Dugaan Pengubahan Putusan, Pengadu Curigai Keterlibatan Dua Hakim Konstitusi
Majelis Kehormatan MK masih pada tahapan meminta keterangan awal dalam memeriksa laporan dugaan pengubahan substansi putusan MK. Majelis akan mendalami kecurigaan yang disampaikan pengadu.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Setelah dilantik pada Kamis (9/2/2023), Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi langsung meminta keterangan sejumlah pihak terkait dalam kasus dugaan pelanggaran etik pengubahan substansi putusan perkara Nomor 103/PUU-XX/2022 tentang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK. Pihak pengadu, yakni advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, dalam keterangannya mencurigai keterlibatan dua hakim konstitusi dalam perkara itu.
Zico diperiksa selama sekitar satu jam oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK). Selain Zico, majelis meminta keterangan dari panitera pengganti MK, Muhidin. Pemeriksaan keduanya berlangsung tertutup. Majelis Kehormatan MK, seperti diberitakan sebelumnya, dipimpin oleh I Dewa Gede Palguna dengan didampingi dua anggota, yakni hakim konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Soedjito.
Seusai diperiksa, Zico yang juga merupakan pemohon perkara Nomor 103/PUU-XX/2022 menuturkan, dirinya membawa dua bukti yang diserahkan kepada Majelis Kehormatan MK.
Dua bukti itu adalah kronologi waktu saat salinan putusan diberikan kepada pemohon. Berdasarkan bukti pesan singkat yang dia terima, putusan dibacakan pada 23 November 2022 pada pukul 16.03. Kemudian, salinan yang diduga sudah diubah substansi putusannya diterima pada pukul 16.52. Artinya, dalam jangka waktu 49 menit sudah terjadi perubahan substansi putusan.
”Kami sampaikan ke MK (Majelis Kehormatan) MK, pelakunya bukan satu orang. Karena tidak mungkin dalam waktu yang sangat singkat itu, kurang dari 49 menit dia bisa melakukan perubahan dengan sangat cepat. Ada dua file putusan yang diubah. Saya mencurigai dua nama hakim,” ujarnya kepada wartawan.
Kedua hakim konstitusi dicurigai karena mereka lebih memiliki akses dibandingkan dengan hakim-hakim konstitusi lain untuk mengubah putusan dan risalah persidangan.
”Akses yang saya maksud di sini adalah dia kenal dengan pegawai dibandingkan dengan hakim-hakim lainnya. Saya tidak bisa sebut lebih dari itu. Tetapi, dia adalah orang yang dekat dengan pegawai sehingga bisa dengan waktu cepat memerintahkan pegawai,” ucapnya.
Di antara kedua hakim, diduga ada yang menjadi auktor intelektualis, dan ada yang mengoordinasikan. Salah satunya memberi tahu supaya isi putusan diubah, sedangkan satu hakim lainnya berperan mengubah putusan.
Kecurigaan itu, menurut Zico, telah disampaikan juga ke majelis saat diperiksa.
Selain itu, ia terus berkoordinasi dengan kepolisian terkait dengan laporan dugaan pidana dalam pengubahan substansi putusan MK tersebut. Beberapa hari sebelumnya, ia melaporkan dugaan pelanggaran Pasal 263 Ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terkait dengan pemalsuan surat/dokumen dan/atau menggunakan surat/dokumen palsu.
Ia mengaku sudah mendapatkan undangan untuk memberikan keterangan tambahan di Subdirektorat Keamanan Negara Polda Metro Jaya. ”Karena itu, hanya kecurigaan, tetap harus ada pemeriksaan nanti dari polisi ataupun MK (Majelis Kehormatan) MK,” ucap Zico.
Kasus ini bermula ketika Zico menemukan adanya perubahan frasa dalam salinan putusan 103/2022 dan risalah persidangan yang berbeda dengan putusan yang dibacakan di ruang sidang pada 23 November 2022. Frasa ”Dengan demikian,...” di salah satu bagian pertimbangan putusan 103 diubah menjadi ”Ke depan,...”.
Perubahan frasa itu membuat subtansi putusan itu berubah. Dengan frasa ”Dengan demikian,....” artinya pemberhentian hakim Aswanto tidak sah dan harus dianggap inkonstitusional. Namun, dengan perubahan frasa menjadi ”Ke depan....” (pemberhentian) menjadi sah. Ini dinilai sangat merugikan, baik bagi hakim konstitusi Aswanto maupun praktik hukum ketatanegaraan.
Proses pemeriksaan
Terkait dengan kecurigaan keterlibatan dua hakim konstitusi tersebut, Juru Bicara MK Fajar Laksono menyampaikan, MK tidak bisa berkomentar mengenai proses apa pun yang sedang ditangani di Majelis Kehormatan MK.
MK menyerahkan sepenuhnya proses pengusutan dugaan pelanggaran etik itu kepada majelis. Dia juga meminta masyarakat untuk mengikuti dan mengawasi semua proses yang berjalan di majelis.
Sementara itu, Ketua Majelis Kehormatan MK I Dewa Gede Palguna menyampaikan, masih terlalu prematur untuk membahas mengenai materi pemeriksaan. Sebab, saat ini majelis masih dalam tahapan meminta keterangan awal. Yang jelas, majelis akan mendalami keterangan dari pengadu.
Selain Zico dan Muhidin, hakim konstitusi lainnya, kecuali Enny, akan dimintai keterangan oleh majelis. Khusus Enny, menurut Palguna, tak perlu diperiksa khusus karena ia berada dalam majelis sehingga jika memang ada yang perlu diklarifikasi oleh Enny, ia bisa langsung menjawabnya.
Majelis juga akan meminta sejumlah dokumen, seperti prosedur standar operasi (SOP), surat dari kesekjenan, hingga rekaman pada saat pengucapan putusan di MK.
Setelah semua lengkap, majelis akan memutuskan apakah laporan akan dilanjutkan ke tahap pemeriksaan atau tidak. Jika berlanjut ke pemeriksaan, laporan pengaduan akan diregistrasi.
Sesuai dengan Pasal 3 Peraturan MK No 1/2023, dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim diperiksa dan diputus paling lama 30 hari sejak laporan diregistrasi. Jika pemeriksaan belum selesai, dapat diperpanjang sampai paling lama 15 hari kerja berikutnya. ”Paling lambat tiga hari setelah registrasi, kami sudah harus menentukan hari sidang untuk pemeriksaan pendahuluan,” kata Palguna.
Jika nantinya dugaan pelanggaran etik oleh hakim konstitusi terbukti, hakim dapat disanksi dengan hukuman paling berat berupa pemberhentian secara tidak hormat (PTDH). Adapun jikae ada pegawai MK yang statusnya aparatur negeri sipil (ASN) terbukti terlibat, sanksinya diserahkan kepada pejabat pembina kepegawaian (PPK) di MK.
Majelis Kehormatan MK berkomitmen memproses dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi itu secara cepat sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan MK.
Majelis juga berjanji memproses laporan dugaan pelanggaran etik itu secara transparan. Meski demikian, khusus selama persidangan, digelar tertutup karena terganjal aturan yang memang mensyaratkan sidang etik tertutup.
”Dengan persidangan secara tertutup, orang lebih leluasa memberikan keterangan. Ini bisa membantu kami menelusuri ke mana sebenarnya jejak yang harus dituju, kami lacak ke mana arahnya,” ucapnya.