Berulang, Suami Pelaku KDRT di Depok Terancam Hukuman Tambahan
Mempelajari riwayat laporan kasus kedua orang yang sempat ditetapkan sebagai tersangka itu, pihak suami terancam menerima tambahan hukuman.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polda Metro Jaya tengah menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT sepasang suami istri di Depok, Jawa Barat. Mempelajari riwayat laporan kasus kedua orang yang sempat ditetapkan sebagai tersangka itu, polisi menyatakan, pihak suami terancam menerima tambahan hukuman.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Hariyadi dalam konferensi pers, Jumat (26/5/2023), mengatakan, pihaknya telah melakukan gelar perkara setelah mengambil alih penyidikan kasus KDRT itu dari Polres Metro Depok. ”Kami melihat beberapa perbuatan atau tindak pidana yang (penyidikannya) harus kami sempurnakan,” ujarnya di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta.
Sebelumnya, Polres Metro Depok menetapkan Bani Bayumi dan Putri Balqis sebagai tersangka seusai keduanya saling lapor dan menjadi pelaku maupun korban penganiayaan fisik.
Kasus ini lalu diviralkan keluarga Putri di media sosial, antara lain karena polisi dinilai tidak profesional menangani laporan Putri yang dua minggu lebih awal dari laporan suaminya. Selain itu, polisi juga dikatakan memaksakan perdamaian, sebagaimana diajukan suami Putri.
Polda Metro Jaya pun mencoba mengurai kasus tersebut. Salah satunya dengan mempelajari riwayat kasus berdasarkan keterangan saksi-saksi. Sejauh ini, mereka sudah memeriksa sembilan saksi. Kemudian ditemukan bahwa pernah ada laporan terkait kasus sama yang dilayangkan pihak istri kepada polisi.
”Penganiayaan terhadap istri ataupun korban ini bukan hanya sekali. Tahun 2016 ternyata sudah pernah dilaporkan. Namun, terjadi restorative justice, karena memang dalam Undang-Undang KDRT, asas dan tujuan, salah satunya adalah mempertahankan keutuhan rumah tangga,” ungkap Hengki.
Oleh karena adanya perbuatan berulang, polisi bisa menambahkan persangkaan kepada suami korban, yakni Bani, dengan Pasal 64 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang tindak pidana perbuatan berlanjut (Voortgezette Handeling).
”Apabila ini benar dan kita temukan, ancaman hukumannya terhadap sang suami bisa bertambah sepertiga,” lanjutnya.
Sementara itu, terhadap Putri, polisi sudah menyiapkan tim psikiater dan psikolog untuk mengecek apakah ada trauma psikis yang dialami, selain karena adanya penganiayaan. Lalu, untuk menjamin obyektivitas proses penyidikan dan menjamin hak korban, polisi bekerja sama dengan Komnas Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, termasuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Menanggapi kasus ini, psikolog forensik Reza Indragiri berpendapat, polisi memang harus berhati-hati menelaah kasus KDRT. Dari pengalamannya mempelajari kasus seperti ini, penegak hukum harus obyektif memfasilitasi tahapan mediasi dan peradilan hukum yang ingin ditempuh terlapor dan pelapor.
”Polisi bisa mendorong mediasi, apalagi jika KDRT kadung meluas sebagai kemelut antarkeluarga, antarkampung, dan seterusnya. Tetapi, mediasi punya syarat. Misalnya, harus berdasarkan kehendak kedua pihak dan tidak bisa dipatok harus selesai dalam kurun berapa lama,” ujarnya.
Adapun jika kasus itu harus berlanjut ke mekanisme pengadilan, pelaku bisa saja berakhir di penjara. Namun, kata Reza, pemenjaraan pelaku KDRT memiliki tingkat residivisme lebih tinggi. Artinya, pelaku berisiko mengulangi perbuatannya setelah selesai menjalani hukuman. Pihak pelapor yang tidak dihukum juga bisa mengalami masalah yang sama secara berulang jika tidak dibantu dengan konseling atau pemulihan menyeluruh.
Ia pun berpendapat, perceraian bisa menjadi opsi tepat bagi pasangan yang sudah mengalami KDRT berat.
”Perceraian memang getir. Tetapi, ketimbang bertahan dalam perkawinan yang penuh dengan huru-hara, apalagi disaksikan anak, perceraian adalah opsi yang tepat. Kita juga sudah saatnya punya konseling pracerai guna meredam risiko masalah susulan pascaperceraian,” ujarnya.