Penonaktifan NIK Warga Jakarta di Luar Daerah Dinilai Tidak Adil
Perlu adanya pengecekan ulang dan tidak serta-merta menghapus NIK warga yang sudah tak lagi berdomisili di Jakarta.
Oleh
ATIEK ISHLAHIYAH AL HAMASY
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menonaktifkan nomor induk kependudukan bagi warga Ibu Kota yang tinggal di luar daerah dianggap tidak adil. Sebab, ada banyak kasus bahwa warga Jakarta tinggal terpaksa di daerah penyangga karena alasan ekonomi.
”Program penghapusan NIK terasa kurang adanya keadilan dan perhatian Pemerintah Provinsi DKI terhadap warga, khususnya bagi warga asli Betawi yang ngontrak di luar Jakarta karena harus bekerja di kota penyangga,” kata anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasrullah, Sabtu (20/4/2024).
Di sisi lain, banyak pula warga Jakarta yang terpaksa tinggal di kota penyangga, tetapi dalam kesehariannya justru beraktivitas dan bekerja di Jakarta. Hal ini lantaran biaya hidup di kota penyangga lebih murah.
Kondisi tersebut dinilai berbeda dengan warga Jakarta yang sudah menetap dan memiliki rumah di luar daerah, tetapi masih ber-KTP DKI.
Arus pendatang baru di Jakarta seusai Lebaran tahun ini juga mendapat sorotan Nasrullah. Sebab, gelombang kehadiran pendatang baru itu terjadi di tengah gencarnya Pemprov DKI Jakarta menyelenggarakan program tertib administrasi kependudukan.
Sementara itu, Pemprov DKI pun tak melakukan kontrol atau pembatasan bagi warga luar daerah untuk masuk atau tinggal di Jakarta. Akhirnya, para pendatang yang bukan merupakan warga asli yang akan menikmati fasilitas di DKI.
Untuk itu, Nasrullah meminta Pemprov DKI untuk teliti sebelum menghapus NIK warga. Menurut dia, perlu adanya pengecekan ulang dan tidak serta-merta menghapus NIK warga yang sudah tak lagi berdomisili di Jakarta.
”Ada ketidakadilan pada kebijakan penghapusan NIK warga yang tak lagi berdomisili di Jakarta, tetapi pendatang baru justru tak terkontrol,” ucapnya.
Adapun Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI memperkirakan sebanyak 92.432 NIK bakal dinonaktifkan mulai awal pekan depan. Sasaran pertamanya ialah warga yang telah meninggal dunia (81.119 NIK) dan warga dengan RT tempat domisili sebelumnya sudah tidak ada atau beralih fungsi menjadi fasilitas lain, seperti GOR dan stadion (11.374 NIK).
”Sementara yang dinonaktifkan itu untuk yang sudah meninggal dunia dan RT sudah tidak ada. Bisa saja warga yang RT-nya beralih fungsi kini bermukim di luar wilayah Jakarta sehingga termasuk yang menjadi sasaran penonaktifan NIK. Baru minggu ini kami ajukan ke Kemendagri dan mungkin minggu depan sudah bisa dilakukan penonaktifan,” kata Kepala Dinas Dukcapil DKI Budi Awaluddin.
Budi menjelaskan, setelah proses tahap awal tersebut selesai, pihaknya akan langsung mengajukan penonaktifan NIK warga Jakarta yang kini tinggal di luar daerah. Namun, ia belum dapat merinci berapa jumlah NIK yang akan dinonaktifkan dan kapan proses pengajuan akan dilakukan.
Di sisi lain, Budi mempersilakan warga yang terdampak penonaktifan NIK untuk mengajukan keberatan. Permohonan keberatan itu dapat diajukan warga ke posko pengaduan di kantor kelurahan domisili masing-masing.
”Mereka bisa langsung datang ke kelurahan bagian layanan dukcapil. Nanti ada petugas kami yang melakukan verifikasi dan validasi di lapangan,” ucapnya.
Budi mengatakan, verifikasi dan validasi dilakukan untuk memastikan pemohon masih tinggal serta beraktivitas di Jakarta atau tidak. Di sisi lain, Dukcapil akan langsung menyarankan warga mengurus perpindahan kependudukan apabila sudah tidak tinggal di Jakarta.
”Kalau memang yang bersangkutan terbukti masih tinggal di domisili awalnya atau sehari-hari masih di Jakarta, kami akan keluarkan dari program penataan,” ujar Budi.
Keberatan
Mengenai hal ini, warga Jakarta, Rafli Ainur Rofi (35), yang saat ini tinggal di Tangerang Selatan merasa keberatan. Ia terpaksa tinggal di Tangsel sejak empat tahun silam bersama istri dan anaknya karena harus bekerja di sana.
”Tapi, kami di Tangsel hanya sewa rumah kontrak. Orangtua saya di Jakarta juga sudah meninggal. Tapi, ada kemungkinan bakal balik ke Jakarta di rumah orangtua yang sekarang ditempati adik saya,” katanya.
Alasan lain dirinya masih bertahan untuk tidak mengubah status kependudukannya menjadi warga Tangsel juga karena ia tergiur dengan banyaknya fasilitas yang ditawarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Salah satunya ialah Kartu Jakarta Pintar.
Kalau memang yang bersangkutan terbukti masih tinggal di domisili awalnya atau sehari-hari masih di Jakarta, akan dikeluarkan dari program penataan.
Lain halnya dengan warga Jakarta, Namira (32). Setelah menikah, ia memutuskan untuk kontrak rumah bersama suaminya di Depok meskipun dalam kesehariannya bekerja di Jakarta.
”Setelah menikah, kami tidak ingin ikut orangtua, tetapi pekerjaan kami di Jakarta. Di sisi lain, suami saya orang Jawa Tengah. Alhasil, kami memutuskan untuk kontrak rumah terlebih dahulu di Depok. Meski begitu, ada keinginan untuk membeli rumah di kota penyangga Jakarta karena lebih murah,” ujar Namira.
Meski demikian, Nirmala tidak rela jika harus dihapus NIK-nya dari Jakarta. Selagi ia belum benar-benar memutuskan selamanya tinggal di Depok, ia masih menganggap dirinya warga Jakarta.
Diberitakan sebelumnya, Kepala Dinas Dukcapil Kota Tangerang Selatan Dedi Budiawan tidak menampik bahwa masih banyak warganya yang ber-KTP DKI Jakarta. Bahkan, ada warga yang telah menetap hampir 25 tahun di Tangerang Selatan, tetapi status kependudukannya masih warga DKI Jakarta.
Berdasarkan data dan hasil rapat koordinasi dinas dukcapil se-Jabodetabek, kata Dedi, setidaknya ada satu juta warga ber-KTP DKI Jakarta, tetapi tinggal di wilayah aglomerasi.
”Sejak rapat koordinasi dengan Disdukcapil Jabodetabek, kami pun bergerak dan menyosialisasikan warga untuk mengurus administrasi kependudukannya. Secara bertahap, kami urus data itu,” ujar Dedi (Kompas.id, 17/4/2024).
Berdasarkan data terbaru Disdukcapil Tangerang Selatan dari Januari hingga Maret 2024, ada sekitar 10.000 warga yang terlah mengurus administrasi kependudukan atau pindah datang. Rata-rata setiap bulan ada sekitar 1.500 keluarga atau 3.000 warga yang pindah datang ke Tangerang Selatan. Adapun pada periode 2022, disdukcapil mengurus pindah datang 12.495 warga. Lalu, pada 2023, ada 18.509 warga pindah datang.
Dari informasi, kata Dedi, alasan warga tidak atau belum mengurus administrasi kependudukan ialah kekhawatiran kehilangan fasilitas yang telah diberikan oleh Pemprov DKI Jakarta. Contohnya ialah jaminan pendidikan dan kesehatan, bantuan sosial, serta fasilitas bantuan lainnya yang dinilai tidak ada pada pemda di Bodetabek. Padahal, program atau fasilitas itu juga tersedia oleh pemda setempat untuk warganya.