Survei Litbang ”Kompas” pada Oktober 2022 dengan melibatkan 1.200 sampel di 34 provinsi di Indonesia menunjukkan hanya 49 persen responden menganggap positif citra Polri. Angka ini merosot 17,2 persen.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Citra positif kepolisian mengalami penurunan paling tajam di bandingkan lembaga-lembaga negara lain berdasar survei Litbang Kompas pada Oktober 2022. Becermin dari data yang diterima Komisi Kepolisian Nasional, keluhan masyarakat terhadap Polri didominasi oleh kinerja reserse sehingga perbaikan di bidang ini perlu mendapat prioritas.
Survei Litbang Kompas pada Oktober 2022 dengan melibatkan 1.200 sampel di 34 provinsi di Indonesia menunjukkan hanya 49 persen responden menganggap positif citra Polri. Angka ini merosot 17,2 persen dibandingkan survei Kompas pada Juni 2022. Polri, pada survei Oktober 2022, berada di posisi kedua terbawah dari sisi citra positif dari total 12 lembaga yang ditanyakan ke responden. Posisi terbawah ialah DPR dengan 44 persen responden menjawab positif.
Terkait dengan penurunan kepuasan publik tersebut, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo dihubungi dari Jakarta, Minggu (23/10/2022), merespons dengan merujuk kepada penjelasan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo sebelumnya.
Listyo beberapa waktu yang lalu mengakui adanya kemerosotan kepercayaan publik ke institusi Polri. Untuk itu, Kapolri akan melakukan pembenahan sebagai bagian dari reformasi struktural, instrumental, dan kultural yang sejalan dengan arahan Presiden. Listyo juga memastikan akan mengerahkan segala upaya untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, menyampaikan, setiap tahun, jumlah keluhan masyarakat yang diterimaKompolnas antara 3.000-4.000 aduan. Dari jumlah itu, sekitar 90 persen mengeluhkan kinerja reserse. ”Sekitar 75 persen keluhan pada reserse itu mengeluhkan pelayanan buruk,” kata Poengky.
Pelayanan yang buruk yang dimaksud, antara lain, kasus terkatung-katung, laporan yang tak segera ditindaklanjuti, hingga administrasi yang bermasalah atau tidak diberikannya surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan (SP2HP). Keluhan lainnya adalah seringnya penghentian penyelidikan.
Keluhan selanjutnya, kata Poengky, adalah dugaan penyalahgunaan wewenang oleh oknum aparat kepolisian, kemudian keluhan berupa dugaan diskriminasi kepada salah satu pihak yang sedang beperkara. Hal lainnya adalah dugaan diskresi yang keliru dan dugaan korupsi oleh oknum polisi.
Berangkat dari situ, kata Poengky, perbaikan kinerja reserse sudah seharusnya menjadi prioritas untuk diperbaiki. Sebab, sebagai aparat penegak hukum, harapan masyarakat kepada polisi sangat tinggi. Di sisi lain, kinerja polisi sebagai penegak hukum sangat menentukan terhadap tingkat kepuasan masyarakat kepada pemerintah. Kompolnas, kata dia, mendorong agar pimpinan Polri dan jajaran kepolisian kembali menggelorakan reformasi kultural Polri dengan diiringi niat baik, semangat, serta konsistensi.
Menanggapi data yang disampaikan Kompolnas, Irjen Dedi menyampaikan semua keluhan atau aduan masyarakat yang dilaporkan ke Kompolnas tentunya akan ditindaklanjuti oleh inspektorat. Inspektorat itulah yang akan menanyakan kepada satuan-satuan kerja (satker).
”Satker yang harus menindaklanjuti dan melaporkan hasilnya kembali ke Kompolnas, begitu mekanismenya,” kata Dedi.
Tugas tertutup
Secara terpisah, Ketua Indonesia Police Watch, Sugeng Teguh Santoso, mengatakan, keluhan masyarakat mengenai kinerja reserse tersebut sama persis dengan pengaduan yang masuk ke IPW. Keluhan itu muncul karena tugas penyelidikan dan penyidikan berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) itu tertutup dan tidak bisa dipublikasikan.
Sementara, SP2HP yang diberikan kepada para pihak yang beperkara biasanya isinya sangat sumir tanpa menyinggung substansinya. Sementara, penyidik biasanya beralasan hal itu dilakukan agar penyelidikan tidak mengalami hambatan.
Akibat kerja yang dilakukan secara tertutup tersebut, muncul berbagai penyalahgunaan, seperti keberpihakan penyidik, penghilangan barang bukti, mempengaruhi saksi dalam pembuatan berita acara pemeriksaan, hingga melakukan penyesatan atau memberikan pertanyaan menjebak. Modus lain adalah menggunakan kekerasan untuk memaksa seseorang mengaku, membuat laporan palsu kepada atasan agar suatu perkara perdata bisa dipidana, hingga mencari saksi ahli yang sesuai keinginan penyidik.
”Kami sangat concern agar yang mendesak diperbaiki itu bidang reserse karena menyangkut hitam atau putihnya nasib orang,” kata Sugeng.
Sementara itu, peneliti Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto, berpandangan, keluhan publik terkait kinerja reserse tersebut disebabkan tidak adanya pengawasan yang ketat serta minimnya tanggung jawab. Sebab, jika akar masalahnya adalah kurangnya personel penyidik, bisa diatasi dengan menambah penyidik dari satuan lain atau dengan mempercepat sertifikasi penyidik.
Di sisi lain, menurut Bambang, anggota kepolisian sering dilibatkan untuk melakukan hal-hal yang bukan merupakan tugasnya, termasuk menjaga pertandingan sepak bola. Demikian pula terkait dengan isu kurangnya anggaran penyelidikan, semestinya hal itu bisa diatasi dengan membuat skala prioritas karena tingkat kesulitan antara kasus yang satu dan yang lain juga berbeda.
”Kalau anggaran yang sudah minim, kemudian diambil oleh kepala satuan atau kepala satuan wilayahnya, akhirnya mereka akan mencari-cari dengan memainkan pasal-pasal dan menjadi problem bagi masyarakat pencari keadilan,” ujar Bambang.