Hanya dalam hitungan hari, tanpa sebelumnya aku mengerti dan tanpa rencana pribadi, aku dibawa oleh orang-orang yang berbeda melewati sejumlah area yang sangat jarang kususuri, namun akhirnya malah membuka kembali album kenanganku tentang dua perempuan yang sempat memperindah hari-hariku di masa silam. Cukup dalam kesanku terhadap masing-masing dari mereka, tentu pada masa yang berbeda, hingga akhirnya pernah tersuratlah ”Sudah Cukup Sukacita” untuk yang satu dan ”Setelah Sekian Waktu” kepada yang lain. Kedua puisi itu lantas menjelma sebagai lirik lagu yang dahulu kerap kunyanyikan sendiri dengan iringan gitar akustik yang kini telah jebol dan tak bisa dimainkan lagi. Kucoba menggali memori yang lama terpendam dalam relung sanubari berdasarkan tempat tinggal mereka.
***
Hari ini sudah cukup sukacita
Hanya dengan kuperhatikan paras ayumu
Juga rambut panjang indahmu
Serta tawa lucumu
Belum jemu daku padamu
Dan tak kuinginkan itu
(lirik lagu “Sudah Cukup Sukacita”)
Tempat yang pertama adalah sebuah desa di sebelah barat kota Yogyakarta, jaraknya sekitar 12 kilometer dari rumahku. Di sana pernah kudatangi rumah seorang gadis manis berambut panjang bermata cemerlang, yang selama sekian bulan terakhir sungguh menarik perhatianku. Aku berhasil menjumpainya pada kesempatan kedua, setelah rumah itu hampa belaka pada saat pertama kucoba bertandang. Semula dia mengaku tidak mengenalku, aku pun rada kecewa mendengarnya, tapi sekian menit sehabis itu–anehnya-kami langsung bisa berbincang panjang lebar seolah sudah berteman cukup lama sebelumnya. Bahkan kami dapat saling melempar canda dan tersenyum bersama pula. Indah nian hari itu kurasakan.
Sehabis itu kerap nian aku mengajaknya berbicara lewat telepon yang bisa menelan waktu sampai sejam dua jam, selain sesekali berpapasan di tempat kami bersama-sama menempuh studi. Tak hanya sekali, dengan sengaja kupinjam buku catatan miliknya yang sangat rapi itu untuk sejumlah mata kuliah. Terang saja alasannya agar aku bisa bertemu lagi dengannya. Begitu mudahnya dia membuatku bersukacita, bahkan tatkala kubayangkan figur elok atau senyuman lucunya belaka. Kehadirannya senantiasa membawa keceriaan tersendiri dalam hari-hariku selama beberapa waktu. Hingga ketika hampir setahun sesudah pertama kali aku datang ke rumahnya, aku sungguh berhasrat memiliki dirinya. Dengan percaya diri kunyatakan sejatinya isi hati, tapi aku menyadari aksiku tak berarti lagi.
”Maafkan aku, Mas. Telah kujadikan sahabatku sebagai kekasihku,” ucapnya sendu. Yah, terlambat sudah kuayunkan langkah. Sekiranya lebih awal aku hadir dalam hidupnya barangkali ceritanya bakal berbeda. Sekian tahun berlalu tanpa kutahu lagi bagaimana kabarnya, Namun, belakangan kudengar bahwa hingga hari ini sahabatnya itu masih menjadi pasangan hidupnya dan mereka berdua telah dikaruniai sepasang anak lelaki. Gadis manis berambut panjang itu tentu saja telah lama berubah menjadi istri dan ibu yang bersukacita menjalani hidupnya. Dia pun memiliki karier cemerlang dalam pekerjaannya.
***
Setelah sekian waktu berlalu
Dia hanya menari-nari di anganku
Tapi kini ada di depan mata
Terwujudlah satu impian nyata
(lirik lagu ”Setelah Sekian Waktu”)
Tempat yang kedua adalah sebuah perumahan elit di sebelah timur laut kota Yogyakarta, kira-kira sejauh 10 kilometer dari rumahku. Di lokasi itu tinggallah dara cantik berhidung mancung yang sebelumnya menjadi model favoritku di sampul sebuah majalah lokal berbahasa Jawa. Memang tak biasanya majalah tersebut memasang wajah yang demikian rupawan, hingga membuatku sungguh terkesima. Sama sekali tak kuduga bahwa pada akhirnya dia menjadi adik kelasku di bangku kuliah, setelah sekian masa sosok apiknya berkelindan dalam ruang khayalku semata.
Lebih dahulu kuperkenalkan diri kepadanya lewat telepon yang nomornya bisa kutemukan di buku telepon dari Telkom yang super tebal itu, berbekal alamat rumahnya yang tertera di majalah. Kendati tanpa saling memandang, bahkan dia barangkali belum pernah melihatku pula, tapi dapat kurasakan adanya aura kehangatan dari suaranya kala berbincang denganku melalui pesawat telepon.
Baca juga: Dugaan Terakhir
Aku pun berasumsi dia bisa menerima eksistensiku dengan riang hati sehabis meneleponnya dua kali yang senantiasa disertai canda tawa. Maka tanpa mengabarinya lebih dahulu, pada sebuah siang yang panas nian, kucari rumahnya hingga akhirnya ketemu. Aku percaya diri belaka, tanpa seorang teman pun pergi ke sana. Siapa tahu kehadiranku menjadi kejutan menyenangkan baginya. Namun, entah kenapa perbincangan kami ternyata berlangsung tersendat-sendat, tidak sebagaimana ketika kami pernah berdialog tanpa bertatap muka.
”Saya pamit pulang saja, ya. Mohon maaf, jika saya sudah mengusik waktu istirahatmu siang ini. Selamat tidur lagi,” kataku seraya memohon diri. Apa yang terjadi sungguh tak sejalan dengan asaku. Kecewalah diriku tentu saja. Serta-merta layulah cintaku sebelum sempat berkembang menjadi sesuatu yang lebih indah. Pernah sekali lagi kucoba mendatangi rumah itu, tapi malah tiada seorang pun yang membukakan pintu. Sesungguhnya tak ingin kukenang kisah konyol ini, tapi akhirnya tercurah kembali gara-gara aku menerima tawaran sahabatku menemaninya ke sebuah tempat ibadat yang lokasinya tak begitu jauh dari rumah dara cantik berhidung mancung itu.
***
Luhur Satya Pambudi,lahir di Jakarta dan tinggal di Yogyakarta. Cerpennya pernah dimuat di sejumlah media cetak dan digital. Kumpulan cerpennya berjudul Perempuan yang Wajahnya Mirip Aku.