Ronaldo sampai Benzema, Bagaimana Masa Depan Sepak Bola Arab Saudi?
Pemain kelas dunia membuka peluang merumput di liga sepak bola Arab Saudi. Mampukah mengangkat prestasi sepak bola negara tersebut?
Setelah liga AS Major League Soccer (MLS), Arab Saudi kini tampak dipilih sebagai tempat pemain sepak bola kelas dunia mempersiapkan pensiun.
Tak tanggung-tanggung, klub-klub di liga ini pun berani untuk membayar hingga ratusan juta euro untuk bisa mendatangkan pemain yang sudah lewat masa bugarnya. Lantas, bagaimana masa depan sepak bola Arab Saudi?
Kepindahan pesohor sepak bola Christiano Ronaldo ke klub Al-Nassr cukup mengagetkan dunia. Tidak sedikit yang melihat bahwa kepindahannya ke klub Liga Arab Saudi ini sebagai sebuah kemunduran.
Bagi mereka, karier mantan pemain MU, Real Madrid, hingga Juventus ini telah usai. Memang, jika dibandingkan, pemain dan kompetisi liga yang ada di Arab Saudi ini terbilang jauh dari liga-liga Eropa.
Arab Saudi kini tampak dipilih sebagai tempat pemain sepak bola kelas dunia mempersiapkan pensiun.
Namun, tak lama kemudian, langkah Ronaldo ini diikuti mantan rekan setimnya di Real Madrid, Karim Benzema. Setelah kontraknya habis dan tak menemukan jalan tengah dengan Real, Benzema pun menerima pinangan dari klub saingan Ronaldo di Liga Arab, yakni Al-Ittihad.
Kepindahan Ronaldo dan Benzema ke Liga Arab Saudi ini dilakukan dengan fantastis. Christiano Ronaldo dipinang oleh Al-Nassr dengan mahar 173 juta poundsterling per tahun. Nilai transfer Benzema di Al-Ittihad juga tak kalah fantastis, dengan nilai kontrak sebesar 200 juta poundsterling per tahun.
Baca juga : Karim Benzema Menepis Rumor
Industri bola
Apa yang terjadi di Arab Saudi ini sebetulnya bukanlah sesuatu yang baru. Sebelumnya, langkah serupa pernah dilakukan oleh negara lain. Salah satu contohnya adalah liga sepak bola di AS.
Sebelumnya, liga di AS belum terlalu berkembang. Saat itu, di salah satu klub terbesarnya, LA Galaxy, hanya ada sekitar 4.000 penonton di tiap pertandingan. Sangat jauh dengan jumlah rerata penonton pada 2022 yang berada di kisaran 40.000 atau sepuluh kali lipatnya.
Salah satu dari faktor yang membawa momentum pertumbuhan dari liga ini adalah kedatangan David Beckham. Pada saat itu, Beckham ”babat alas” di liga yang dianggap sebelah mata. Sama dengan kasus di liga Arab Saudi, kepindahan Beckham ke MLS justru mengundang cibiran.
Namun, pandangan sebelah mata ini dibalas dengan keberhasilan Beckham membesarkan MLS. Saat itu, harga yang ditawarkan oleh LA Galaxy memang terbilang ”murah”, yakni 6,5 juta dollar AS setahun. Namun, dengan potongan 70 persen dari gaji sebelumnya di PSG, Beckham tetap diuntungkan karena mendapat hak potongan dari pendapatan tim.
Walhasil, tak hanya jadi pemain, Beckham kemudian juga terlibat menjadi pengurus dan bahkan memiliki timnya sendiri di liga. Dengan investasi sebesar 25 juta dollar AS, Beckham berhak memiliki tim ketika pensiun. Per 2020, Beckham pun turut meramaikan liga dengan tim besutannya, Inter Miami CF.
Fondasi yang sebelumnya ditanam Beckham pun berbuah manis. Skala industri liga meningkat hingga lebih dari 1.400 persen. Pada 2008, valuasi dari liga MLS berada di kisaran 37 dollar AS. Angka tersebut meroket hingga di atas angka 582 juta dollar AS pada 2022.
Selain itu, langkah Beckham pun diikuti berbagai permain kelas dunia. Beberapa nama besar pesepak bola di liga-liga Eropa yang sempat merumput di MLS adalah Thiery Henry, Wayne Rooney, dan Zlatan Ibrahimovic. Hingga kini, santernya kabar kepindahan Lionel Messi ke Inter Miami menunjukkan seberapa besar daya tarik dari liga tersebut.
Maka, apa yang tengah dilakukan oleh tim-tim di Arab Saudi ini bisa jadi tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Beckham dengan liga sepak bola AS.
Bak gula-gula, nama-nama besar yang kemudian berkarier di Arab Saudi ini akan makin mengenalkan liga tersebut ke mata dunia. Diharapkan atensi yang didapatkan akan berujung pada peningkatan skala bisnis dari liga ini.
Tak heran, langkah membesarkan sepak bola di liga Arab Saudi ini didukung oleh pemerintah. Untuk bisa membiayai transfer besar-besaran, pemerintah tak segan untuk turut berinvestasi pada tim-tim di liga tersebut.
Dalam gambaran yang lebih luas, industri sepak bola yang makin bersinar ini akan membawa peruntungan lain di berbagai bidang seperti bidang pariwisata. Terlebih lagi, kesuksesan pergelaran Piala Dunia lalu di Qatar membawa preseden yang baik bagi nama negara timur tengah di mata penggemar sepak bola dunia.
Baca juga : Pindah ke Arab Saudi, Apakah Messi Menutup Karier dengan Kegagalan?
Pertaruhan Arab Saudi
Namun, langkah Arab Saudi ini bukan tanpa risiko. Peta jalan yang mirip sebelumnya pernah dicoba dilakukan China di medio 2010-an. Saat itu, Presiden China Xi Jinping memiliki ambisi untuk mengangkat derajat sepak bola China di mata dunia. Untuk itu, Pemerintah China pun tak segan untuk berinvestasi besar ke segala lini sepak bola.
Misalnya saja, Pemerintah China menargetkan dibukanya lebih dari 50.000 sekolah sepak bola di negaranya. Bahkan, Xi Jinping juga menginstruksikan sepak bola untuk dimasukkan ke dalam tiap sekolah yang ada di China. Hal ini diharapkan bisa menjaring talenta sepak bola dari usia sedini mungkin.
Di sektor industri, Pemerintah China mendorong perusahaan-perusahaan untuk membuat atau berinvestasi ke klub-klub yang bermain di Liga Super, liga divisi teratas negara tersebut. Tak ayal, beberapa pemain eks klub Eropa, seperti Carlos Tevez, Marouane Fellaini, dan Oscar, pun merumput di liga China.
Namun, harapan Pemerintah China ini terancam runtuh akibat pengelolaan yang buruk. Salah satu contohnya klub Jiangsu Suning FC, pemenang Liga Super musim 2020.
Sekitar setahun setelah menang, klub ini justru dibubarkan akibat gagal memenuhi pembayaran gaji para pemainnya. Selain itu, ada juga kasus Guangzhou FC yang gulung tikar akibat investornya, perusahaan pengembang Evergrande, terkena krisis finansial.
Persoalan dari ambisi sepak bola ini tak hanya terjadi di sektor industri, melainkan juga sektor pemerintahan. Rencana pendirian sekolah-sekolah sepak bola, misalnya, justru dijadikan lahan korupsi oleh para pejabat China.
Beberapa pejabat, seperti Wang Dengfeng, pejabat kementerian pendidikan; dan Chen Xuyuan, ketua federasi sepak bola China, dicokok pemerintah karena diduga terlibat skandal korupsi sekolah sepak bola.
Berbagai skandal di klub, federasi, hingga pemerintah ini membuat Liga Super di China tampak mati suri. Memang, liga masih terus berlanjut dan dihiasi beberapa eks pemain bintang. Namun, dari segi skala dan tingkat kompetisi, liga ini makin jauh dari radar sepak bola dunia.
Pengalaman China ini menjadi bukti bahwa membangun iklim sepak bola tak hanya cukup bermodal investasi. Dibutuhkan komitmen, transparansi, hingga minat dari pasar yang kuat agar intervensi dari pemerintah bisa membuahkan hasil.
Lantas, sejauh apa liga di Arab Saudi akan berkembang? Butuh waktu beberapa musim agar kita bisa melihat jawaban dari pertanyaan tersebut. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Memahami Alasan Lionel Messi Memilih Inter Miami