Pemalsuan Dokumen Jadi Celah Perdagangan Orang yang Belum Teratasi
Untuk mengatasi TPPO, celah pemalsuan dokumen untuk penerbitan paspor bagi calon pekerja harus ditutup. Hingga kini, pemalsuan dokumen itu tidak berhasil ditangani pemerintah.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengungkap bahwa sejak dibentuk pada 2008, Gugus Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang atau TPPO tidak pernah berjalan efektif. Pemalsuan dokumen untuk penerbitan paspor bagi calon pekerja migran yang menjadi celah TPPO masih sulit ditutup karena diduga ada keterlibatan oknum di pemerintahan.
Guna mengatasi perdagangan orang, pemerintah tak cukup hanya merestrukturisasi Gugus Tugas TPPO. Akan tetapi, pemerintah juga perlu mengevaluasi seluruh kinerja kementerian/lembaga terkait dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Ketua Tim Pencegahan dan Penanganan TPPO Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Anis Hidayah, Jumat (2/6/2023), mengungkapkan, sejak dibentuk pada 2008 lewat Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008, Gugus Tugas TPPO tidak berjalan secara efektif. ”Gugus tugas yang ada perlu dievaluasi secara menyeluruh. Hingga kini, kami tidak tahu apakah ada instrumen evaluasi di dalamnya. Jangan-jangan tidak ada,” ucapnya.
Untuk mengatasi TPPO, pemerintah melakukan restrukturisasi Satuan Tugas TPPO. Jika sebelumnya satgas itu dipimpin Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kini Ketua Harian Satgas TPPO dijabat oleh Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo. Artinya, dimensi penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan akan makin diefektifkan.
Berdasarkan data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), dalam tiga tahun terakhir, per hari rata-rata ada dua jenazah pekerja migran dipulangkan ke Tanah Air dan rata-rata empat pekerja migran pulang dalam kondisi sakit, depresi, hilang ingatan, atau cacat (Kompas, 2/6/2023).
Anis mengungkapkan, untuk mengatasi TPPO, celah pemalsuan dokumen untuk penerbitan paspor bagi calon pekerja harus ditutup. Hingga kini, pemalsuan dokumen itu tidak berhasil ditangani pemerintah meski kini telah diterapkan KTP elektronik yang menganut ketunggalan data kependudukan.
”Kami sering mendampingi keluarga korban meninggal kejahatan perdagangan orang yang memiliki data KTP dan paspor yang berbeda. Misalkan, korban pekerja migran ilegal dari wilayah Lembata, Nusa Tenggara Timur, ketika pulang ke Indonesia, kami temukan paspornya tak sesuai karena diterbitkam dari wilayah Kalimantan Barat. Ini banyak sekali ditemukan,” kata Anis saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Hal ini terjadi karena ada indikasi keterlibatan oknum atau orang dalam pada instansi pemerintahan, seperti dinas kependudukan dan pencatatan sipil ataupun keimigrasian. Praktik tersebut mengakibatkan calon pekerja migran mudah terperangkap dalam praktik perdagangan orang.
”Pemalsuan dokumen ini sudah secara struktural terjadi dari tingkat bawah. Ini bukan hanya pelanggaran administrasi, tetapi tindakan kriminal. Kami mengindikasikan keterlibatan oknum di dalam sindikat perdagangan orang tak hanya ada pada aparat penegakan hukum, melainkan ada pada unsur lembaga eksekutif atau pemerintah,” tuturnya.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menduga, pada tingkat pemerintah daerah terjadi kelemahan pengawasan dalam proses penempatan atau penyaluran calon pekerja migran Indonesia oleh perusahaan, yang akhirnya membuat calon pekerja migran mencari jalan pintas. Pemalsuan dokumen dan kemudahan dalam proses pembuatan paspor itu membuat calon pekerja migran tergoda dan terperangkap pada praktik perdagangan orang.
”Pemerintah daerah belum banyak menyediakan kelancaran bagi calon pekerja migran Indonesia dalam proses penempatan dan perlindungan calon pekerja migran sehingga mereka mencari jalan pintas, salah satunya paspor yang terbit dekat dengan alamat perusahaan penyaluran pekerja migran tersebut,” ucap Wahyu.
Menurut Ketua International Migrants Alliance Eni Lestari, perdagangan orang masih sulit diatasi juga karena tiga lembaga/kementerian yang mengatasi masalah itu, yakni BP2MI, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Ketenagakerjaan, belum saling bersinergi. Akibatnya, fungsi pengawasan dan pencegahan masih belum efektif dalam melindungi pekerja migran dari praktik perdagangan orang ataupun saat pekerja itu menjadi korban TPPO.
”Strategi yang dilakukan pemerintah masih belum melibatkan berbagai komponen masyarakat, terutama para pekerja migran yang mengetahui kondisi lapangan. Pemerintah perlu meninjau kembali program dan modus-modus kejahatan perdagangan orang. Dalam menyelesaikan masalah tersebut, dibutuhkan kerja sama baik dari pemerintah daerah, pemerintah pusat, hingga dunia internasional,” ujar Eni.