Kongres Ulama Perempuan Indonesia atau KUPI II di Semarang dan Jepara, 23-26 November 2022, menguatkan gerakan dan melahirkan lima sikap keagamaan berdasarkan pengalaman biologis dan sosiologis perempuan.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·5 menit baca
Dari Gorontalo, Nur Hikmah maju ke depan saat musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia atau KUPI kedua di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara. Musyawarah membahas khitan pada perempuan. Dia, menjelaskan semua bayi perempuan di sana harus menjalani khitan tanpa memandang kelas sosial.
Risiko bagi orangtua yang menolak akan berat. Selain seluruh keluarga besar akan terus menekan, anak perempuan yang tidak dikhitan boleh jadi akan menerima stigma sebagai bukan perempuan baik-baik. Orang yang melakukan khitan adalah dukun atau tenaga kesehatan. Si ibu yang memegang bayinya tidak tahu apa yang dilakukan dukun karena tubuh bayi dari bawah pusar ke bawah ditutup kain dan kepala dukun masuk di bawahnya.
Bersikap terhadap pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan (P2GP), umum dikenal sebagai khitan perempuan, tanpa alasan medis adalah satu dari lima sikap yang dimusyawarahkan dalam KUPI II. Kongres berlangsung di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang, Jawa Tengah, dan Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, 23-26 November 2022.
Sikap keagamaan KUPI II mengharamkan pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan. Juga, mengharamkan pemaksaan perkawinan pada perempuan, termasuk anak, dan karenanya wajib melindungi perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan. KUPI juga mewajibkan perlindungan bagi jiwa perempuan korban perkosaan pada usia berapa pun kehamilan dengan cara melanjutkan atau menghentikan kehamilan sesuai pertimbangan kedaruratan medis. KUPI juga mengharamkan perusakan lingkungan akibat sampah oleh pelaku langsung dan penyebab tidak langsung.
Sementara hukum menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama adalah wajib. Karena itu haram hukumnya meminggirkan perempuan yang berdampak pada tidak terjaganya NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama.
Aktual
Sikap keagamaan KUPI II menjawab persoalan aktual. Khitan perempuan, misalnya, dari pandangan peserta musyawarah terjadi di hampir semua tempat di Indonesia. Di Semarang, contohnya, ada tempat yang memasang papan nama menawarkan jasa sunat perempuan.
Meskipun beberapa orang menyebut tidak terjadi pemotongan genitalia, tetapi tujuan khitan adalah mengendalikan perempuan dan menyenangkan suami, tetapi berkesalingan dengan istri. Padahal banyak bukti medis menunjukkan kerugian bagi kesehatan fisik dan jiwa perempuan akibat khitan.
Respons KUPI menanggapi ancaman terhadap negara dari kekerasan atas nama agama merujuk pada munculnya perempuan sebagai pelaku teror di lapangan. Dalam diskursus aksi teror oleh perempuan masih muncul perbedaan pandangan apakah perempuan bertindak atas kesadaran diri atau karena pengaruh orang lain.
Lies Marcoes dari Rumah Kita Bersama telah melakukan kajian mengenai perempuan dan tindakan teror. Dia meyakini perempuan memiliki agensi untuk melakukan aksi kekerasan dengan berbagai penyebab.
Noor Huda Ismail, peneliti dan pekerja lapangan untuk isu perdamaian dan rehabilitasi mantan teroris, dalam diskusi terfokus mengenai isu kekerasan berbasis agama mengingatkan, negara kerap luput melihat penyebab seseorang menjadi pelaku kekerasan. Huda mencontohkan seseorang yang menjadi anggota Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) karena hubungan yang tidak harmonis dengan ayahnya.
Dalam menemukan jati diri, dia pernah menjadi anggota kelompok punk, bermain band, bergabung dengan sebuah partai politik Islam, lalu belakangan terpapar ideologi ISIS.
Dalam konteks ini, perempuan juga rentan terpapar. Temuan Huda, perempuan pekerja migran di negara non-Muslim yang tidak memiliki tempat bertanya dan berdiskusi mengenai masalah sehari-hari, mencari informasi melalui media sosial. Di sana mereka berisiko bertemu dengan pemikiran yang membolehkan kekerasan atas nama agama.
Dalam hal pemaksaan perkawinan, termasuk oleh orangtua pada anak, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) adalah tindak pidana. Dalam praktik, perkawinan usia anak, di bawah 19 tahun, masih terjadi secara legal dengan dispensasi ataupun secara ilegal. Sikap keagamaan KUPI menjadi jembatan kultural ketika mengharamkan perkawinan pada usia anak.
Gerakan
Penyelenggara KUPI II adalah Rahima, Fahmina, Alimat, AMAN Indonesia dan Gusdurian, memperlihatkan gerakan ini ingin inklusif, mengajak berbagai komunitas berperan.
KUPI lahir tahun 2017 melalui kongres di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy pimpinan Nyai Masriyah Amva di Cirebon., Jawa Barat KUPI I menegaskan keberadaan dan otoritas perempuan ulama. Lahir tiga fatwa, yaitu mengharamkan kekerasan seksual, perkawinan usia anak, dan perusakan lingkungan.
Dalam lima tahun KUPI tumbuh menjadi gerakan di komunitas. KUPI II tidak menampilkan tokoh, semua pendapat didengar, dicatat sebagai masukan penyusunan fatwa dan rekomendasi.
Seperti ditegaskan anggota Majelis Musyawarah KUPI II Nur Rofiah, KUPI berupaya mengubah paradigma metodologi fatwa. Fatwa KUPI lahir berdasarkan pengalaman biologis dan sosiologis perempuan. Dasarnya adalah Alquran dan hadist sahih tidak membedakan perempuan dan laki-laki kecuali keimanannya kepada Tuhan. Tafsir keagamaanlah yang banyak menempatkan perempuan tidak setara dengan laki-laki.
Pilihan menjadi gerakan menyokong keberhasilan KUPI dalam ikut memengaruhi kebijakan publik, antara lain, menaikkan batas usia pernikahan menjadi 19 tahun serta pengesahan UU TPKS. Sebagai gerakan ide-ide KUPI dapat diterima semua kalangan.
Peran pesantren, majelis taklim, organisasi mayarakat sipil lainnya sangat penting dalam menyebarkan paradigma kesalingan antara laki-laki dan perempuan.
Ketua Majelis Musyawarah KUPI II Badriyah Fayumi menyebut, KUPI sebagai Gerakan kultural akan terus bekerja bersama komunitas. Menangkap isu-isu aktual yang menjadi persoalan perempuan, komunitas, dan negara serta meresponsnya dengan paradigma keadilan jender yang melihat perempuan sebagai manusia utuh secara biologis, intelektual, dan spiritual.
Satu hal yang perlu dicatat adalah gerakan di komunitas ini boleh jadi akan mendapat kontestasi dari yang memiliki pandangan berbeda. Kontestasi seperti ini adalah hal yang harus dapat diperkirakan di negara demokrasi. Bila KUPI II ingin berhasil, gerakan di komunitas harus dapat berjalan konsisten, terus menerus, dan selalu merespons isu aktual perempuan, masyarakat dan negara.