Sebanyak 96,4 persen responden jajak pendapat Kompas mendukung kebijakan pemerintah yang memperbolehkan mudik tahun ini. Namun, hanya 53 persen responden yakin warga akan mematuhi protokol kesehatan saat mudik.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
Kebijakan pemerintah melonggarkan aturan mobilitas sosial selama perayaan Idul Fitri diapresiasi masyarakat. Akan tetapi, apresiasi ini juga diikuti kekhawatiran terhadap potensi pemburukan situasi pandemi Covid-19 setelah Lebaran. Rasa khawatir ini dipicu pelonggaran yang tanpa dibarengi kesadaran masyarakat dan inkonsistensi penindakan di lapangan terkait protokol kesehatan.
Kesimpulan ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas padaApril 2022. Hasil survei menunjukkan, 96,4 persen responden setuju terhadap kebijakan pelonggaran mudik tahun ini. Tingginya apresiasi ini juga terlihat dari animo masyarakat untuk mudik.
Hal itu terlihat dari gelombang pemudik tahun ini yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan masa mudik Lebaran sebelum pandemi Covid-19. Berdasarkan estimasi Kementerian Perhubungan, terdapat lonjakan 3-4 kali lipat pemudik pada tahun ini dibandingkan dengan tahun 2019.
Hanya, gegap gempita silaturahmi masa Lebaran 2022 ini cenderung tidak dibarengi kewaspadaan. Selama dua minggu terakhir, kasus positif harian terjaga di bawah 1.000 kasus per hari. Bahkan, satu minggu terakhir, kasus harian ada di kisaran 107-245 kasus. Hal ini diperkuat rasio positif yang relatif rendah di kisaran 0,3 persen.
Selain itu, kasus aktif di Indonesia juga berada di bawah 10.000 pasien. Beberapa indikator ini merupakan pertanda yang dapat menunjukkan bagaimana pemerintah sudah relatif mampu mengendalikan laju penularan dan menyembuhkan pasien Covid-19.
Di satu sisi, data itu menunjukkan situasi pandemi di Indonesia relatif terkendali. Di sisi lain, masih ada kekhawatiran di benak publik soal risiko penularan Covid-19 semasa Lebaran. Separuh dari responden memang merasa tidak khawatir bahwa kebijakan pelonggaran mobilitas sosial selama masa Lebaran akan berakibat pada pemburukan pandemi di Indonesia. Sebaliknya, separuh lainnya merasa khawatir jika nanti pandemi akan kembali memburuk setelah masa mudik Lebaran, bahkan sebagian di antaranya sangat khawatir dengan potensi tersebut.
Kekhawatiran masyarakat ini terutama bersumber dari penerapan protokol kesehatan yang juga ikut longgar bersamaan dengan kian bebasnya mobilitas masyarakat. Berdasarkan hasil jajak pendapat, hanya separuh responden (57 persen) yang merasa masyarakat akan tetap mematuhi protokol kesehatan saat mudik. Sementara itu, 43 persen responden tidak yakin masyarakat akan tetap menaati protokol kesehatan selama masa mudik Lebaran.
Persepsi terhadap kecenderungan rendahnya kesadaran masyarakat menerapkan protokol kesehatan ini diperparah oleh pandangan publik yang melihat belum tegasnya penindakan di lapangan, terutama terkait konsistensi menegakkan peraturan. Survei memperlihatkan, hanya 60 persen dari responden memercayai konsistensi penegakan aturan terkait pelonggaran selama mudik.
Artinya, persepsi publik soal potensi tidak konsistennya penindakan terhadap pelanggar protokol kesehatan selama masa mudik Lebaran masih kuat.
Rendahnya kesadaran masyarakat serta inkonsistensi penindakan dari pihak berwenang ini bisa meningkatkan risiko penularan Covid-19 selama masa Lebaran tahun ini. Pasalnya, walaupun kendaraan pribadi masih menjadi pilihan moda transportasi utama pemudik, tidak sedikit warga masyarakat yang memilih menggunakan transportasi umum ketika mudik.
Selama H-7 sampai H-3 Lebaran saja, terdapat sekitar 3 juta orang yang melakukan perjalanan mudik. Dari jumlah tersebut, sekitar 800.000 pemudik memilih bepergian menggunakan pesawat terbang. Selain itu, sekitar 492.000 memilih mudik menggunakan kereta api. Belum lagi masyarakat yang mudik menggunakan transportasi umum darat lainnya, seperti bus dan mobil travel. Artinya, mau tidak mau masyarakat harus bepergian dengan tingkat kepadatan tinggi yang tentu meningkatkan risiko penularan.
Bukan hanya di perjalanan, risiko peningkatan penularan Covid-19 juga bisa dipicu dari aktivitas pemudik di kampung halaman. Selain bertemu dengan sanak saudara, tidak sedikit dari pemudik ini yang juga berwisata di kampung halaman. Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, berdasarkan pengalaman tahun 2019, sekitar 60 persen dari masyarakat yang mudik juga berwisata di daerah tujuannya.
Oleh karena itu, rendahnya kesadaran masyarakat mematuhi protokol kesehatan, inkonsistensi penindakan, dan momentum melonjaknya mobilitas masyarakat ini bisa menjadi kombinasi yang berbahaya. Jika tidak dimitigasi, gelombang pemudik ini bisa menjadi medium penyebaran Covid-19.
Mitigasi risiko
Untuk meminimalkan risiko pemburukan situasi pandemi setelah Lebaran, publik berpendapat pemerintah dapat mengambil berbagai strategi. Misalnya, sebanyak 28 persen dari responden mengatakan, risiko pemburukan situasi Covid-19 dapat dicegah dengan menggenjot vaksinasi dosis kedua dan ketiga bagi masyarakat yang ingin berangkat mudik.
Beberapa langkah preventif lain yang dirasa publik meminimalkan risiko tersebut ialah meningkatkan jumlah armada transportasi umum (15,5 persen), mewajibkan tes antigen atau PCR bagi para pemudik (11,9 persen), dan membatasi jumlah pemudik (6 persen).
Tentu upaya preventif di atas sudah menjadi bagian dari langkah pemerintah untuk mengatur pelonggaran selama mudik Lebaran. Namun, di satu sisi mitigasi risiko tetap penting dilakukan, terutama setelah masa mudik Lebaran berakhir dan memasuki arus balik. Sebagai strategi memitigasi risiko, sekitar seperempat dari responden berpandangan masyarakat yang baru mudik harus melakukan karantina mandiri selama beberapa hari sebelum kembali melanjutkan aktivitas.
Tak hanya itu, langkah lain juga bisa diambil untuk meminimalkan penularan pada momen arus balik. Selain mengupayakan menambah ketersediaan transportasi umum, memperpanjang hari libur juga bisa menjadi langkah efektif untuk memecah kepadatan arus mudik di beberapa hari.
Upaya pemerintah memundurkan jadwal masuk sekolah, terutama di wilayah Jabodetabek dan Jawa Barat, serta imbauan pemerintah kepada instansi untuk menerapkan kebijakan bekerja dari rumah (work from home) selama satu pekan ini bisa menjadi strategi untuk mengurai potensi kepadatan selama arus balik Lebaran ini.
Meskipun kini situasi pandemi relatif sangat terkendali dibandingkan dengan tahun lalu, bukan berarti situasi pandemi tak berpotensi mengalami pemburukan. Sebagai contoh, China yang sebelumnya telah lebih dulu mengendalikan Covid-19 kini terpaksa memberlakukan kebijakan karantina wilayah di beberapa kota utama, seperti Shanghai, setelah mengalami pemburukan situasi pandemi sejak pertengahan Maret lalu.
Tentu, baik masyarakat ataupun pemerintah tidak ingin kondisi serupa terjadi di Indonesia setelah momen Lebaran berlalu. Mewaspadai terjadinya lonjakan kasus Covid-19 setelah Lebaran tetap harus menjadi kesadaran bersama.