Prostitusi Anak di Balik Kamar-kamar Indekos
Indekos di Bekasi menjadi lokasi prostitusi melibatkan anak. Kasus serupa sebelumnya ada di Jakarta dan wilayah lain.
Praktik prostitusi berbalut bisnis indekos terus ada. Setelah sebelumnya terbongkar di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara dan Apartemen Kalibata, Jakarta Selatan, kini ditemukan di Kampung Kranggan, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi, Jawa Barat. Pun sama dengan kasus-kasus sebelumnya, sebagian pekerja seks komersial di Kranggan masih anak-anak. Mereka berasal dari Jakarta juga daerah lain di Jawa Barat. Praktik itu disebut telah ada sejak 2015.
Praktik ini terendus ketika Polres Metro Bekasi Kota menangkap muncikari D (17) dan OM alias AT. AT seorang perempuan yang juga diduga muncikari utama dan telah memasarkan para pekerja seks komersial (PSK) anak pada Jumat (12/1/2024) di salah satu kompleks indekos di Kranggan.
Kasus ini terungkap ketika salah satu korban anak berinisial AJ (15) melaporkan kejadian itu pada Komisi Nasional Perlindungan Anak setelah melarikan diri dari jeratan sang muncikari. Dalam laporannya, AJ mengungkapkan selama dua minggu dirinya dipaksa melayani lima pelanggan dengan bayaran Rp 150.000-Rp 300.000 per orang untuk sekali kencan.
Baca juga: Darurat Prostitusi Anak
Di indekos tempat A dipekerjakan paksa tepatnya di Jalan Cempaka, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi. Pada, Senin (15/1/2024), di lokasi yang sama ada beberapa perempuan yang tampak masih berusia muda keluar dari kamarnya dengan dandanan mencolok berbalut busana seksi.
Mereka keluar untuk membeli makanan dan masuk lagi ke kamar. Di lokasi yang sama, beberapa pelajar berseragam sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) berlalu lalang di area indekos untuk membeli sesuatu. Ketika keluar dari kawasan indekos, mereka membawa sebuah botol yang dibungkus plastik. Diduga, air dalam botol adalah minuman keras.
Maulana (20), salah satu penghuni, menuturkan ada 28 kamar yang ada di tempat kos ini. Sebagian besar penghuni kos adalah para pasangan yang memang belum resmi. ”Ada pasangan yang sudah nikah siri tinggal di sini,” katanya.
Namun, Maulana mengaku tidak banyak mengenal penghuni kos karena kebanyakan penghuni tidak tinggal lama di sana. ”Dalam satu tahun pasti ada saja yang pindah dan berganti orang,” kata pria yang sudah dua tahun tinggal di kos bertarif Rp 700.000 per bulan itu.
SK, warga sekitar yang enggan disebut nama lengkapnya, ikut bersuara bahwa indekos itu tidak hanya dijadikan tempat tinggal, tetapi menjadi ruang praktik prostitusi. Aktivitas itu kian terlihat pada sore menjelang malam.
Laki-laki muda hingga paruh baya masuk dan keluar dari indekos entah untuk apa tujuannya. ”Ya, semua orang di sekitar indekos tahu kalau mereka datang ke sana untuk berkencan,” kata SK yang sudah 20 tahun tinggal di area Kampung Kranggan.
SK menuturkan, di sepanjang Jalan Cempaka ada puluhan rumah kos yang juga dijadikan lahan prostitusi. Keberadaannya melengkapi puluhan kafe dan tempat karaoke yang juga menjamur di daerah itu. Tak ayal nama Kampung Kranggan pun tercemar akibat beragam praktik prostitusi itu.
Ironisnya, beberapa PSK yang dipekerjakan di kos-kosan itu masih berusia anak-anak. Mereka didatangkan dari berbagai daerah, yang paling banyak berasal dari Bogor dan Bandung, Jawa Barat. ”Bahkan, di antara mereka ada yang masih berusia 12 tahun,” katanya.
Bahkan, sesekali mereka didatangkan dengan menggunakan minibus dan segera masuk ke indekos.
Baca juga: Anak Dijual Melalui Media Sosial
Ia teringat sekitar satu tahun lalu ada seorang anak yang berusaha kabur dari indekos itu karena tidak kuat menerima tekanan. ”Ia bersembunyi di balik semak-semak untuk bisa lolos, tetapi akhirnya tertangkap dan harus kembali melayani tamu yang datang,” kata SK.
Korban anak sangat sulit meloloskan diri dari jeratan pemilik indekos karena mereka dijaga ketat oleh para muncikari dan pasukan pengamanan yang berjaga di sekitar indekos. ”Untuk makan saja, mereka dikawal tidak boleh keluar dari area kos-kosan,” katanya.
Praktik prostitusi di balik bisnis indekos diperkuat oleh pengungkapan Polres Metro Bekasi Kota. Dalam pengungkapan itu, dua orang ditetapkan sebagai tersangka. Ada AT yang berperan sebagai muncikari utama yang mengatur seluruh kegiatan di dalam area indekos. Kemudian D, tersangka yang masih di bawah umur, bertugas menjerat anak di bawah umur lainnya untuk melayani pria hidung belang. Salah satu korban D adalah AJ (15).
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Bekasi Kota Ajun Komisaris Besar Muhammad Firdaus menjelaskan, dalam aksi perekrutan anak di bawah umur, AT menyuruh D untuk mendekati korban lalu menebar janji manis diimingi mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar. Tak hanya itu, pada kasus anak AJ, korban dijanjikan pergi jalan-jalan seperti ke Bali agar ia semakin tergiur.
Saat tergiur dengan tawaran itu, korban tak lagi bisa keluar dari kontrakan karena dipaksa untuk menyetujui bekerja melayani pria hidung belang.
”Dari perkenalan itu, korban diajak berlibur ke Bali, tetapi faktanya korban diajak ke rumah tersangka AT. Tersangka memaksa korban untuk melayani pria hidung belang di sebuah tempat kos di Kota Bekasi,” katanya.
Dalam pemeriksaan, praktik prostitusi itu sudah berlangsung setahun. Adapun korban anak AJ terjerat dalam prostitusi daring selama tujuh hari dan korban S (17) selama dua bulan.
Terkait korban dan pelaku lainnya dalam kasus prostitusi daring anak di bawah umur, kata Firdaus, pihaknya masih mendalami dan memeriksa lebih lanjut para tersangka yang sudah ditahan.
Atas perbuatannya, dua tersangka itu melanggar tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak dan dijerat dengan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 88 juncto Pasal 76i, Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 12 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang juncto Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dengan ancaman 15 tahun penjara.
Biasanya anak yang menjadi sindikat prostitusi adalah mereka yang kurang mendapatkan perhatian dari orangtuanya.
Penjabat Sementara Ketua Komnas Perlindungan Anak Lia Latifah menuturkan, dalam empat tahun terakhir, setidaknya sudah ada tiga kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO), terutama kasus prostitusi yang melibatkan anak, yang bisa diungkap. Selain di wilayah Kranggan, Kota Bekasi, praktik ini juga menjamur di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, dan Apartemen Kalibata, Jakarta Selatan.
Para korban biasanya diiming-imingi uang yang menggiurkan. Para korban pun akhirnya terjerumus karena tergiur tawaran tersebut. Padahal, yang diterima tidaklah seindah tawarannya. Untuk korban AJ saja, ia hanya memperoleh upah bersih Rp 50.000 untuk setiap pelanggan yang berkencan dengannya.
Praktik ini kian menjamur dengan kemajuan teknologi karena janji berkencan bisa dilakukan via media sosial atau aplikasi kencan. Karena itu, penting bagi keluarga, terutama orangtua, untuk membentengi anak perempuannya dengan terus menjalin hubungan komunikasi yang baik.
Ketika gelagat sang anak tampak mencurigakan, orangtua harus berdiskusi dengan anak itu. ”Misalnya ada gawai bagus yang digunakan anak, dan orangtua merasa tidak pernah membelikannya. Patut ditanyakan dari mana barang itu berasal. Rasa curiga ini penting agar anak tetap bisa terpantau,” ujar Lia.
”Biasanya anak yang menjadi sindikat prostitusi adalah mereka yang kurang mendapatkan perhatian dari orangtuanya,” katanya menambahkan.
Tidak selalu soal ekonomi
Menurut pengamat sosial Devie Rahmawati, kota besar seperti Jabodetabek memiliki sisi gelap yang telah menjadi rutinitas laiknya kehidupan normal. Fenomena prostitusi daring yang melibatkan anak di bawah umur tidak selalu bisa dipandang sebagai masalah ekonomi atau selalu menjerat korban dari kalangan kelas menengah bawah.
Namun, ada juga lapisan sosial dan budaya yang dibungkus dalam gaya hidup dan eksistensi diri. Itu semua berkembang seturut perkembangan zaman dan teknologi informasi.
Adapun keberadaan prostitusi bukannya tidak terendus oleh warga sekitar. Mereka sadar jika ada sesuatu yang mencurigakan atau melanggar aturan.
Dalam buku Metropolis and Mental Life karya sosiolog Jerman, Georg Simmel, kehidupan kota memiliki ragam dan perbedaan komunitas dan individu yang bercampur dengan realitas kota yang cepat.
Hal itu membuat warga kehilangan empati dan lebih bereaksi menggunakan kepala (rasional pikiran) daripada hati (perasaan). Oleh sebab itu, ketika melihat sesuatu yang tidak beres, mereka memakai rasional pikiran dengan tidak mencampuri urusan orang.
Perasaan kerap diabaikan jika melihat ada sesuatu yang ganjil sehingga tidak ada tindakan untuk mencegah hingga meniadakan risiko buruk. Seakan ada perilaku cuek. Orang dengan sadar saling membangun jarak.
”Bagaimana kemudian dia bisa tahu di tempat itu ada prostitusi? Membentengi diri karena tidak saling mengenal apakah dia baik atau jahat. Kota padat di Jabodetabek itu tidak membuat warga saling berinteraksi karena latar belakang yang berbeda,” kata Devie.
Karena itu, kepekaan baik dalam keluarga dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk mengikis praktik prostitusi yang sampai mengorbankan anak. Anak-anak penerus bangsa wajib dilindungi.