Tak Sadari Perbedaan Huruf ”E-mail”, Perusahaan Singapura Tertipu Rp 32 Miliar
Polri mengungkapkan kejahatan siber muncul karena kelihaian pelaku serta kelalaian korban.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Negara RI berhasil membongkar kasus dugaan manipulasi data melalui surat elektronik bisnis yang mengakibatkan perusahaan asal Singapura mengalami kerugian hingga Rp 32 miliar. Perusahaan itu tidak menyadari alamat surat elektronik atau surel (e-mail) rekanan yang meminta transfer merupakan surel palsu.
Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Himawan Bayu Aji dalam jumpa pers, Selasa (7/5/2024), mengatakan, kasus tersebut berawal dari aksi beberapa orang yang melakukan manipulasi data atau surel bisnis PT Huttons Asia yang berhubungan bisnis dengan Kingsford Huray Development Ltd. Para pelaku menggunakan surel dengan mencatut nama PT Huttons Asia, yakni PT Hutton Asia International.
”Modus operandi para pelaku adalah mengelabui korban dengan menggunakan e-mail palsu, yaitu mengganti posisi alfabet atau menambahkan beberapa satu atau beberapa alfabet pada alamat e-mail sehingga menyerupai aslinya,” tutur Himawan.
Pelaku melakukan penipuan dengan menggunakan surat elektronik atas nama PT Hutton Asia International dan mengirimkan pemberitahuan perubahan alamat surel dari arhuttonsgroup.com menjadi arhuttongroups.com. Padahal, surat elektronik tersebut bukan milik PT Huttons Asia, perusahaan yang asli. Kejadian itu terjadi pada 20 Juni 2023 di Singapura.
Pelaku kemudian mengirimkan rekening yang dibuat oleh pelaku yang berada di Indonesia melalui salah satu bank di Indonesia. Rekening tersebut kemudian digunakan untuk pembayaran transaksi bisnis. Kemudian, Kingsford Huray Development Ltd mentransfer uang ke rekening yang dibuat pelaku sehingga mengakibatkan PT Huttons Asia mengalami kerugian sebesar Rp 32 miliar.
”Di dalam kejahatan siber itu selalu bicara dua hal, satu bicara kelalaian, dua bicara kelihaian. Apa itu kelalaian? Kelalaian adalah pemilik data ataupun korban biasanya lengah dengan hal seperti ini,” ujar Himawan.
Kemudian NCB Singapura menyurati Divisi Hubungan Internasional Polri dalam rangka penyelidikan kasus tersebut. Hal itu dituangkan dalam laporan polisi A/12/VIII/SPKT pada tanggal 18 Agustus 2023.
Modus operandi para pelaku adalah mengelabui korban dengan menggunakan e-mail palsu, yaitu mengganti posisi alfabet atau menambahkan beberapa satu atau beberapa alfabet pada alamat e-mail sehingga menyerupai aslinya.
Pada 25 April 2024 lalu, penyidik Polri menangkap lima tersangka yang terdiri dari 4 orang laki-laki dan 1 orang di Jakarta. Dua orang di antaranya adalah warga negara asing, yakni Nigeria, berinisial EJA dan CO alias O. Tiga lainnya adalah DM alias L, YC, dan I. Kelima tersangka sudah ditahan sejak 26 April 2024.
Seorang warga negara Nigeria bernama Henry Cidum turut ditangkap karena menggunakan tembakau gorilla. Polisi kemudian melimpahkan warga Nigeria itu ke kantor imigrasi karena tidak memiliki identitas.
Saat ini, penyidik Polri juga sedang memburu satu orang warga Nigeria berinisial S. Dia adalah orang yang diduga berperan melakukan peretasan dan berkomunikasi dengan perusahaan Kingsford Hooray Development Ltd.
Peran pelaku
Dalam melancarkan kejahatannya, kelima pelaku itu mempunyai peran masing-masing. Tersangka CO atau O memerintahkan L dan E untuk mencari orang dan membuat perusahaan dengan nama PT Hutton Asia International dan menjadi direktur perusahaan. Keduanya juga diminta membuat rekening perusahaan untuk menampung uang hasil kejahatan.
Tersangka DM alias L merekrut YC dan I untuk membentuk perusahaan palsu dengan nama PT Hutton Asia International. Tersangka DM alias L merupakan residivis Polda Metro Jaya atas perkara penipuan surat elektronik bisnis dan residivis Bareskrim Polri atas perkara uang palsu.
Tersangka YC berperan membuat akta pendirian PT Hutton Asia International untuk membuka rekening bank yang digunakan untuk menampung uang hasil kejahatan. Dia akan mendapatkan komisi sebesar 5 persen dari nilai uang yang akan masuk ke rekening palsu tersebut. Adapun tersangka I bersama YC membuat perusahaan fiktif yang mana I duduk sebagai direktur. Adapun tersangka I memperoleh komisi sebesar 10 persen dari uang yang masuk.
”Jadi, ini merupakan kejahatan sindikat karena modusnya adalah warga negara Nigeria ini memanfaatkan warga negara Indonesia yang ada di sini untuk membuat perusahaan palsu,” ujar Himawan.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 51 Ayat 1 juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan atau Pasal 378 dan Pasal 55 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Pasal 82 dan Pasal 85 UU Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana dan atau Pasal 3, Pasal 5 Ayat (1), Pasal 10 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dari penggeledahan, penyidik menyita barang bukti berupa uang Rp 32 miliar, empat buah paspor, 12 unit telepon genggam, unit laptop, 1 unit diska lepas, 5 buku tabungan, dan 20 buah kartu ATM. Penyidik telah memeriksa tujuh saksi dan lima orang ahli untuk memperkuat penyidikan perkara ini.
Penyidik Madya Bareskrim Polri Komisaris Besar Roland Ronaldy mengatakan, untuk memburu warga negara Nigeria berinisial S, pihaknya telah berkoordinasi dengan Interpol dan mengajukan red notice ke Interpol.
Belajar dari kasus ini, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri Brigjen (Pol) Trunoyudo Wisnu Andiko mengimbau masyarakat agar waspada jika menerima komunikasi melalui surat elektronik. Sebab, perbedaan satu huruf di surat elektronik memiliki dampak yang berbeda.