Kapal Vietnam Merusak Laut Natuna, Nelayan Lokal Kian Merana
Kapal Vietnam tak hanya menguras sumber daya ikan di Laut Natuna, tapi juga mengakibatkan kerusakan ekologis yang akut.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
Intrusi kapal Vietnam terus marak di Laut Natuna Utara. Tak hanya menguras ikan, alat tangkap jenis pukat harimau yang digunakan kapal asing itu juga merusak ekosistem dasar laut di perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.
Pada Sabtu (4/5/2024), kapal patroli Orca 02 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangkap dua kapal pukat Vietnam di Laut Natuna Utara. Sebanyak 15 awak kapal asing ditangkap dan 15 ton ikan ilegal disita.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP-KKP) Pung Nugroho Saksono, di Batam, mengatakan, penangkapan tersebut berawal dari aduan nelayan Natuna yang resah. Dua kapal Vietnam itu telah ditarik ke Pangkalan PSDKP Batam untuk disidik.
”Kapal ini sudah meresahkan nelayan. Penggunaan trawl (pukat harimau) merusak terumbu karang. Kerusakan ekologi yang terjadi jauh lebih besar daripada kerugian ekonomi,” kata Pung.
Ia menambahkan, penangkapan kapal ikan asing itu merupakan perintah Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono. Menteri KKP selalu menekankan bahwa kelestarian ekologis harus dijaga. Jangan sampai anak-cucu kita nanti tidak bisa lagi menikmati ikan yang melimpah di laut.
”Kenapa nelayan dari negara lain mencuri ikan di laut kita, sebab laut mereka sudah hancur dan tidak ada ikan karena ulah kapal-kapal menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti trawl itu,” ujar Pung.
Dua kapal Vietnam itu ditangkap karena menangkap ikan di 5 mil laut (9,26 kilometer) dari batas ZEE Indonesia dan Vietnam. Dua nakhoda kapal itu ditetapkan sebagai tersangka penangkapan ikan secara ilegal.
”Walaupun hanya 5 mil laut, buat kami sejengkal pun wilayah perbatasan harus dipertahankan. Ini bentuk kehadiran dan respons cepat kami melakukan penindakan di laut,” ucap Pung.
Meski demikian, Pung mengakui masih terdapat kendala untuk menggelar patroli rutin di Laut Natuna Utara. Salah satunya adalah kurangnya anggaran untuk membeli bahan bakar bagi armada kapal patroli.
”(Kendala) Itu kami siasati dengan berbagai cara. Salah satunya bekerja sama dengan instansi lain, seperti Badan Keamanan Laut RI, TNI Angkatan Laut, dan Polisi Air. Kami bahu-membahu, bergantian meronda, sehingga laut tidak kosong,” ujarnya.
Menurut Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri, maraknya intrusi kapal Vietnam membuat nelayan lokal menguras sumber daya ikan. Banyak nelayan setempat harus menyingkir ke perairan timur yang berbatasan dengan Malaysia.
Pada 16 April, delapan nelayan lokal ditangkap penjaga pantai atau Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) saat menangkap ikan di perairan perbatasan Pulau Serasan, Natuna, dan Negara Bagian Serawak, Malaysia. Menurut para nelayan itu, mereka masih berada di perairan Indonesia.
Salah satu pokok pikiran yang kami sampaikan adalah nelayan tidak boleh diperlakukan seperti seorang kriminal.
Dari titik koordinat yang diberikan nelayan, tiga perahu nelayan Natuna itu ditangkap Kapal Tun Fatimah milik APMM di koordinat sekitar 4 derajat lintang utara dan 110 bujur timur. Lokasi itu adalah wilayah abu-abu karena ada tumpang tindih klaim ZEE antara Indonesia dan Malaysia.
Kepala Badan Pengelola Perbatasan Daerah Kepri Doli Boniara, Rabu (1/5/2024), mengatakan, pemerintah provinsi amat prihatin terhadap peristiwa yang menimpa nelayan di Natuna. Usulan dari daerah terkait masalah itu telah diserahkan kepada Badan Pengelola Perbatasan Nasional.
”Salah satu pokok pikiran yang kami sampaikan adalah nelayan tidak boleh diperlakukan seperti seorang kriminal. Mereka hanya menangkap ikan untuk menyambung hidup,” kata Doli.
Para nelayan yang ditangkap aparat Malaysia tersebut terancam penjara 3-6 bulan dan denda Rp 1 miliar hingga Rp 3 miliar. Selain itu, kapal dan alat tangkap mereka juga bakal disita.
Konsulat Jenderal RI di Kuching, Malaysia, mencatat, sepanjang 2024 ada 14 nelayan Natuna yang ditangkap penjaga pantai atau APMM di perairan Serawak. Selain peristiwa 16 April, APMM juga menangkap dua nelayan pada 9 Februari dan empat orang pada 9 Maret.
Terkait penangkapan delapan nelayan Natuna oleh APMM pada 16 April, Pung menegaskan, PSDKP telah memverifikasi informasi lokasi penangkapan dari nelayan. Hasilnya, titik koordinat dari nelayan sesuai dengan data PSDKP. Nelayan Natuna ditangkap APMM saat masih berada di ZEE Indonesia.
”Kami sudah mengklarifikasi hal itu kepada APMM, dan mereka mengakui serta menghentikan penyidikan. Setelah ini, kalau para nelayan itu dilepas di laut, nanti akan kami jemput,” ucap Pung.