Anggaran Rp 30 Triliun, ”Stunting” Turun Hanya 0,1 Persen
Capaian penurunan angka ”stunting” tidak sebanding dengan anggaran yang sudah dikeluarkan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Hasil Survei Kesehatan Indonesia atau SKI menunjukkan prevalensi stunting atau tengkes di Indonesia tahun sebesar 21,5 persen. Artinya, sebanyak 22 dari 100 anak di Indonesia mengalami kondisi tengkes. Angka itu turun hanya 0,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya 2022, yakni 21,6 persen.
Stunting adalah gangguan pertumbuhan yang dialami anak akibat kekurangan gizi kronis serta infeksi berulang. Penanda tengkes adalah ukuran tinggi dan berat badan anak tidak sesuai dengan usai anak. Ada ukuran ideal yang menjadi patokannya di setiap rentang umur tertentu.
Dari 38 provinsi di Indonesia, sebanyak 17 provinsi bahkan mengalami kenaikan angka tengkes, antara lain DKI Jakarta, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Banten, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua Barat Daya, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
SKI juga mengungkapkan tingginya jumlah keluarga berisiko stunting, yang jika tidak ditangani, hal itu berpotensi menambah angka stunting pada tahun 2024 ini. Dari 72.542.202 jumlah keluarga di Indonesia, sebanyak 11.896.367 keluarga berisiko stunting.
Gambaran anak tengkes dengan mudah dijumpai di berbagi sudut di NTT sebagaimana temuan Kompas selama beberapa pekan terakhir hingga Rabu (1/5/2024). Angka stunting di NTT 37,9 atau 38 dari 100 anak balita di NTT dalam kondisi stunting.
Satu di antaranya Alex (2) yang ditemui di Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Berat badan anak balita itu kurang dari 10 kilogram dengan tinggi sekitar 55 sentimeter.
”Dia sering sakit-sakitan,” ujar Maya (20), ibu Alex. Keduanya dijumpai dalam mobil angkutan saat dalam perjalanan ke Kota Kupang.
Maya menuturkan, tidak ada penanganan khusus kepada anaknya. ”Di tempat kami jarang ada posyandu. Pernah ke puskesmas, ibu perawat bilang kasih anak makanan bergizi, tapi kami tidak punya uang (untuk beli makanan bergizi),” ujar perempuan, yang mengaku menjanda sejak Alex masih dalam kandungan.
Mereka menghabiskan banyak waktu untuk rapat, bukan lewat aksi nyata.
Kolbano merupakan salah satu daerah dengan banyak kasus stunting di Timor Tengah Selatan, kabupaten dengan tingkat stunting tertinggi di Indonesia. Prevalensi stunting di daerah itu pada tahun 2023 mencapai 50,1 persen atau dengan kata lain satu dari dua anak di sana masuk dalam kategori tengkes.
Anggaran untuk penanganan stunting secara nasional mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun. Untuk tahun 2023, sejumlah kementerian terlihat dalam penanganan stunting. Total anggaran yang dialokasikan mencapai Rp 30 triliun.
Sekadar membandingkan, anggaran penanganan stunting secara nasional sama-sama tingginya di beberapa tahun sebelumnya. Tahun 2019 anggaran sebesar Rp 29,3 triliun, tahun 2020 sebesar Rp 27,5 triliun, tahun 2021 sebesar Rp 35,3, triliun, dan tahun 2022 menjadi Rp 34,2 triliun.
Direktur Yayasan Pijar Timur Indonesia Vinsen Kia Beda menyatakan keprihatinannya atas hasil penanganan stunting yang tidak sebanding dengan anggaran yang sudah dikeluarkan. ”Jadi, uang puluhan triliun rupiah itu lari ke mana saja? Ini menjadi pertanyaan reflektif untuk semua pemangku kepentingan,” ujarnya.
Yayasan yang dipimpin Vinsen itu sering terlibat dalam kegiatan pemberdayaan dan penguatan kapasitas masyarakat terkait isu penanganan stunting. Ia sering menemukan, penanganan stunting yang dilakukan oknum pemerintah di daerah tidak mengenai esensi, dan lebih banyak kegiatan seremonial.
”Banyak yang melihat penanganan stunting ini sebagai proyek yang membawa keuntungan, bukan sebagai sebuah program pemberdayaan. Mereka menghabiskan banyak waktu untuk rapat, bukan lewat aksi nyata,” ujarnya.
Dari sisi masyarakat, Vinsen melihat masih banyak masyarakat yang seakan ”mensyukuri” predikat anak mereka yang masih stunting. Dengan begitu, mereka berharap masih mendapat bantuan dari pemerintah. Pemahaman seperti itu seharusnya diluruskan.
Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Provinsi NTT Dadi Ahmad Roswandi berharap agar penanganan stunting jangan lagi dilakukan parsial. Semua lembaga yang terlibat agar berkerja secara terintegrasi.
Penanganannya tidak hanya urusan makanan untuk anak balita, tetapi juga kesehatan ibu sejak merencanakan kehamilan. Selain itu, sanitasi, seperti jamban, juga sangat penting. Untuk di daerah, penanganan itu memerlukan keterlibatan banyak sektor, mulai dari dinas kesehatan hingga dinas pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
Dadi mendorong agar penanganan saat ini perlu diarahkan kepada keluarga berisiko stunting. ”Kita prioritaskan ke keluarga berisiko karena sangat berpotensi menambah angka stunting. Datanya ada, nama dan alamat juga lengkap, sehingga bisa lebih mudah diintervensi,” katanya.
Publik kini menunggu kerja penanganan stunting. Penurunan angka yang hanya 0,1 persen pada tahun 2023 adalah rapor buruk. Publik pun bertanya, anggaran puluhan triliun rupiah yang digelontorkan itu larinya ke mana?