Pak Presiden, kami laporkan kita harus menjadi market regional hub agar tersedia unit karbon sesuai standar internasional. Kita akan bekerja dengan standar internasional sehingga perlu percepatan pengaturan mutual recognition agar proses registrasi dapat lebih cepat,” katanya.
Di luar bursa ini, Luhut mengungkapkan, perdagangan karbon internasional pada pasar sukarela (voluntary carbon market/VCM) di Indonesia juga menjanjikan. Sebagai contoh, perusahaan Amazon Web Services telah berkomitmen untuk investasi pembelian karbon sebesar 5 miliar dollar AS.
Indonesia juga bisa menangkap pendanaan hijau dari The Rockefeller Foundation dan The Bezos Earth Fund yang berkolaborasi dengan Bank Dunia untuk menyediakan 4,5 miliar dollar AS guna mendukung negara berkembang memonetisasi kredit karbon. Pendanaan seperti ini dapat dicatatkan dalam SRN-PPI.
Diborong bank
Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) mencatat, sampai penutupan bursa pukul 16.00 hari ini, sebanyak 459.953 ton unit karbon telah diperdagangkan dengan nilai Rp 29,2 miliar dalam 27 transaksi.
Unit karbon itu dijual oleh Pertamina New and Renewable Energy (PNRE) Proyek Lahendong unit 5 dan 6 PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) di Sulawesi Utara. Perusahaan itu menawarkan dua harga ,yakni Rp 69.600 dan Rp 77.000 per unit karbon. Harga itu ditransaksikan lewat mekanisme yang ada, tanpa marketplace, yakni lelang, transaksi reguler, dan negosiasi.
Adapun pembeli unit karbon itu didominasi industri perbankan, seperti PT Bank Central Asia Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT Bank DBS Indonesia, PT Bank Mandiri Tbk, PT BNI Sekuritas, dan PT BRI Danareksa Sekuritas. Lainnya dari industri beragam, seperti PT CarbonX Bumi Harmoni, PT MMS Group Indonesia, PT Multi Optimal Riset dan Edukasi, PT Pamapersada Nusantara, PT Pelita Air Service, PT Pertamina Hulu Energi, dan PT Pertamina Patra Niaga.
Direktur Utama BEI sekaligus Penyelenggara Bursa Karbon Indonesia, Iman Rachman, menjelaskan, transaksi yang didominasi industri perbankan ini menunjukkan dukungan mereka terhadap pemenuhan aspek Environtment (lingkungan), Social (sosial), dan Governance (tata kelola usaha baik) untuk perusahan mereka.
”Yang membeli ini emiten perbankan. Mereka support terhadap ESG, baik untuk pemenuhan pengurangan CO2, yang lain untuk men-tap investor mereka yang concern ke ESG,” kata Iman dalam konferensi pers usai pembukaan bursa karbon di Gedung BEI, Jakarta.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi menambahkan, sejumlah industri perbankan sudah familiar dengan perdagangan karbon ini untuk beragam strategi.
”Salah satunya, yang selalu melakukan verifikasi itu Sustainalytics, itu mungkin menyaratkan bank ini ke arah green untuk membeli unit karbon yang ada. Oleh karena itu, kita lihat ada beberapa bank yang inisiatif, termasuk bank-bank regional,” ujarnya.
Di luar perbankan, pemerintah juga menanti perusahaan pembangkit listrik tenaga batubara untuk bergabung sebagai pembeli di bursa karbon. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ada 99 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berpotensi ikut perdagangan karbon. Jumlah ini setara dengan 86 persen dari total PLTU batubara yang beroperasi di seluruh Indonesia.
Sementara itu, perusahaan pembangkit listrik yang mengembangkan energi terbarukan juga diajak untuk ikut serta sebagai penjual. Sejauh ini, yang sudah dipastikan akan masuk bursa adalah perusahaan pembangkit listrik tenaga bayu dan gas, masing-masing PT UPC Sidrap Bayu Energi dan PT Pembangkitan Jawa Bali UP Muara Karang milik PLN.
Alternatif
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dewanti mengatakan, pemerintah mendorong semua sektor usaha dan industri masuk ke SRN-PPI agar emisi karbon yang dihasilkan terinventarisasi.
Sampai saat ini, ada 1,7 gigaton CO2 dari sertifikat pengurangan emisi yang tercatat di SRN-PPI. Nilai karbon itu tidak harus diperdagangkan industri atau usaha di bursa karbon. Kementerian seperti KLHK punya beberapa mekanisme pengurangan karbon, khususnya untuk pelaku usaha atau industri tidak ramah lingkungan.
”KLHK punya beberapa instrumen, termasuk penegakan hukum. Mereka harus mengurangi gas rumah kaca, itu bisa disertifikatkan. Kalau enggak mau jual enggak apa-apa selama mereka melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca dengan kemampuan sendiri,” tuturnya.
Perdagangan bursa pun tidak boleh menjadi satu-satunya cara pelaku usaha dan industri untuk memenuhi kewajiban pengurangan emisi. Laksmi menegaskan, perusahaan pembuang emisi harus terlebih dahulu melakukan upaya mandiri untuk mengurangi emisi di sumbernya.
”Kalau enggak cukup baru boleh offset atau melakukan penyeimbangan. Misal, saya punya emisi 200, padahal baku mutu saya 100. Namun, saya hanya mampu mengurangi emisi dengam upaya saya 30. Maka, 70-nya dikurangi pakai offset, saya beli unit sertifikasi pengurangan gas rumah kaca, bisa beli dari bursa. Enggak bisa kalau saya punya emisi 200 semuanya diganti pembelian unit karbon,” ujarnya.