MAKI Ajukan Praperadilan Penghentian Penyidikan BLBI
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia mendaftarkan gugatan praperadilan terkait SP3 dalam perkara BLBI yang diterbitkan KPK. Gugatan ini diajukan karena penerbitan SP3 itu dinilai tidak sah.
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat Anti Korupsi Indonesia atau MAKI telah mendaftarkan gugatan praperadilan terkait surat perintah penghentian penyidikan atau SP3 dalam perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Gugatan ini diajukan karena penerbitan SP3 itu dinilai tidak sah.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman, Sabtu (1/5/2021), mengatakan, MAKI sudah mendaftarkan gugatan praperadilan tidak sahnya SP3 terhadap Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih, pada Jumat (30/4) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam hal ini, Sjamsul merupakan pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dalam perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
MAKI sudah mendaftarkan gugatan praperadilan tidak sahnya SP3 terhadap Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih, pada Jumat (30/4), di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Boyamin mengatakan, alasan KPK menerbitkan SP3 dinilai tidak sah dan harus dinyatakan batal demi hukum. Menurut dia, orang-orang yang menjadi tersangka dalam kasus BLBI dikenai Pasal 55 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tentang penyertaan, sehingga semua tersangka dapat dianggap sebagai pelaku utama.
”Dalam hal ini termohon (KPK) selaku penyidik tidak berhak menyatakan tersangka Sjamsul dan Itjih hanya pelaku peserta,” kata Boyamin.
Baca Juga: SP3 Kasus BLBI oleh KPK Dinilai Melawan Hukum
Selain itu, Boyamin mengatakan, di Indonesia berlaku sistem hukum kontinental warisan Hindia Belanda, yakni sebuah putusan hakim tidak dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk pelaku. Oleh karena itu, perkara Sjamsul dan Itjih tetap harus diajukan ke persidangan majelis hakim untuk mendapat putusan tersendiri dari majelis hakim yang menyidangkannya.
Boyamin menyampaikan, dalam berbagai kesempatan KPK memberikan alasan diterbitkannya SP3 untuk Sjamsul karena tak adanya unsur penyelenggara negara yang terlibat. Penilaian tak adanya unsur penyelenggara negara karena sebelumnya Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai terdakwa kasus BLBI dari unsur penyelenggara negara telah divonis bebas oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi pada 2019.
Adapun di pengadilan tingkat pertama, Syafrudin didakwa bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Dorodjatun Koentjoro-Jakti.
Boyamin kemudian menegaskan, dalam proses penyelidikan perkara BLBI itu pun terdapat dugaan suap dan atau gratifikasi terhadap penyelenggara negara lainnya, yaitu LS. Hal tersebut berdasarkan bukti pengakuan dari LY yang telah dilakukan pencekalan oleh KPK.
”Termohon telah sengaja menyembunyikan fakta dan data adanya penyelenggara negara lainnya yang diduga turut serta atau bersama-sama melakukan korupsi perkara tersebut. Dengan demikian, SP3 adalah tidak sah dikarenakan masih terdapat penyelenggara negara lainnya, yaitu LS,” kata Boyamin.
Baca Juga: Kisah Dua Dekade Sjamsul Nursalim
Hargai
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, KPK menghargai upaya praperadilan yang diajukan masyarakat dan berharap ada terobosan hukum baru. Sebab, dari awal pun KPK meyakini perkara BLBI BDNI ini sudah cukup bukti. Dakwaan jaksa KPK pun terbukti menurut hukum pada tingkat pengadilan negeri dan banding di Pengadilan Tinggi Jakarta.
”Kita ikuti proses praperadilan dimaksud. Kami tetap berkomitmen melakukan kerja yang terbaik sesuai aturan hukum yang berlaku dalam penuntasan agenda pemberantasan korupsi,” kata Ali.
Lebih lanjut, Ali menyampaikan, walaupun sudah diatur dalam undang-undang, KPK tidak mudah dalam memutuskan penghentian penyidikan. Ia berharap polemik mengenai hal ini dihentikan.
Menurut dia, dalam perkara BLBI BDNI, opsi SP3 yang diambil KPK bukan berdasarkan tindak pidana atau tidak selesai penyidikan dan tidak cukup bukti, atau karena tersangkanya masuk daftar pencarian orang yang tidak bisa ditemukan, melainkan karena adanya putusan akhir dari MA. Dalam sejarah pun, baru pertama kali KPK melakukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) terkait perkara BLBI meskipun beberapa bulan kemudian ditolak MA.
Alhasil, lanjutnya, syarat unsur adanya perbuatan pidana penyelenggara negara tidak terpenuhi berdasarkan putusan akhir MA tersebut.
Baca Juga: Hentikan Penyidikan Kasus BLBI, KPK Dinilai Mulai Dilemahkan
Sjamsul dan Itjih merupakan orang yang turut serta melakukan perbuatan bersama-sama dalam satu rangkaian peristiwa dan perbuatan yang sama dengan Syafruddin selaku penyelenggara negara. Hal yang membedakan hanya terletak pada peran dari ketiga orang itu dalam mewujudkan perbuatan tersebut.
Adapun terkait peluang gugatan perdata sebagaimana ketentuan Pasal 32 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK tidak memiliki kewenangan dan kedudukan hukum sebagai penggugat melalui jalur perdata. Meskipun demikian, KPK mendukung dan akan memberikan data yang dimiliki terkait upaya yang akan dilakukan oleh satuan tugas penanganan hak tagih negara dana BLBI.
Baca Juga: Buktikan Keseriusan Satgas BLBI
Bukti baru
Saat ditanya apakah ada potensi untuk membuka kembali perkara dugaan korupsi BLBI, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Jumat (30/4), mengatakan, hal itu memungkinkan apabila KPK menemukan bukti baru.
Menurut Mahfud, pada saat dirinya datang ke KPK untuk koordinasi penagihan utang perdata BLBI, pihak KPK mengatakan mereka hanya mengurus satu perkara yang melibatkan Syafruddin dalam perkara penerbitan surat keterangan lunas (SKL) untuk pemegang saham pengendali BDNI, Sjamsul Nursalim. Atas perbuatannya itu, awalnya Syafruddin dianggap merugikan negara Rp 4,58 triliun.
Baca Juga: Mahfud Minta Dokumen Kasus BLBI ke KPK
Dari beberapa SKL yang diterbitkan, kata Mahfud, hanya satu yang dianggap kasus korupsi, yaitu SKL untuk Sjamsul Nursalim. Saat itu, ditemukan bahwa dari utang Rp 4,58 triliun, aset yang dijaminkan BDNI kepada BPPN tidak sesuai dengan nilai utangnya. Kemudian, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit perkara tersebut, diduga ada penyelewengan yang menyebabkan kerugian negara. Kasus itu kemudian diperiksa di KPK hingga disidangkan.
Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Syafruddin divonis penjara 13 tahun dan denda Rp 1 miliar. Kemudian, di tingkat pengadilan tinggi vonis dikuatkan menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Kemudian, di tingkat kasasi, MA menyatakan mantan kepala BPPN itu tidak terbukti melakukan tindak pidana sehingga dia dibebaskan dari segela tuntutan hukum. Atas putusan itu, KPK mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali. Namun, MA menolak pengajuan PK tersebut karena dianggap tak memenuhi syarat formil.
”Saat kemarin saya datang ke KPK, Kamis (29/4/2021), pihak KPK menyatakan mereka hanya mengurus satu perkara yang melibatkan Sjamsul Nursalim dan Syafruddin Arsyad Temenggung. Untuk perkara lain, mereka bilang tidak tahu benar atau salah? Saya bilang itu tugas anda (untuk menyelidiki dugaan korupsi lainnya). Kalau ditemukan lagi (perkara korupsi baru), silakan,” kata Mahfud.
Mahfud mengatakan, meskipun pemerintah telah memutuskan menagih utang perdata para obligor dalam kasus BLBI, hal itu tidak menutupi kemungkinan penyelidikan di ranah pidana. Pihaknya tak bisa menghalang-halangi pengusutan korupsi oleh KPK. Sebab, jika menghalangi, dirinya termasuk ikut korupsi karena membiarkan dan memperkaya orang lain.
Dia menegaskan, penyelesaian BLBI secara perdata bukan berarti menutup akses pengusutan secara pidana. Bahkan, apabila dalam perkembangannya Satgas Hak Tagih BLBI menemukan ada jaminan dari obligor yang salah, bisa diserahkan ke KPK untuk diusut lebih lanjut.
Kalau KPK temukan perkara korupsinya (di kasus BLBI), silakan. Namun, KPK kan sudah 20 tahun mengurus hanya satu yang ketemu dan akhirnya diputus oleh MA bahwa itu adalah perkara perdata.
”Kalau KPK temukan perkara korupsinya (di kasus BLBI), silakan. Namun, KPK kan sudah 20 tahun mengurus hanya satu yang ketemu dan akhirnya diputus oleh MA bahwa itu adalah perkara perdata,” kata Mahfud.
Mahfud menambahkan, pada 2022, batas waktu pengusutan perkara pidana itu juga akan habis atau kedaluwarsa. Itulah alasannya mengapa pemerintah masuk melalui jalur perdata. Salah satunya adalah untuk mengembalikan aset negara.
Menurut Mahfud, perkara BLBI telah jelas menjadi ranah perdata karena berdasarkan putusan MA. Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa ada kerugian negara dalam kasus tersebut, tetapi ada di ranah perdata. Berdasar putusan itu, tidak tepat jika dikatakan kasus BLBI dipindahkan dari ranah pidana ke perdata. Dia menegaskan bahwa pemerintah hanya mengikuti putusan dari MA.
”MA menyatakan ada kerugian negara, tetapi ini perdata yang bisa ditagihkan. Ya, kita tagih dulu, jangan sampai obligor kabur. Karena, dari data yang ada, sekarang jumlah dan nilai asetnya sudah mulai berubah,” kata Mahfud.
Adapun setelah dihitung ulang di Kementerian Keuangan, total aset utang perdata para obligor kepada pemerintah itu senilai lebih dari Rp 110 triliun.
Baca Juga: Usut Tuntas Perkara yang Menggantung