Amanda Nell Eu, Menyuburkan Perspektif Perempuan
Sutradara dan penulis Amanda Nell Eu (38) berani mendobrak batasan dan menempatkan perempuan pada posisi yang semestinya dan sesuai perspektif dalam film.
Kehadiran sutradara dan penulis Amanda Nell Eu (38) di lanskap industri film dunia kian memberi angin segar untuk tumbuh suburnya perspektif perempuan melalui layar. Film panjang pertamanya bertajuk Tiger Stripes (2023) yang jeli dan peka terhadap perempuan memperoleh Grand Prix de La Semaine de La Critique du Festival de Cannes 2023.
Ketika membaca sinopsis film milik Amanda, alur yang ditawarkan mengenai seorang anak perempuan yang baru mengalami menstruasi dan tengah mencari jati diri seperti mudah ditebak. Namun, saat menyaksikan film berdurasi 95 menit ini, kejutan demi kejutan yang tak terduga bermunculan tanpa mengurangi kesinambungan cerita.
Semua imajinasi liarnya diterjemahkan dengan cerdas dan jenaka dalam balutan horor berkelindan dengan mitos di tengah masyarakat. Kumpulan mitos yang cenderung melahirkan stigmatisasi terhadap perempuan. Misalnya, darah menstruasi disebut dengan darah kotor, perempuan yang menstruasi dipercaya mudah didekati roh jahat, hingga dibelenggu dengan aneka pantangan tabu di luar nalar.
Baca juga : Ali Wong, Tawa Segar di Hollywood
Amanda yang lahir dan sempat mencecap masa praremaja di Kuala Lumpur pun secara spesifik memilih mitos yang jamak muncul di Malaysia dan sebagian wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Hal ini juga mencakup bauran kultur, aturan agama, dan kelaziman turun-temurun yang dianggap berimbas bala jika dilanggar.
”Sebenarnya, ini adalah kisah mengenai seorang anak perempuan yang beranjak dewasa dan mulai mengalami menstruasi. Transisi ini bukan hal yang mudah. Tidak hanya perubahan bentuk tubuh, tapi munculnya kondisi lain yang mengiringi pubertas yang bukannya dimengerti, tapi malah harus berhadapan dengan stigma, mitos, kultur, dan tuntutan standar ideal perempuan,” tutur Amanda ketika dijumpai seusai pemutaran Tiger Stripes di Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF), di Yogyakarta, Senin (27/11/2023).
Di JAFF, film ini berkompetisi di Main Competition Award. Tiger Stripes bersaing dengan sesama film Malaysia berjudul Abang Adik (2022) dan Oasis of Now (2023). Ada juga film lain dari sejumlah negara Asia, seperti Monisme (2023), Dreaming & Dying (2023), Growing Apart (2022), Shell (2023), Last Shadow at First Light (2023), dan Which Colour? (2023).
Pemilihan kombinasi genre coming-of-age dan horor dalam filmnya dilandasi kecintaan Amanda terhadap horor dan folklor tentang hantu lokal sejak usianya 13 tahun. Menurut dia, karakter perempuan dalam film horor juga lebih lentur dan bebas berekspresi tanpa ada batasan norma yang mengekang.
Aku terobsesi dengan film horor. Ketika kembali ke Malaysia, aku merasa perlu mengangkat kembali cerita rakyat atau mitos yang ada dan menghubungkannya dengan tema yang sering bersinggungan dengannya, yakni tubuh perempuan.
Meski dalam premis horor konservatif yang sarat sudut pandang lelaki, tokoh perempuan semacam ini ditempatkan sebagai antagonis yang harus dimusnahkan. Walakin, tiap peran utama perempuan yang diciptakan Amanda justru sebaliknya.
Penonton dibuat jatuh hati dan berempati dengan kisah dan sosoknya, walau tubuh mereka digambarkan bisa berubah-ubah menjadi makhluk yang merujuk pada hantu lokal, seperti pontianak (sebutan kuntilanak di Malaysia) hingga penanggalan (sebutan kuyang di Malaysia).
Formula ini akrab digunakan Amanda dalam karyanya. Dua film pendeknya, yakni Lagi Senang Jaga Sekandang Lembu (2017) dan Vinegar Baths (2018), beraliran horor yang berkaitan dengan ketubuhan atau dikenal dengan body-horror.
”Aku terobsesi dengan film horor. Ketika kembali ke Malaysia, aku merasa perlu mengangkat kembali cerita rakyat atau mitos yang ada dan menghubungkannya dengan tema yang sering bersinggungan dengannya, yakni tubuh perempuan. Hal yang aku pahami dan mengerti. Ini kemudian jadi sarana ekspresi yang sesuai,” ungkap penggemar sutradara David Cronenberg dan Shinya Tsukamoto ini.
Pulang
Saat berusia 11 tahun, Amanda memang meninggalkan Malaysia dan pindah ke Inggris. Ia mengenyam pendidikan asrama di High Wycombe. Lulus dari sana, ia menekuni bidang desain grafis di Central Saint Martins dan meraih gelar sarjana. Selanjutnya, ia meneruskan masa belajarnya di London Film School dengan fokus pembuatan film.
Sepanjang berada di Inggris, Amanda memilih menghasilkan film pendek dengan tema drama dan percintaan untuk tugasnya. Meski begitu, nuansa tentang perempuan coba disuarakannya saat itu. Pasak (2012), film pendek yang ditujukan sebagai tugas akhirnya dengan latar di Kuala Lumpur, bercerita mengenai nasib perempuan yang harus bertahan di tengah pernikahan beracun dan terbebani dengan urusan domestik hingga finansial.
Setelah itu, Amanda merilis film pendek lainnya, yaitu Seesaw (2015), yang dominan berisi drama percintaan. Namun, belakangan ia mengingat kembali apa yang membawanya memutuskan berkecimpung di dunia film dan mendalaminya hingga mengambil jenjang S-2 di London. ”Semua itu karena film horor. Jadi, aku mencoba untuk pulang. Apalagi, setelah itu, aku memang pulang ke Malaysia,” ujarnya.
Dengan melihat kondisi perempuan di tanah kelahirannya, ia meyakinkan diri untuk menjajal genre horor, tapi menjadi wahana menyuarakan aspirasi perempuan melalui film. Pada 2017, ia terpilih masuk Berlinale Talent Campus. Percobaan pertamanya mendaftar dan langsung diterima. Mengejutkan sekaligus mengharukan baginya.
Lewat pelatihan ini, ia mematangkan skenario dan penggarapan film pendeknya, yaitu Lagi Senang Jaga Sekandang Lembu, yang diputar perdana di Venice Film Festival ke-74. Film ini memperoleh Special Jury Mention di International Short Film Festival Clermont Ferrand pada 2018. Di tahun yang sama, Amanda menyapa lagi dengan film pendek berjudul Vinegar Baths (2018).
Pada saat yang bersamaan, ia tengah mengolah bangunan cerita Tiger Stripes yang idenya pernah ditawarkannya di South East Asian Film Lab 2017. Akan tetapi, gagasan tentang Tiger Stripes ini bertemu dengan tim yang tepat ketika Amanda berada di Locarno Filmmakers Academy yang membawanya ke Open Doors Hub 2019.
Baca juga : Mursida Rambe dan Ninawati, Membersihkan Jeratan Rentenir
Di sana, ia berjumpa dengan beberapa orang yang menjadi produser film Tiger Stripes. Salah satunya adalah Yulia Evina Bhara dari KawanKawan Media. Selain Yulia, rekan Amanda yang berduet mendirikan Ghost Grrrl Pictures, yaitu Fei Ling Foo, bertindak pula sebagai produser.
Film panjang pertamanya yang sekaligus menjadikannya sutradara pertama dari Malaysia yang memperoleh penghargaan di La Semaine de La Critique du Festival de Cannes dan mengharumkan nama Malaysia rupanya harus menelan pil pahit di tanah airnya. Banyak adegan disensor yang dinilai Amanda malah menghilangkan esensi cerita dan akhirnya suara perempuan kembali diredam.
Gerakan perempuan
Berbicara mengenai perempuan, Amanda tidak berhenti pada pembuatan film. Bersama Fei Ling Foo, Ghost Grrrl Pictures dijadikan wadah pengembangan seni layar yang fokus pada isu perempuan. Nama Ghost Grrrl sendiri diambil dari gerakan Riot Grrrl pada awal 1990-an di Amerika Serikat.
Gerakan feminis yang berjalan melalui musik punk ini gencar mengkritisi berbagai problematika perempuan, mulai dari pemerkosaan, kekerasan domestik, rasisme, anarkisme, sistem patriarki, hingga upaya pemberdayaan perempuan. Semangat gerakan itu dirasa Amanda sejalan dengan spirit yang diusungnya.
”Kami ingin menghilangkan ketakutan dan kesalahpahaman terhadap perempuan dan tubuh perempuan. Walau topik tertentu dianggap tabu, kami justru ingin menunjukkan ada kesalahpahaman di situ. Ini termasuk cara pandang dan bagaimana menempatkan perempuan di dalam film yang sering kali bukan dari perspektif perempuan,” tutupnya.
Kami ingin menghilangkan ketakutan dan kesalahpahaman terhadap perempuan dan tubuh perempuan.
Amanda Nell Eu
Lahir: Kuala Lumpur, 26 November 1985
Pendidikan: MA Filmmaking, London Film School