Dilema Kepemilikan Senjata Api di AS, antara Tragedi dan Konstitusi
Pemerintah AS meluncurkan regulasi baru yang memperketat latar belakang pemilik senjata api. Akankah berlaku efektif untuk mencegah berulangnya penembakan massal?
Awal Mei 2023, penembakan massal terjadi di beranda Allen Premium Outlets di Allen, Texas, Amerika Serikat. Peristiwa tragis itu menelan sembilan korban jiwa termasuk pelaku. Di antara korban jiwa termasuk satu keluarga keturunan Korea Selatan, seorang insinyur muda berkebangsaan India, dan dua anak. Menutup bulan Mei 2023, terjadi lagi penembakan di kawasan Hollywood Beach Florida yang menyebabkan sembilan korban luka, termasuk di antaranya seorang bayi berusia 18 bulan.
Tragedi di Allen terjadi menjelang peringatan satu tahun penembakan massal Sekolah Dasar Robb di Uvalde, Texas. Bersamaan dengan duka dan kemarahan warga AS, video iklan layanan masyarakat yang dirilis Biro Investigasi Federal AS (FBI) pada September 2020 kembali muncul ke permukaan.
Video berdurasi empat menit tersebut menampilkan suasana satu bar yang penuh sesak dengan pengunjung dan mendadak digemparkan oleh tembakan dari seorang pengunjung yang membawa senjata api. Situasi yang ditampilkan menggambarkan simulasi nyata dari kejadian penembakan massal.
Video bertajuk ”Lari. Sembunyi. Lawan” tersebut menjelaskan apa saja yang harus dilakukan andai seorang terjebak dalam situasi penembakan massal. Tiga kata yang menjadi pedoman ketika terjadi penembakan massal. Lari dari tempat kejadian sesegera mungkin. Sembunyi dari pelaku apabila memungkinkan. Lawan secara keroyokan sebagai pilihan terakhir untuk melumpuhkan pelaku. Video diakhiri dengan satu kalimat, ”Anda dapat selamat dari penembakan massal apabila Anda siap”.
Kemunculan kembali video tersebut ditanggapi getir oleh publik AS. Publik mengharapkan tindakan nyata pemerintah untuk mencegah kejadian penembakan massal. Namun, video tersebut seperti menyatakan bahwa penembakan massal seperti dianggap normal oleh Pemerintah AS. Keselamatan warga seakan menjadi tanggung jawab individu dalam suatu masalah sistemik pada keamanan warga di AS.
Tren kejadian
Kasus kekerasan bersenjata ini memang bukan hal baru yang terjadi di AS. Jika melihat data dari lembaga swadaya Gun Violence Archive (GVA), terlihat fluktuasi jumlah kejadian dan korban jiwa dari tahun 2014-2022. Tren kasus kekerasan bersenjata di AS sempat menurun pada 2017 ke 2019.
Namun, dari 2019 hingga 2022, tren kejadian kembali meningkat. Jumlah korban jiwa akibat senjata api justru mengalami kenaikan sejak 2014. Jika jumlah kejadian dibagi dengan akumulasi korban jiwa, terdapat sekitar dua nyawa melayang setiap satu kejadian kekerasan bersenjata. Sementara di tahun ini, hingga 30 Mei 2023, jumlah korban jiwa akibat kekerasan bersenjata sudah mencapai 7.749 korban jiwa.
Melengkapi data dari GVA, FBI di awal tahun ini juga merilis laporan tahunan untuk kasus yang lebih spesifik. Dalam laporan yang berjudul ”Active Shooter Incident in the United States 2022” tersebut, tercatat telah terjadi 50 kejadian penembakan massal melibatkan pelaku aktif dengan 313 korban sepanjang 2022.
Laporan pada tahun 2021 mencatat 61 kejadian, lebih tinggi pada tahun 2022. Definisi penembakan dengan pelaku aktif adalah penembakan dengan pelaku yang secara sadar melakukan serangan. Definisi ini digunakan untuk membedakan kejadian bunuh diri dengan senjata api dan atau kecelakaan penggunaan senjata api.
Sementara, jumlah korban jiwa dari penembakan massal pada 2022 meningkat sejumlah 28 persen dari 243 korban dari catatan tahun sebelumnya. Jumlah korban tahun 2022 merupakan catatan tertinggi selama lima tahun terakhir. Catatan ini menjadi semakin memprihatinkan dengan 13 dari 50 kejadian pada 2022 dikategorikan sebagai pembunuhan massal. Definisi pembunuhan massal menurut FBI dipenuhi ketika timbul lebih dari lima korban jiwa dalam satu waktu kejadian.
Kejadian penembakan massal dan kekerasan bersenjata di AS seakan sangat sulit untuk dicegah. Regulasi pengendalian senjata api selalu menjadi polemik pada pembahasan undang-undang dalam Kongres AS. Pembahasan pengendalian senjata api sering kali selalu berhenti pada satu titik, yaitu perdebatan seputar amendemen kedua konstitusi AS. Pengendalian kepemilikan senjata api yang lebih ketat dianggap sebagai upaya untuk mengurangi hak konstitusional warga negara AS.
Dua arus
Dalam pertentangan opini mengenai kepemilikan senjata api, ada dua arus utama di AS, mereka yang mendukung dan menolak. Mereka yang mendukung kepemilikian senjata api merasa bahwa hak menyandang senjata api merupakan hak konstitusional mereka seturut amendemen kedua. Sementara, mereka yang menginginkan aturan kepemilikan yang lebih ketat dan pembatasan senjata api berkaca dari banyaknya kejadian penembakan massal yang terjadi. Kedua arus ini cenderung sulit mendapatkan titik temu dalam perdebatan di ruang publik AS.
Kasus gugatan warga Dick William Heller pada 2008 melawan Distrik Columbia menjadi bukti kuatnya pro-kontra regulasi senjata di AS. Heller menggugat pelarangan membawa dan menyimpan senjata api di Distrik Columbia sebagai pelanggaran atas amendemen kedua Konstitusi AS. Putusan kasus Heller melawan Distrik Columbia pada 26 Juni 2008 akhirnya membatalkan pelarangan membawa dan menyimpan senjata di Distrik Columbia, wilayah ibu kota federal AS, yang telah berlaku selama 32 tahun. Putusan kasus Heller kemudian menjadi salah satu tanda kemenangan terbesar kelompok pro-senjata api di AS.
Kepemilikan senjata api oleh warga sipil di AS memang dijamin dalam amendemen kedua konstitusi AS. Bunyi amendemen kedua, Konstitusi adalah ”Suatu milisi yang teratur diperlukan dalam menjamin negara yang bebas. Oleh karena itu, hak untuk menyandang senjata api tidak dapat dilanggar oleh pemerintah negara bagian ataupun pemerintah federal”. Konteks amendemen ini adalah perlunya warga yang siap direkrut menjadi milisi ketika negara dalam kondisi perang. Selain dijamin dalam amendemen kedua, kepemilikan senjata api sudah menjadi bagian dari sejarah dan identitas kebudayaan Amerika. Argumentasi ini dapat ditilik lewat linimasa sejarah bangsa Amerika Serikat.
Lintasan sejarah
Kebiasaan menyandang senjata api dimulai jauh sebelum AS berdiri sebagai bangsa. Kehidupan keras dan berbahaya yang dihadapi penduduk koloni pada masa kolonial Amerika Utara membuat kepemilikan senjata menjadi kebutuhan saat itu. Selain memenuhi kebutuhan subsistensi dengan berburu senjata, senjata api diperlukan untuk menangkal ancaman alam liar di perbatasan permukiman dan serangan dari suku-suku Indian.
Pada masa Revolusi Amerika yang dimulai dengan pemberontakan 13 koloni Amerika terhadap Pemerintah Inggris di Amerika Utara. Milisi dan kaum pejuang kemerdekaan memegang peran inti dalam perjuangan kemerdekaan. Milisi inilah yang kemudian diorganisasi dalam tentara kontinental yang kelak melahirkan Angkatan Darat AS. Kepemilikan senjata api yang tinggi, kebiasaan berburu, dan keahlian menembak di antara para penduduk koloni menjadi salah satu faktor utama keberhasilan milisi dalam pertempuran.
Kelekatan warga Amerika dengan senjata api juga semakin tampak pasca-kemerdekaan AS. Senjata api seperti menjadi perangkat wajib bagi mereka yang akan merambah wilayah baru di bagian barat benua Amerika Utara. Pada masa itu, para penduduk dan penjelajah menggunakan senjata api mereka sebagai sarana perlindungan diri dari serangan bandit. Para pemilik peternakan besar di bagian barat juga mempekerjakan para koboi untuk melindungi ternak dan bisnis mereka.
Sementara itu, di bagian selatan, para penduduk kulit putih yang sebagian besar petani dan penggembala di Texas melakukan perlawanan bersenjata pada pasukan Meksiko serta melahirkan negara Texas yang kemudian dianeksasi oleh AS sebagai negara bagian ke-28. Konflik ini akhirnya meletus menjadi perang Amerika-Meksiko yang membuat Meksiko kehilangan sebagian besar wilayahnya di Amerika Utara.
Wilayah yang direbut AS kini menjadi Negara Bagian California, Arizona, New Mexico, dan Texas. Periode ekspansi ke barat dan perebutan wilayah dengan Meksiko inilah yang kemudian secara populer dikenal sebagai periode ”Wild West” dalam sejarah AS.
Kepemilikan senjata api tidak sekadar menjadi sarana perlindungan diri, tetapi telah menjadi bagian dari sejarah kelahiran bangsa dan perjuangan warga Amerika dari waktu ke waktu. Senjata api telah membentuk kultur Amerika. Faktor historis inilah yang kemudian membuat perbedaan opini mengenai kepemilikan senjata api di AS kian tajam.
Opini publik AS
Perbedaan pandangan terhadap regulasi senjata api memang beragam dalam demografi masyarakat AS. Hasil survei yang dilakukan Pew Research Center pada 5-11 April 2021 menyebutkan, 48 persen warga AS menilai bahwa kekerasan bersenjata merupakan masalah besar di negara mereka. Namun, angka ini tidak berlaku sama di semua kelompok masyarakat di AS.
Jika dibandingkan berdasarkan kelompok etnis, terlihat variasi opini. Hanya 39 persen dari kelompok etnis kulit putih merasa bahwa kekerasan bersenjata merupakan masalah besar. Persentase ini jauh lebih kecil dari kelompok kulit hitam, sejumlah 82 persen dan kelompok Hispanik sejumlah 58 persen.
Perbedaan yang lebih mencolok terjadi pada perbandingan afiliasi politik. Pendukung Partai Republikan yang menganggap kekerasan bersenjata merupakan masalah besar hanya sekitar 18 persen. Kondisi berkebalikan ditunjukkan di sisi Partai Demokrat, 73 persen pendukung mereka menganggap kekerasan bersenjata adalah masalah besar.
Baca juga: Mahkamah Agung AS Nilai Warga Berhak Bawa Senjata di Tempat Umum
Perbedaan juga tampak dalam variasi demografi wilayah di AS. Warga di perdesaan menilai kekerasan bersenjata bukan merupakan masalah besar dibandingkan dengan warga di perkotaan dan kawasan sub-urban. Wilayah perdesaan merupakan kantong suara bagi Partai Republikan, sementara wilayah perkotaan yang lebih majemuk menjadi kantong suara Partai Demokrat.
Dengan konfigurasi perbedaan pandangan politik yang demikian, perdebatan mengenai hukum kepemilikan senjata api senantiasa menjadi strategi konten marketing politik di kedua partai besar tersebut. Demokrat akan selalu menjanjikan pengetatan regulasi kepemilikan senjata api. Sementara, Republikan akan cenderung menolak segala bentuk regulasi ketat mengenai kepemilikan senjata api.
Bagi Republikan, memiliki senjata api adalah bagian dari hak dasar bagi warga AS. Meski demikian, pada pertengahan 2022, Kongres AS mengajukan proposal regulasi ke Presiden Joe Biden mengenai rumusan final rancangan undang-undang pengendalian senjata api terbaru yang disponsori oleh anggota dari kedua partai.
Perkuat hukum
Rancangan undang-undang tersebut ialah Bipartisan Safer Communities Act (BSCA) diajukan ke Kongres oleh Senator Marco Rubio (Republikan) dari Florida dan Senator Chris Murphy (Demokrat) dari Connecticut. BSCA mengatur pemeriksaan latar belakang yang lebih ketat, pembiayaan untuk penegakan hukum, regulasi senjata api di negara bagian, perbaikan sistem keamanan sekolah, dan program-program intervensi krisis kesehatan mental yang lebih luas. BSCA menjadi produk hukum terkuat dalam pengendalian senjata api dalam 30 tahun terakhir.
Pengesahan undang-undang ini sudah dilakukan oleh Presiden Joe Biden pada 25 Juni 2022. Meskipun demikian, pengesahan ini ditanggapi berbeda diantara kelompok masyarakat. Kelompok advokasi pengendalian senjata Everytown for Gun Safety menyambut positif, sementara Asosiasi Senjata Api Nasional AS (National Rifle Association/NRA) menyatakan penolakan terhadap BSCA. NRA yang beranggotakan beberapa produsen senjata api hingga kini merupakan kelompok lobi pro senjata api terkuat di AS. NRA juga mendukung kampanye partai Republikan guna memuluskan kepentingan anggota mereka.
Baca juga: Kekerasan Bersenjata di AS, Mau sampai Kapan?
Meski sudah disahkan, BSCA belum mampu mencegah kejadian penembakan massal di AS. Insiden pasca-pengesahan BSCA masih terjadi di klub malam di Colorado, Monterrey Park, hingga kejadian di Allen. Regional Gun Research Consortium dalam laman mereka menyebut bahwa kekerasan bersenjata merupakan masalah kebijakan publik. Diperlukan kebijakan yang lebih ketat mengatur peredaran senjata api.
Peredaran senjata api yang sangat bebas dan menjadi faktor terbesar kejadian kekerasan bersenjata terjadi. Apalagi, AS merupakan negara dengan kepemilikan senjata api sipil tertinggi di dunia dengan 393 juta pucuk menurut catatan lembaga Small Arms Survey. Dengan jumlah itu, artinya ada sekitar 120 pucuk senjata pada setiap 100 orang di AS. Meskipun regulasi telah mengatur ketat peredaran senjata api, masih terdapat tantangan bagi penegak hukum untuk memastikan senjata tidak beredar ke kelompok berisiko tinggi.
Kelompok berisiko tinggi inilah yang menjadi sasaran utama bagi kebijakan pembatasan senjata api di AS. Orang dengan catatan kriminal dan penderita masalah kesehatan mental termasuk dalam kelompok berisiko tinggi. Mereka tidak dapat mengakses senjata api secara legal karena pemeriksaan latar belakang yang ketat.
Namun, masih ada celah lewat perdagangan senjata ilegal dan kepemilikan senjata yang tidak tercatat sehingga kelompok berisiko tinggi ini masih bisa mengakses senjata api. Hukum juga memberi kewenangan bagi penegak hukum untuk menyita senjata api yang dimiliki oleh orang berisiko tinggi.
Kesehatan mental yang ditetapkan oleh Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) sebagai masalah darurat kesehatan nasional juga perlu menjadi perhatian. BSCA memberikan kekuatan hukum lebih bagi intervensi pemerintah untuk penanganan yang lebih komprehensif dan terjangkau bagi kesehatan mental.
Kesehatan mental meski tidak berkorelasi langsung, menjadi salah satu faktor pendorong bagi pelaku kekerasan senjata api. Memang beberapa pelaku penembakan massal diketahui merupakan orang dengan masalah kesehatan mental, tetapi tidak serta-merta membuat asumsi bahwa kesehatan mental merupakan faktor penyebab kekerasan bersenjata.
Jeffrey D Swanson dan rekan dalam jurnal Mental Illness and Reduction of Gun Violence and Suicide (2015) menyebutkan, hanya 4 persen penderita masalah kesehatan mental terlibat dalam tindak kekerasan. Dari jumlah tersebut, jauh lebih sedikit yang terlibat dalam kekerasan bersenjata.
Selain mencegah orang dengan masalah kesehatan mental bertindak agresif, perlindungan dan perawatan kesehatan mental juga diperlukan terhadap para penyintas dan korban kekerasan bersenjata untuk membantu mengatasi trauma. Stigma yang telanjur melekat pada penderita masalah kesehatan mental membuat mereka ragu untuk mengakses layanan kesehatan yang lebih memadai.
Baca juga: Hampir Semua Penembak Massal di AS Memiliki Trauma Masa Kecil
Paling tidak, upaya pemerintahan Joe Biden mengesahkan undang-undang BSCA menjadi langkah awal untuk menjamin keamanan dan keselamatan warga AS. Kehadiran BSCA sebagai pedoman hukum senjata api terkuat menjadi penanda perbedaan pendapat yang tajam di publik Amerika mulai terjembatani.
Kepemilikan senjata api di tangan sipil mungkin telah menjadi identitas bangsa Amerika. Namun, jaminan keamanan dan keselamatan seluruh warga merupakan tujuan tertinggi dan harus menjadi fokus utama dalam hal ini. Dengan demikian, jika memang masih ada kebutuhan bagi warga untuk memiliki senjata, perlu disertai dengan persyaratan dan regulasi yang ketat agar tidak mudah disalahgunakan dan membahayakan warga lainnya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Siswa-siswa AS Berunjuk Rasa Tuntut Pengetatan Aturan Senjata