Harimau Liar di Hari ”Meugang”
Setiap meugang datang, dia akan diajak ayahnya ke Kota Matang, mencari daging murah yang bisa dibeli.
Andah duduk termenung di ambang pintu, di gubuk reyot peninggalan orangtuanya. Syukur di kampung itu tak pernah terjadi badai, hanya kesiur angin sepoi-sepoi dari hamparan sawah yang terbentang luas di belakang gubuk. Andai ada badai, maka gubuk itu akan berpindah tempat, terbang ke tengah sawah atau mengambung di kota kecamatan dan lalu mengejutkan orang-orang di sana yang tengah sibuk berjualan daging meugang yang semakin hari harganya semakin mahal saja, membuat orang-orang miskin seperti Andah menelan ludah.
Pagi itu Andah kembali teringat orangtuanya. Sejak kematian ayahnya belasan tahun silam, ketika konflik bersenjata masih mendera kampungnya di Balee Kuyun, di mana ayahnya mati diterjang peluru, tak jelas dari senapan mana, Andah hidup bersama ibunya, seorang janda yang kala itu juga turut bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka. Walau hidup dalam ketakutan, Andah sangat bersyukur ibunya selamat dan tetap menemaninya hingga damai menjelang. Namun, dua bulan lalu, tanpa disangka-sangka ibunya tiba-tiba saja mati. Dari kabar yang ia dengar, ibunya dipeukeunong seorang laki-laki paruh baya setelah cintanya ditolak berkali-kali. Dia semakin curiga dan yakin dengan berita itu ketika menemukan bungkusan paku dan bulu ijuk ditanam di pekarangan gubuknya yang hampir roboh.
Namun, tak ada yang bisa dilakukan Andah kecuali bersabar dan menahan diri. Keadaan dirinya yang sebatang kara di Balee Kuyun tidak memungkinkan ia untuk melakukan pembalasan terhadap Bang Balah, orang yang ia yakini telah membunuh ibunya dengan sihir. Akan tetapi, ia bertekad dalam hati, suatu hari nanti, dia akan melakukan sesuatu. Dia akan menuntaskan segala dendamnya itu tanpa seorang pun tahu. Dia sadar kalau nyawa mestilah dibalas nyawa dan tueng bila adalah suatu kemestian.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi ketika Andah bangkit dari duduknya. Remaja yang kini berusia 15 tahun itu kembali memasuki gubuk, melanjutkan duduk pada sebuah dipan kayu di ruang tengah. Memang rumah itu hanya punya satu ruangan, seperti kubus dalam pelajaran matematika. Tidak ada kamar di gubuk itu. Semasa ayah ibunya masih hidup, mereka tidur di bangku bambu sebelah timur, sedang Andah tidur di dipan itu, tak jauh dari dapur.
Andah kembali terkenang pada masa-masa yang lalu. Setiap meugang datang, dia akan diajak ayahnya ke Kota Matang, mencari daging murah yang bisa dibeli. Biasanya mereka baru berangkat ke sana setelah matahari benar-benar berada di barat, ketika cahayanya sudah mulai redup dan tak lagi membakar. Saat begitu, saat petang menjelang, harga daging meugang cenderung murah. Harganya tidak lagi melangit seperti di waktu pagi, ketika orang-orang kaya berebut daging segar. Bersama ayahnya, Andah berkeliling mencari lapak-lapak yang mereka kenal, yang bisa memberikan potongan harga, dan ketika uang di kantong ayahnya tak mencukupi, mereka harus puas dengan hanya membeli tulang. Sampai di rumah, ibunya akan mengolah tulang itu menjadi kuah. Dengan aroma itu saja mereka bisa makan dua kali tambah, walau tak ada daging yang bisa digigit. Nikmat sekali.
Baca juga: Ludah Bertuah
Membayangkan kenangan itu Andah teramat sedih. Sekarang, jangankan untuk merayakan meugang, untuk makan sehari-hari saja dia harus merelakan tengkuknya perih berhari-hari. Dia harus bekerja mengangkut padi dengan upah yang tak pernah naik. Sudah menjadi kebiasaan di Balee Kuyun, upah untuk anak kecil adalah setengah dari upah orang dewasa. Itu memang sudah menjadi kesepakatan, sebab anak kecil hanya mampu membawa karung-karung kecil di atas pundaknya, sementara karung-karung besar yang lebih berat akan diangkut orang dewasa.
Dulu, ketika ayah ibunya masih hidup, Andah tak perlu bekerja seperti sekarang. Dia bisa sekolah seperti teman-teman yang lain. Namun, setelah kematian ibunya, Andah tidak punya pilihan lain. Dia terpaksa meninggalkan sekolah, padahal dia sudah kelas enam. Memang kepala sekolah pernah membujuknya untuk tetap sekolah, tetapi Andah menolak. Menurutnya punya ijazah atau tidak sama saja, toh dia tetap harus bekerja mengangkut padi ketika musim panen tiba dan memanjat pinang atau kelapa di waktu yang lain. Lagi pula kalau dia sekolah, siapa yang akan membeli sepatu untuknya? Siapa pula yang akan membeli pakaian dan buku-buku? Dia tidak memiliki sanak saudara di Balee Kuyun. Ayah ibunya hanyalah perantau di kampung itu.
Tepat pukul 12 siang, Andah kembali duduk di ambang pintu. Dipandanginya orang-orang yang lewat, membawa pulang eumpang ganifo yang berisi daging. Dia bisa mencium aroma itu dari angin yang melambai. Dia duduk menekuk lutut, menatap debu-debu yang beterbangan dari derap langkah orang-orang dan kendaraan lalu lalang. Pikirannya kembali menyingkap tabir kenangan. Dia teringat pada ibunya yang dipeluk tentara, beberapa hari setelah ayahnya mati ditembak orang tak dikenal.
Siang itu, hujan baru saja reda dan petir masih menyambar-nyambar di angkasa. Andah sedang menggali tanah di belakang gubuk, mencari cacing untuk umpan ikan. Dia sudah berjanji pada teman-temannya kalau hari Minggu besok dia akan ikut memancing di tambak Haji Brahim. Ada banyak mujair di sana. Karena dianggap hama dan mengganggu ikan bandeng yang sengaja dipelihara dalam tambak, Haji Brahim mengizinkan siapa saja untuk memancing mujair di sana, tapi hanya mujair. Kalau kebetulan kedapatan bandeng, maka harus dilepaskan lagi dalam tambak, begitu pesan Haji Brahim.
Usai mendapatkan beberapa ekor cacing, Andah memasukkan hewan mirip ulat itu dalam tempurung dan lalu dibungkusnya tempurung itu dengan daun pisang. Namun, belum lagi dia sempat menyimpan tempurung di samping sumur, agar cacing-cacing itu tidak mati kepanasan, dari dalam gubuk terdengar jeritan perempuan. Dia tahu itu suara ibunya. Maka berlarilah Andah ke dalam gubuk. Namun, alangkah terkejutnya anak itu menemukan ibunya sedang bergulat dengan seorang tentara yang ingin menguasai tubuhnya, sementara beberapa tentara lainnya tertawa-tawa di atas truk reo yang parkir di depan gubuk.
Andah yang kala itu masih berusia lima tahun memeluk kaki tentara, menjerit dan memohon agar laki-laki bersenapan itu melepaskan ibunya. Namun, nafsu binatang yang merasuk di kepala orang berbaju loreng itu sudah sampai ke pucuk, tak mungkin lagi surut. Maka diperkosalah perempuan itu di hadapan anaknya, anak kecil yang saban hari menghafal Pancasila di sekolah. Dengan pemandangan itu, genaplah penderitaan Andah yang beberapa hari sebelumnya menyaksikan ayahnya ditandu ke kuburan setelah tubuhnya dihajar peluru.
Baca juga: Anak yang Ditelan Telaga
Perlakuan demikian bukanlah hal baru di Balee Kuyun. Selama bertahun-tahun ada banyak perempuan diperkosa di kampung itu dengan tuduhan terlibat GPK. Bahkan ada yang kepalanya dipenggal di hadapan orang ramai. Kengerian semacam itu sudah sangat sering Andah dengar, dan saat itu ia menyaksikan sendiri bagaimana ibunya digerayangi mereka.
Mengingat peristiwa itu, Andah kembali memanggul dendam. Namun, kepada siapa harus membalas, dia tak tahu, sebab orang-orang itu telah kembali ke seberang pulau tak lama setelah perang usai. Yang tersisa di kampungnya hanyalah penderitaan demi penderitaan.
Jam sudah menunjukkan pukul 1 siang ketika Andah melangkahkan kakinya ke luar gubuk. Jalan sudah mulai lengang. Hidungnya mencium aroma daging rebus yang menguar dari rumah-rumah tetangga. Perutnya terasa lapar dan semakin lapar ketika matanya tak sengaja menyaksikan beberapa anak kecil duduk di beranda rumah mereka seraya memamah daging meugang dengan lahap.
Di Balee Kuyun dan kampung-kampung lainnya di Aceh, tradisi meugang memang sudah berlangsung turun-temurun. Dalam setahun ada tiga kali meugang yang dimulai dari meugang puasa, satu hari sebelum Ramadhan tiba; meugang hari raya puasa, satu hari sebelum Idul Fitri; dan meugang haji, satu hari sebelum hari raya haji. Dalam momen-momen itu orang-orang akan berduyun-duyun memenuhi pasar untuk membeli daging. Hari itu adalah hari makan daging yang memang selalu dirayakan. Kalau dipikir-pikir memang wajar dirayakan, sebab hanya pada hari itulah mereka bisa menikmati daging setelah bekerja mengumpulkan uang. Namun, dunia memang tak pernah adil, sebab ada saja orang-orang sial yang hanya menjadi penonton di hari itu, salah satunya adalah Andah, yatim piatu yang tinggal sebatang kara di Balee Kuyun.
Andah terus saja berjalan menyusuri lorong-lorong di kampung itu, menghibur perutnya yang mulai bernyanyi. Sebenarnya kemarin dia masih punya sedikit cadangan uang dari hasil memanjat kelapa. Namun, dalam perjalanan pulang, tak sengaja sepeda ontel peninggalan ayahnya yang hari itu dikendarai Andah menyerempet mobil Avanza Tauke Duki yang diparkir di badan jalan. Demi menghindari seekor lembu betina yang sedang berlari kencang, Andah membelokkan setang sepeda ke kiri dan tiba-tiba saja ujung pedal yang dibalut karet itu menggarit bodi mobil bagian bawah. Mengetahui kejadian itu, Tauke Duki yang sedang berbincang melalui telepon seluler segera turun dan menyaksikan mobil kesayangannya telah terluka dengan garis melengkung, mengikut putaran pedal.
”Omak! Rusak mobil saya!” teriak rentenir itu seraya matanya menatap tajam ke wajah Andah.
”Tidak sengaja, Bang. Ada lembu tadi,” jelas Andah dengan wajah menunduk.
”Lembu memang tak ada otak, tapi kamu kan ada otak!”
Andah tidak tahu mau menjawab apa. Dia hanya diam dan perlahan memarkir sepedanya di depan mobil Avanza putih milik Tauke Duki yang kreditnya baru lunas bulan depan. Dengan tangan disilangkan di bawah perut, Andah menatap goresan di mobil itu.
”Ini kamu lihat!” teriak Take Duki, seraya menunjuk lokasi luka.
Andah mengangguk.
”Kamu harus bayar ini! Kalau tahu istriku, habis kamu.”
”Saya bayar, Bang.”
Baca juga: Tamansari dan Lelaki di Pokok Ketapang
Andah menyerahkan enam lembar pecahan sepuluh ribu. Hanya itu uang tersisa di kantongnya. Tadinya uang itu akan disimpan untuk membeli sedikit daging meugang. Namun, kesialan memang sudah menjadi teman hidupnya selama bertahun-tahun.
Tauke Duki mengambil uang itu dengan muka masam, menghitungnya dengan suara keras. ”Mana cukup ini!” katanya dengan suara semakin keras.
”Itu yang ada, Bang.”
Tauke Duki menaiki mobilnya dan tak berkata apa-apa lagi. Bagaimanapun dia tahu keadaan Andah, remaja paling miskin di Balee Kuyun. Suara klakson yang tiba-tiba berbunyi mengejutkan Andah. Itu adalah kode bagi Andah untuk memindahkan sepedanya. Dan berlalulah mobil itu ke arah utara, meninggalkan debu-debu yang mengapung.
Lima belas menit berjalan tak tentu arah, Andah merasakan perutnya semakin perih. Aroma daging meugang semakin liar saja dan tercium dari setiap rumah yang ia lewati. Tiba-tiba dia berpikir alangkah bahagianya jika ia bisa menjadi harimau. Ya, dengan menjadi harimau, dia bisa mencuri daging-daging itu dari rumah mereka. Dia akan memamah daging itu dengan lahap tanpa seorang pun berani mencegah.
Keinginan itu semakin kuat. Semakin kuat dan kuat. Dan, entah mengapa, tiba-tiba Andah merasa tubuhnya dipenuhi bulu. Kulitnya berubah belang. Kuku tajam keluar dari ujung jari-jari tangan dan kakinya. Dia juga merasa nyeri pada mulutnya yang seketika ditumbuhi gigi-gigi runcing. Dia mengaum keras, membuat orang-orang yang sedang merayakan meugang di rumah mereka keluar berlari berhamburan. Daging meugang berjatuhan di tanah, di sepanjang jalan. Maka berlarilah Andah memungut daging-daging itu.
Peristiwa itu benar-benar menggemparkan karena di hari yang sama, di tempat lain, di kampung-kampung yang jauh, juga bermunculan ratusan dan bahkan ribuan harimau liar yang menyasar rumah-rumah penduduk. Harimau yang terus mengaum itu juga terlihat di sepanjang jalanan kota. Mereka memasuki kantor gubernur, kantor DPR, dan juga Baitul Mal. Mereka adalah orang-orang seperti Andah yang tiba-tiba saja berubah menjadi harimau karena tak sanggup menghidu aroma meugang yang menguar di sekeliling mereka.
Catatan:
Meugang: tradisi makan daging di Aceh sebelum puasa dan hari raya
Tueng bila: balas dendam
Tin Miswary, Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, menulis esai, cerpen, dan resensi buku. Menetap di Bireuen, Aceh.