Merunut Naik Turun Penolakan Publik kepada Timnas U-20 Israel
Hiruk-pikuk penolakan tim Piala Dunia U-20 Israel telah mengguncang elektabilitas nama-nama kandidat capres 2024. Namun, bagaimana sebenarnya dinamika sikap masyarakat terhadap kiprah olahragawan Israel di Indonesia?
Sikap penolakan terhadap partisipasi olahragawan Israel ternyata sudah terjadi jauh sebelum penolakan tim Israel ini. Arsip Kompas mendokumentasikan sejumlah acara olahraga dalam berita-berita tentang bagaimana upaya untuk tidak memperbolehkan olahragawan Israel berpartisipasi dalam ajang olahraga internasional.
Harian ini, misalnya, mencatat ketika Israel mengucapkan selamat dan mengakui kemerdekaan RI, Soekarno bersikap dingin. Bung Hatta pun hanya mengucapkan terima kasih. Pemerintah Indonesia juga tidak menawarkan hubungan diplomatik dengan pihak Israel. Hal itu berkebalikan dengan sikap Soekarno yang sangat terkesan dengan ucapan selamat atas proklamasi kemerdekaan oleh Palestina dan tampaknya membentuk keteguhan dalam membela nasib Palestina.
Tahun 1958, Indonesia sebenarnya mempunyai kans lolos ke putaran final Piala Dunia ke-6 di Swedia. Sebagaimana dikutip di sportstar.id (20/10/2022), tim Garuda lolos setelah menyingkirkan China pada laga penyisihan grup 1 zona Asia. Namun, karena Tim Garuda menolak bertanding dengan Israel yang merupakan satu grup, akhirnya Indonesia terpaksa merelakan tiket ke putaran final hangus.
Mantan kiper timnas Indonesia, Maulwi Saelan, menyebut penolakan tersebut atas dasar perintah Presiden Soekarno. ”Bertanding dengan Israel sama saja mengakui mereka,” tutur Maulwi Saelan menirukan ucapan Presiden Soekarno sebagaimana dikutip dari Historia.
Pada perhelatan Asian Games IV tahun 1962, Indonesia juga menolak memberikan visa kepada Israel (dan Taiwan). Komite Olimpiade Internasional, (IOC) yang memiliki doktrin memisahkan antara politik dan olahraga, menghukum Indonesia dengan menangguhkan keanggotaan Indonesia pada 1964. Langkah itu diambil IOC karena alih-alih surut, Indonesia justru menyelenggarakan sendiri Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang (Games of the New Emerging Forces, GANEFO) 1962.
Pada catatan kliping Kompas, sikap negasi itu terus berlangsung. Tanggal 22 Mei 1967, misalnya, Persatuan Catur Seluruh Indonesia (Percasi) menerima undangan dari Persatuan Catur Israel untuk ambil bagian dalam turnamen catur kejuaraan junior sedunia yang diselenggarakan Federasi Catur Internasional (FIDE) Agustus di kota Tel Aviv.
Dirjen Olahraga saat itu, Kolonel Soekamto Sajidiman, menyatakan bahwa kemungkinan pengiriman pemain Percasi ke Israel akan dapat dilakukan dalam rangka pendobrakan isolasi olahraga Indonesia saat itu. Setelah itu berita tentang undangan itu tak ada lagi.
Sebagai konteks, pada awal Juni 1967 terjadi ketegangan perbatasan yang berlarut-larut antara Israel dan Republik Persatuan Arab (RPA, gabungan Mesir-Suriah) akhirnya meletuslah perang dahsyat. Tajuk Kompaspada 8 Juni 1967 mencatat perang Arab-Israel berkecamuk di semua front yang berbatasan dengan Israel. Semua anggota Liga Arab menyatakan perang kepada Israel, yang memulai serangan lebih dulu dengan alasan penutupan Teluk Aqaba oleh RPA sebagai tindakan agresi.
Panasnya dampak perang Arab-Israel menyengat hingga tahun berikutnya. Tanggal 2 Juli 1968 Pelti mengecualikan Israel dari anggota Lawn Tennis Asia untuk mengikuti Kejuaraan Tenis Junior se-Asia dari 6-15 September 1968. Pada 9 Agustus 1967, Pelti menghadapi jalan buntu karena Federasi Asia tetap ingin Israel ikut serta dan ingin semua peraturan dalam Olympic Charter termasuk klausul ”non-politik” diberlakukan.
Kemelut ini berakhir pahit ketika empat hari kemudian Indonesia batal sebagai penyelenggara kejuaraan tenis yunior Asia. Pelti disebutkan tidak dapat menjamin bahwa pemerintah akan memberikan visa kepada peserta-peserta dari Israel. Disebutkan, Pelti telah menyerahkan kembali kehormatan dan haknya untuk menjadi tuan rumah kejuaraan tenis junior Asia kepada Federasi Lawn-Tenis Asia (ALTF).
Boleh bertanding
Meski tidak memperbolehkan atlet dan peserta Israel bertanding di Indonesia, pemerintah tetap mengijinkan olahragawan Indonesia untuk turut dalam turnamen olahraga internasional dimana dalam turnamen tersebut surut serta atau diduga akan diikuti Israel sebagai peserta. Hal ini direalisasikan pada 6 April 1970 di mana kesebelasan PSMS Medan bertanding melawan kesebelasan Hapoel, Israel di kejuaraan sepakbola Asia yang berlangsung di Teheran, Iran.
Hasilnya, PSMS kalah 1-3 dari Hapoel. Kekalahan kesebelasan Indonesia itu terulang dalam pertandingan Pra-Olimpiade 30 Maret 1972 di Rangoon, Burma. Kesebelasan Indonesia kalah 1-0 dari tim Israel.
Namun, adakalanya federasi olahraga internasional menuruti keinginan Indonesia menolak keikutsertaan Israel. Tercatat, Presiden Tenis Meja Asia (TTFA) pada 1 Oktober 1972 tidak mengundang Israel dalam kejuaraan tenis meja Asia ke-11 di Jakarta, dengan alasan merupakan permintaan tuan rumah Indonesia.
Penolakan terhadap ikut serta Israel karena antara kedua negara tidak ada hubungan diplomatik. Menlu Adam Malik mengumumkan baik Israel maupun China tidak akan diterima dalam kejuaraan itu, demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Kerasnya kaitan olahraga dan politik pada periode ini makin terbukti dari terjadinya aksi teror “Munich Massacre” oleh organisasi militan Palestina “Black September” terhadap peserta Olimpiade 1972 dari Israel. Akibat aksi penyerbuan militan Palestina ke hotel tempat atlet Israel menginap, enam wasit Israel, lima atlet Israel serta satu polisi Jerman dan lima anggota militan tewas. Selain itu, terjadi pula berbagai pembajakan pesawat, peledakan bom, penyerangan bandara dan berbagai aksi kekerasan yang merupakan ekstensa dari pertikaian politik Arab-Israel dalam dunia olahraga.
Sulit dimungkiri, sikap anti-Israel atau minimal enggan berurusan dengan Israel sedang menjadi trend dunia di dekade itu. Hal ini karena perang antara Israel dan negara-negara Arab tetangganya, terutama Mesir, tak kunjung berhenti. Mesir dan negara Arab menuntut pengembalian kawasan-kawasan Arab yang direbut dan diduduki Israel dalam perang enam hari 1967, sedangkan Israel menolak keras.
Dalam konteks saat itu, doktrin memisahkan politik dan olahraga oleh negara-negara barat tampak cukup absurd karena faktanya terjadi berbagai peristiwa dalam dunia olahraga yang dilatarbelakangi konflik politik. Di tengah situasi peperangan bangsa Arab dan Israel, segala cara dipakai para pihak untuk melegitimasi upaya politiknya. Pilihan Soekarno untuk mewaspadai upaya Israel yang menggunakan olahraga sebagai sarana perjuangan politik zionisme memang layak dilakukan.
Narasi penolakan
Tahun 1962, Bung Karno pernah menegaskan, “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.” Sikap Soekarno itu sejalan dan sesemangat dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menegaskan, ”kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”.
Artinya, dari segi fakta historis, konstitusi dan realitas politik ada keterkaitan yang erat atas sikap penolakan terhadap tim Israel yang akan bertanding di Indonesia. Sikap Israel yang terus menindas, belum mau mengakui negara Palestina dan kerap bersikeras menentang arus opini internasional merupakan alasan faktual yang melegitimasi pendirian Indonesia dalam memandang persoalan Palestina.
Sikap pemerintah dan negara Indonesia itu kembali ditegaskan dalam pidato Presiden Joko Widodo pada pembukaan KTT Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) ke-5 di JCC Jakarta, 7 Maret 2016, yang mengulang pidato Bung Karno itu. Presiden Jokowi bahkan menjanjikan bahwa bangsa Indonesia akan tetap konsisten dengan janji tersebut. “Hari ini, Indonesia berdiri bersama dengan negara-negara OKI untuk meneruskan perjuangan yang belum selesai itu,” kata Presiden Jokowi.
Dengan narasi suramnya citra Israel di mata publik Indonesia dan politik negara, tak mungkin menerima kehadiran tim Israel di Tanah Air, dalam semua bentuknya termasuk dalam penyelenggaraan Piala Dunia U-20. Keputusan penolakan keikutsertaan tim sepak bola Israel oleh Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari sikap partai PDI-P yang segaris pada amanat Soekarno menjadi masuk akal dari perspektif tersebut.
Tak hanya PDI-P, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) juga terang-terangan menyatakan penolakan kedatangan timnas U-20 Israel. Demikian pula Muhammadiyah, MUI, KNPI serta sejumlah ormas dan pemuka agama Islam juga menyatakan penolakan atas kedatangan timnas Israel. Sejumlah narasi penolakan bahkan disertai dengan ancaman demonstrasi besar jika tim Israel tetap diterima di Indonesia.
Narasi penolakan yang cukup keras disuarakan sebagian kalangan elite dan masyarakat itu tak pelak menimbulkan kecemasan tentang segi keamanan dan fisibilitas penyelenggaraan oleh Indonesia sebagai tuan rumah. Akibatnya, timbul kekhawatiran tentang ancaman keamanan bagi atlet yang bertanding. Tak heran, pada akhirnya Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) menimbang aspek keamanan sebagai salah satu alasan menentukan yang mengakibatkan pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.
Peran negara
Sikap negasi bahkan antipati terhadap Israel agaknya masih kuat tertanam dalam sikap pemahaman masyarakat. Hal itu juga tecermin dalam hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dilakukan pada Mei 2022. Hasil riset menunjukkan mayoritas masyarakat Indonesia masih memiliki sikap resistensi yang tinggi terhadap relasi-relasi yang terasosiasi atau terafiliasi dengan Israel.
Survei mengukur sikap publik yang terlihat masih intoleran terhadap keberadaan orang beragama Yahudi. Menjelaskan metodologi yang digunakan, pendiri SMRC, Saiful Mujani menyebutkan bahwa pada masyarakat Indonesia, Israel dan agama Yahudi itu hubungannya sangat erat, bahkan dianggap sama. “Mestinya Israel dan agama Yahudi bisa dibedakan, tetapi bagi masyarakat Indonesia tidak mudah membedakan keduanya. Walaupun ada banyak sekali orang beragama Yahudi yang menentang politik pemerintah Israel,” kata Saiful (saifulmujani.com, 7/7/2022).
Dua hal ini tidak bisa dipisahkan dalam pandangan masyarakat Indonesia. Hal itu ditambah dengan Pemerintah Indonesia yang tidak mengakui Israel sebagai negara merdeka mengakibatkan sentimen politik ini kian membentuk opini publik di Indonesia berkaitan dengan kaum Yahudi dan orang Israel.
Diukur dari pertanyaan-pertanyaan survei yang mengukur tingkat toleransi masyarakat terhadap perbedaan di sekitarnya, jawaban responden terkait keberadaan orang Yahudi di sekitar mereka menunjukkan ketidaksukaan yang dalam. Bahkan, jika dibandingkan dengan sikap resistensi terhadap perbedaan identitas sosial (suku, agama) yang lain selain Israel, resistensi terhadap Yahudi/Israel berlipat kali.
Misalnya, sebanyak 51 persen responden keberatan jika harus bertetangga dengan orang Yahudi. Temuan lain, terdapat 57 persen responden keberatan orang Yahudi menjadi guru di sekolah negeridan 61 persen responden keberatan ada orang (beragama) Yahudi menjadi pejabat pemerintah. Angka itu berlipat kali ketimbang terhadap orang beragama lain. Pertanyaan-pertanyaan itu berpola sama dengan yang ditanyakan kepada komunitas yang lain untuk mengukur tingkat toleransi dan intoleransi responden.
Tak pelak hasilnya memang mayoritas masyarakat Indonesia tidak toleran pada agama Yahudi. Bahkanm temuan survei menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan di masyarakat ternyata tidak juga menyumbang naiknya toleransi kepada Yahudi.
Ada 53 persen responden warga lulusan SD yang keberatan bertetangga dengan orang Yahudi, tidak jauh berbeda dengan lulusan perguruan tinggi sebesar 48 persen. Sementara yang berlatar belakang perguruan tinggi terdapat 57 persen yang mengaku keberatan jika orang Yahudi menjadi guru di sekolah negeri, demikian pula dengan yang berpendidikan SD yaitu sebanyak 58 persen. Yang keberatan orang Yahudi menjadi pejabat publik, lulusan SD 60 persen, sedangkan lulusan perguruan tinggi 66 persen.
Data tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara yang berpendidikan rendah dan tinggi dalam hal penerimaan pada warga Yahudi. “Pendidikan tidak punya pengaruh pada toleransi (Yahudi),” kesimpulan Saiful.
Saiful Mujani menduga peran kebijakan negara sangat berperan dalam perubahan pola penyikapan di masyarakat. “Selama belum ada pengakuan terhadap Yahudi sebagai agama resmi seperti agama-agama yang lain maka sulit menumbuhkan sikap yang lebih positif dari masyarakat,” kata Saiful Mujani.
Survei ini dilakukan pada 10-17 Mei 2022 dengan populasi seluruh warga negara Indonesia yang sudah mempunyai hak pilih, berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah survei dilakukan. Populasi dipilih secara random dengan metode stratified multistage random sampling. Jawaban responden yang dapat dianalisis secara valid sebanyak 1060 responden atau 87 persen dari total response rate.
Opini berubah
Opini publik memiliki sifat dinamis dan dipengaruhi banyak faktor. Hal ini juga terjadi dalam soal penerimaan publik pada tim Israel. Meskipun pada saat survei SMRC dilakukan Mei 2022 tampak sikap resistensi dan negasi publik terhadap Israel yang kuat, namun kondisi tersebut tak tercermin setelah bergulir beberapa bulan dan tersiar kabar rencana penyelenggaraan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.
Seperti diketahui, sepak bola sudah menjadi lebih dari sekadar olahraga bagi masyarakat Indonesia. Sepak bola sudah menjadi sarana eksistensi dan kebanggaan, sarana hiburan massal, bahkan menjadi saluran katarsis bagi gejolak jiwa kaum muda penggemar sepak bola. Tak heran, berbagai klub suporter fanatik terbentuk di antara jajaran klub sepak bola daerah terutama yang bermain di liga-liga nasional.
Jangankan berkorban uang untuk membeli tiket menonton pertandingan, fans klub sepak bola itu bisa melakukan langkah pengorbanan yang lebih besar demi membela tim kesayangannya. Euforia dan histeria jelang menjadi tuan rumah sepak bola tentu sangat besar ketika mendengar tim nasional akan bertanding melawan tim dari negara asing. Apalagi hingga awal Maret 2023 tidak terdengar permasalahan penolakan atau batalnya rencana menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.
Dengan perspektif yang bernuansa pragmatis semacam itu, tentu minim atau malah tak terlintas persoalan ideologis terkait tim mana yang akan bertanding nantinya. Apalagi bagi kelompok generasi Milenial atau generasi Z, persoalan ideologis merupakan isu yang jauh dari pemahaman mereka setidaknya dari segi kesejarahan dan rentang usia. Oleh karena itu tak heran, ketika survei dilakukan pada kisaran akhir Maret 2023, sudah didapatkan pergeseran opini terhadap kedatangan tim Israel.
Sikap publik yang relatif lebih menerima kedatangan timnas sepak bola U-20 Israel itu tecermin dalam hasil survei nasional dua lembaga, Indikator Politik dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan dalam kurun waktu berdekatan, pada akhir Maret hingga awal April 2023 atau sekitar seminggu setelah munculnya isu penolakan terhadap tim Israel. Isu yang tadinya lamat-lamat itu akhirnya menjadi formal ketika Gubernur Bali I Wayan Koster mengeluarkan surat perihal Penolakan Tim Israel Bertanding di Bali tertanggal 14 Maret 2023.
Dalam hasil survei nasional LSI, sebanyak 68 persen responden dari total 1.229 responden menyatakan tahu bahwa Indonesia akan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Dari proporsi yang tahu, sebanyak 76,1 persen juga mengetahui bahwa timnas Israel merupakan peserta pada Piala Dunia U-20 tersebut. Dari proporsi yang tahu bahwa Indonesia akan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20, ada 71,3 persen responden menyatakan tidak mempersoalkan kedatangan tim Israel ke Indonesia.
Pragmatisme dan idealisme
Alasan terbesar publik (52,3 persen) yang tidak mempersoalkan kedatangan tim Israel adalah “urusan bola, tidak ada kaitan dengan politik”. Selebihnya, alasan “untuk kemajuan sepak bola nasional (8,6 persen), “momen penting Indonesia sebagai tuan rumah” (7,6 persen), dan sejumlah alasan lain. Yang menjawab tidak tahu sebanyak 13,5 persen responden.
Sementara alasan publik yang menolak kedatangan tim Israel memang tidak terkait dengan sepak bola alias lebih bersifat idealis bahkan ideologis. Yang terbesar adalah “karena Israel menjajah Palestina” (32,2 persen), “tidak suka dengan Israel” (16,8 persen), “konstitusi kita menolak penjajahan” (16,2 persen), bahkan “karena Isael adalah bangsa Yahudi” (6,9 persen), serta alasan lainnya. Yang tidak tahu hanya 4,1 persen responden.
Ketika telah terjadi dampak penolakan tim Israel berupa batalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20, maka dari proporsi responden yang tahu Indonesia akan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 mayoritas menyayangkan penolakan yang terjadi sehingga FIFA membatalkan status Indonesia sebagai tuan rumah. Sebanyak 64,1 persen responden menyatakan itu. Artinya, bagian terbesar publik kategori ini tetap mempertahankan alasan rasionalisasi yang sama setelah terjadinya pembatalan.
Sementara itu, hasil survei Indikator Politik menampilkan hasil yang senada terkait kedatangan tim sepak bola Israel meski dengan angka yang lebih moderat. Survei yang dilakukan 22-27 Maret 2023, itu mencatat sejumlah poin, sebagaimana dinyatakan Direktur Eksekutif Indikator PolitikBurhanudin Muhtadi di sejumlah wawancara media. Sebelum ada pembatalan oleh FIFA, opini publik dipenuhi oleh suara-suara yang menolak kedatangan Israel.
Namun, ketika dilakukan survei, hasilnya menunjukkan hal yang berbeda. Sebagian besar responden (58 persen) menerima kedatangan tim Israel dan yang menolak hanya 33 persen. Ini berarti sebagian besar publik dalam kategori ini sebenarnya tetap tidak mempermasalahkan kedatangan Israel dan lebih fokus pada persoalan piala dunia dan sepakbola.
Dua aras penalaran atas kedatangan timnas U-20 Israel yaitu antara persoalan ideologis anti-Israel dan persoalan pragmatik kompetisi sepakbola mencerminkan ada pergeseran dalam cara publik melihat relasi Indonesia dan Israel. Dalam konteks non-politik sebagaimana soal sepakbola Piala Dunia U-20 ini, ada kecenderungan publik melihat secara lebih pragmatis dan tidak terganggu dengan kehadiran simbol Israel di Indonesia.
Pandangan itu tentu wajar, mengingat dalam sejumlah peristiwa ajang internasional sebelumnya, kedatangan orang atau tim Israel tidak dipermasalahkan meskipun tetap dilakukan dengan mitigasi yang ketat. Yang paling menonjol antara lain Kejuaraan Dunia Panjat Tebing yang digelar 24-26 September 2022 di Jakarta. Demikian juga dalam perhelatan General Asembly 144th Inter-Parliamentary Union (IPU) di Bali pada Maret 2022.
Jembatan ideologis
Sulit dimungkiri, sepak bola bagi mayoritas masyarakat Indonesia merupakan olahraga yang paling merakyat dan sangat populer sehingga memiliki jutaan simpatisan. Dari jawaban hasil survei LSI terlihat, bagi publik secara umum, menerima timnas Israel dipandang sebagai bagian dari pandangan “pragmatis” bahwa olahraga tidak dicampur/dikaitkan dengan politik.
Konotasi mencampurkan olahraga dan politik dari jawaban responden itu tentu memiliki makna jauh berbeda dengan istilah yang sama yang diangkat banyak federasi olahraga internasional pada dekade 1960-1970 ketika sedang terjadi perang Arab-Israel. Publik Indonesia menyatakan tidak mencampurkan olahraga dan politik, tampaknya sejurus domain yang berbeda semata antara olahraga dan politik.
Di sisi lain, publik yang menentang kedatangan timnas U-20 Israel agaknya memegang dalil yang lebih ideologis terkait perjuangan Palestina dan penjajahan yang dilakukan Israel. Di mata publik kategori ini, persoalan kedatangan timnas Israel adalah soal mendasar terkait eksistensi perjuangan kemerdekaan Palestina dan sikap pembelaan Indonesia.
Momen pertemuan pemain tim U-20, Hokky Caraka, dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Rekaman peristiwa itu diunggah di laman Instagram Hokky dan Ganjar, Selasa (4/4/2023). Pertemuan tersebut seakan menjadi momen menyelesaikan polemik penyelenggaraan Piala Dunia U-20.
Pada simpangan inilah persoalan semakin ruwet karena kebijakan yang diambil pemerintah pusat untuk menyelenggarakan ajang sebagai tuan rumah ternyata menjadi pupus karena penolakan sejumlah pihak termasuk Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Ironisnya, latar belakang publik yang menjadi konstituen Koster, Ganjar bahkan PDI-P adalah mayoritas mendukung penyelenggaraan Piala Dunia U-20 dan tidak mempersoalkan kedatangan Israel. Dengan demikian, jelas terlihat ada misrepresentasi antara PDI-P dan Ganjar Pranowo serta Koster dengan konstituennya.
Kini, nasi sudah menjadi bubur. Pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 sudah diputuskan oleh FIFA. Pelajaran terbaik yang bisa dipetik adalah mencari jalan tengah agar turnamen olahraga internasional tetap dapat terselenggara dengan menginterpretasikan ulang amanat penderitaan rakyat Palestina yang menjadi spirit Bung Karno dan Konstitusi UUD 1945.
Baca juga: Kegagalan Menjadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20, dari Sepak Bola hingga Politik
Bagaimanapun, cepat atau lambat, ke depan Indonesia akan tetap dihadapkan pada berbagai turnamen internasional dengan risiko kepesertaan tim Israel di dalamnya. Sudah saatnya mempertemukan antara amanat ideologi nasional dengan kondisi sosiologis masyarakat yang ternyata bisa berubah “adaptif” terhadap simbol-simbol Yahudi atau Israel khususnya dalam domain olahraga.
Bagaimanapun, Indonesia bisa memilih menggunakan olahraga sebagai sarana yang menjembatani perbedaan ketimbang menegaskan perbedaan. (LITBANG KOMPAS)