Akui Perdagangan Budak, Presiden Portugal Usulkan Penghapusan Utang sebagai Ganti Rugi
Presiden Portugal mengakui dosa masa lalu semasa penjajahan dan mengusulkan penghapusan utang bekas negara jajahan.
LISABON, MINGGU — Portugal bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan selama perbudakan trans-Atlantik dan era penjajahan. Untuk itu, Presiden Portugal Marcelo Rebelo de Sousa menyarankan Portugal melakukan reparasi atau pemulihan. Caranya bisa dengan pengampunan atau menghapuskan utang negara-negara bekas jajahannya dan memberikan bantuan keuangan.
Namun, melalui pernyataan yang dikirimkan ke kantor berita Portugal, Lusa, Pemerintah Portugal menegaskan, tidak ada proses atau program aksi tertentu untuk membayar reparasi tersebut. Lisabon ingin ”memperdalam hubungan kerja sama, menghormati kebenaran sejarah, serta meningkatkan kerja sama yang intensif dan erat berdasarkan rekonsiliasi warga secara bersahabat”.
Usulan De Sousa tersebut memicu kritik keras dari partai-partai sayap kanan Portugal, termasuk partai yang masuk ke dalam koalisi pemerintahan, yakni Aliansi Demokratik, Partai Populer CDS, dan partai sayap kanan Chega.
Baca juga: Raja Belanda Minta Maaf atas Peran Negaranya dalam Perbudakan
De Sousa mengakui ”dosa” Portugal, Selasa (23/4/2024) lalu, dan mengusulkan perlunya reparasi itu pada Sabtu (27/4/2024). Pemimpin CDS-Partido Popular di parlemen, Paulo Nuncio, Kamis lalu, menyatakan partainya tidak merasa perlu meninjau kembali warisan kolonial dan biaya reparasi.
Pemimpin Chega Andre Ventura bahkan menuding De Sousa mengkhianati negara. Toh hubungan Portugal dengan negara-negara bekas jajahannya sudah sangat bagus. Kerja sama di berbagai bidang sudah terjalin baik, seperti pendidikan, bahasa, budaya, kesehatan, keuangan, anggaran, dan ekonomi.
Namun, De Sousa tetap berpandangan bahwa Portugal harus mempertanggungjawabkan semua yang terjadi semasa kekaisaran. ”Kita tidak bisa menyembunyikan masalah ini. Kita punya kewajiban untuk mencoba melakukan proses reparasi ini. Apakah ada tindakan yang tidak dihukum dan pelakunya tidak ditangkap? Apakah ada barang yang dijarah dan tidak dikembalikan? Kita bisa memperbaiki ini,” kata De Sousa.
Baca juga: Simbol Penindasan Suku Maori di Selandia Baru Disingkirkan
Proses reparasi atau pemulihan dimaksudkan untuk mengakui dan memperbaiki penyebab dan konsekuensi pelanggaran hak asasi manusia yang pernah dilakukan semasa penjajahan. Dari abad ke-15 hingga abad ke-19 sedikitnya terdapat 12,5 juta orang Afrika yang diculik dan diangkut paksa melintasi Atlantik dengan kapal-kapal dagang Eropa, termasuk Portugis, lalu dijual sebagai budak.
Pada waktu itu, mayoritas dari mereka dibawa ke Brasil dan Karibia untuk kerja paksa di perkebunan. Portugal memperdagangkan hampir 6 juta orang Afrika, lebih banyak dibandingkan negara-negara Eropa lainnya.
Namun, sampai sekarang Portugal belum pernah ”membayar dosa” masa lalunya ini. Bahkan, tidak banyak yang tahu Portugal pernah terlibat dalam perbudakan trans-Atlantik karena rekaman sejarah itu tidak diajarkan di sekolah.
Era kolonial bangsa Portugis berlangsung lebih dari lima abad. Beberapa wilayah yang pernah dijajah Portugis, antara lain, yakni Angola, Mozambik, Brasil, Cape Verde, Sao Tome dan Principe, dan Timor Timur. Dekolonisasi negara-negara Afrika dan berakhirnya kekaisaran Afrika hanya terjadi beberapa bulan setelah ”Revolusi Bunga” pada 25 April 1974. Revolusi ini menggulingkan kediktatoran fasis terpanjang di Eropa dan mengantarkan demokrasi.
Baca juga: Belanda Minta Maaf atas Perbudakan VOC
Gagasan untuk membayar reparasi atau melakukan perbaikan terhadap perbudakan trans-Atlantik mendapatkan momentum di seluruh dunia, termasuk upaya membentuk pengadilan khusus yang menangani masalah ini. Para aktivis mengatakan, reparasi dan kebijakan publik untuk melawan kesenjangan yang disebabkan oleh masa lalu Portugal, termasuk rasisme sistemik, sangat penting.
Permintaan maaf sebenarnya sudah pernah dilontarkan De Sousa tahun lalu, tetapi belum secara resmi kenegaraan. ”Mengakui kesalahan masa lalu dan bertanggung jawab atas hal itu jauh lebih penting ketimbang meminta maaf. Minta maaf saja itu mudah,” ujarnya.
Seruan soal reparasi
Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk HAM Volker Turk mendorong negara-negara untuk melakukan reparasi terhadap orang-orang keturunan Afrika. Ini sebagai bentuk keadilan atas kekejaman perbudakan. Namun, Turk tidak secara spesifik mengatakan, bagaimana reparasi itu harus dilakukan.
Dukungan terhadap pembentukan pengadilan internasional guna menangani reparasi perbudakan, apartheid, genosida, dan kolonialisme ini kian meningkat di antara negara-negara Afrika dan Karibia. Kemungkinan cara reparasi yang bisa dilakukan adalah dengan ganti rugi keuangan.
”Pemerintah harus menunjukkan komitmen tulus untuk segera memperbaiki kesalahan masa lalu,” kata Turk dalam pidato penutupan Forum Permanen PBB untuk Orang Keturunan Afrika (PFPAD) di Geneva, Swiss, Jumat (26/4/2024) lalu.
Gagasan membayar reparasi ini masih belum diterima sebagian besar negara bekas kolonial. Belanda sudah meminta maaf atas ”dosa masa lalunya” dalam perdagangan budak trans-Atlantik dan merencanakan dana sebesar 200 juta euro untuk membayarnya.
Inggris juga sudah mengakui perannya dalam perbudakan trans-Atlantik, tetapi tidak ada rencana untuk membayar ganti rugi. Padahal, Inggris dulu mengangkut sekitar 3,2 juta orang yang dijadikan budak.
Baca juga: Geliat Koloni Inggris Ingin Melepaskan Diri dari Monarki
PFPAD tidak memiliki wewenang untuk menegakkan hukum. Namun, bisa memberikan rekomendasi kepada badan-badan PBB lainnya. Forum ini kembali menyerukan perlunya membentuk pengadilan perbudakan, seruan yang pernah diutarakan juga pada tahun lalu.
Tidak ada komentar dari Perancis, Spanyol, dan Denmark terkait isu ini. Padahal, Uni Eropa sudah mengakui perbudakan trans-Atlantik merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. PBB mendukung reparasi yang juga digunakan untuk mengganti rugi warga AS keturunan Jepang yang diasingkan oleh AS selama Perang Dunia II dan kepada keluarga para penyintas Holocaust.
”Kami menyerukan kerangka keadilan reparatoris untuk membantu mengatasi generasi eksklusi dan diskriminasi,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, 25 Maret lalu.
Baca juga: Jerman Kembalikan Harta Karun Jarahan dari Afrika
Juru Bicara PBB untuk Kantor HAM PBB Liz Throssell menambahkan, tidak ada negara yang memiliki warisan perbudakan, perdagangan budak Afrika atau kolonialisme yang sepenuhnya bertanggung jawab atas kesalahan masa lalu. Mereka juga tidak memperhitungkan dampaknya terhadap kehidupan orang-orang keturunan Afrika saat ini.
Baca juga: Patung Columbus, Penemu Benua Amerika Itu Pun Tumbang
Para pendukung reparasi ini menyatakan, negara-negara dan lembaga-lembaga Barat terus mendapatkan keuntungan dari perbudakan. Mereka harus bertanggung jawab, apalagi karena warisan diskriminasi rasialnya masih ada. Menurut penelitian PBB, rasisme, pemiskinan, dan keterbelakangan ekonomi terkait dengan konsekuensi jangka panjang dari perbudakan trans-Atlantik dari Amerika Serikat hingga Eropa dan Benua Afrika.
”Warisan ini masih terus hidup. Orang kulit hitam tinggal di daerah miskin dan tercemar. Pola makan mereka buruk, apalagi pendidikannya. Ini karena rasisme struktural yang sudah tertanam dalam,” kata anggota parlemen Partai Buruh Grenada, Clive Lewis, yang juga keturunan budak di Negara Bagian Grenada, Karibia.
Sulit cari saksi
Pengadilan internasional yang diperjuangkan sejak tahun lalu itu bentuknya seperti pengadilan ad-hoc lainnya, yakni pengadilan Nuremberg terhadap penjahat perang Nazi setelah Perang Dunia II. Pengadilan ini direkomendasikan secara resmi pada Juni 2023 oleh Forum Permanen PBB untuk Masyarakat Keturunan Afrika.
Baca juga: Kerajaan Inggris Didesak Menebus ”Dosa Masa Lalu”
Pengadilan khusus PBB ini akan membantu menetapkan norma-norma hukum untuk klaim internasional dan sejarah yang kompleks. Para penentang reparasi ini berpendapat, negara dan institusi masa kini tidak seharusnya bertanggung jawab atas perbudakan yang terjadi di masa lalu.
Setelah persidangan di Nuremberg pada 1940-an, PBB meresmikan struktur pengadilan khusus, yakni pengadilan pidana yang dibentuk secara ad-hoc untuk menyelidiki kejahatan internasional yang serius, seperti kejahatan terhadap kemanusiaan.
PBB telah menetapkan dua hal: satu untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab atas genosida di Rwanda tahun 1994 dan satu lagi untuk mengadili kejahatan perang yang dilakukan di bekas Yugoslavia pada 1990-an. Pengadilan Rwanda dan Yugoslavia dibentuk Dewan Keamanan PBB, tetapi Pengadilan Kriminal Internasional, pengadilan internasional PBB lainnya, didirikan melalui resolusi Majelis Umum yang merupakan jalur yang memungkinkan dibentuknya pengadilan reparasi perbudakan.
Baca juga: Pesona Bumi Afrika Memanggil Kembali Warga Afro-Amerika
Sekretaris Jenderal Forum Hakim dan Ahli Hukum Afrika Martin Okumu-Masiga mengakui bahwa pengadilan internasional ini tidak akan mudah. Kendalanya bukan hanya soal mendapatkan kerja sama dengan negara-negara yang terlibat perdagangan budak. Negara-negara itu, antara lain, Portugal, Inggris, Perancis, Spanyol, Belanda, dan Denmark. Namun, juga kompleksitas hukum dalam menemukan pihak-pihak yang bertanggung jawab serta menentukan solusinya.
”Ini sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Catatan sejarah dan bukti-buktinya juga susah diakses bahkan diverifikasi,” ujar Okumu-Masiga.
Berbeda dengan persidangan di Nuremberg, tidak ada seorang pun yang terlibat langsung dalam perbudakan trans-Atlantik yang masih hidup.
Okumu-Masiga mengatakan, negara-negara yang terkena dampak, keturunan orang-orang yang diperbudak, dan kelompok masyarakat adat bisa menjadi penggugat potensial. Sementara pihak yang tergugat bisa mencakup negara-negara dan lembaga-lembaga yang memiliki hubungan historis dengan perbudakan atau bahkan keturunan para budak. (REUTERS)